Tuesday 1 October 2019

Air Minum


Oleh : Nurmirayani* 

(Image : lazada.co.id)

Pagi ini cerah. Matahari Timur Tengah menyambutku ramah. Musim panas memang selalu menyuguhkan pagi ibarat ini. Aku keluar flat memakai sepatu, mengunci pintu dan berkemas-kemas melangkah untuk pergi kuliah. 

Tidak lupa saya memasukkan botol minum berwarna biru yang telah kuiisi air dari filter. Kuramal kelas akan sesak dikarenakan jumlah mahasiswa di kampusku yang kian membeludak. 

Benar saja. Sesampainya di kampus pada mata kuliah pertama, saya sudah menghabiskan setengah dari isi botol minumku yang langsing.  Bayangkan saja, saya mempunyai tiga mata kuliah hari ini. 

Mata kuliah berganti. Baru beberapa menit berlalu dan saya kehausan lagi. Aku kembali menghabiskan hampir keseluruhan isi botol, kemudian memfokuskan pikiran kepada klarifikasi dari dosen. Sampai seorang mahasiswi berkulit hitam, yang kutebak dari Somalia, menyikutku. 

"Kawan, apakah kau mempunyai minum?"

Dari keringat yang menetes di keningnya, dia terlihat begitu gerah dan haus. Aku menimbang-nimbang sisa air minum dalam botolku dengan sisa waktu hingga dosen jam kedua ini keluar. Tentu saya akan kehausan juga sebentar lagi. Dan jam istirahat masih lama. Aku menentukan untuk tidak memberikannya. Bukan soal warna kulit kawan, betulan, serius bukan.

"Maaf Kawan, minumku tinggal sedikit lagi. Sepertinya saya juga butuh minum."

"Oh ya sudah, tidak apa-apa." Jawabnya tersenyum ramah.

Kurasa sekarang syaitan tertawa mendengar jawabanku. Tapi masa udik lantaran sebentar lagi niscaya saya akan kehausan lagi. Aku sempat melihat raut lelah darinya. Namun lantaran sedang berada di bawah dampak bab antagonis dari diriku, saya menentukan hirau tak acuh. 

Dosen kedua keluar. Tibalah waktu istirahat. Air di botol sudah kutenggak sepenuhnya, tidak ada setetes pun yang tersisa. Bahkan tetes terakhir ibarat di iklan susu bendera cokelat pun tak ada. 

Jam ketiga masih ada, dan itu tandanya saya masih membutuhkan air untuk melalui mata kuliah dua jam berikutnya. Setelah menyalin catatan yang sempat tertinggal, saya beranjak dari daerah duduk, berniat untuk membeli sebotol sedang air mineral. Padahal salah satu alasan membawa botol air dari rumah supaya saya tidak perlu jajan di kantin yang harga perbarangnya lebih mahal daripada harga di kios-kios biasa. Tapi mengingat tidak akan bertahan menghadapi pelajaran ke depan, saya mengalah. 

Sampai di kantin, saya mengambil satu botol air mineral dari lemari pendingin. Suasana kantin juga tak kalah berdesak-desakan dengan suasana kelasku. Cepat-cepat saya mendekati kasir. 

"Permisi, berapa harga ini?"

"Lima Pound," katanya. Benarkan ibarat yang saya bilang, harga di sini hampir dua kali lipat dari daerah lain.

Aku sempat mengomel sendiri sebelum merogoh tas untuk mengambil uang. Kucoba mengingat, dan tampaknya saya sedang ditimpa sial. Dompetku hilang! Penjaga kasir terlihat sudah tidak sabar menungguku mengambil uang. 

"Ada uang atau tidak? Cepat bayar, orang lain juga ngantri." Sang penjaga kantin mulai membentak-bentak. 

"Dompet saya hilang." Jawabku memelas.

"Kalo tidak punya uang tidak usah beli, sudah mendingan kau pergi. Masih banyak yang harus saya layani." Jleb, tambah pedas aja si penjaga kantin.

Kulihat para pengantri budiman di belakangku menatap dengan banyak sekali ekspresi. Ada yang cekikikan, ada yang geleng-geleng kepala, dan ada yang melihat dengan iba. Tapi diantara itu semua, lebih banyak yang tertawa meremehkan. Aku semakin yakin nasibku memang lagi sial. Dengan terpaksa kuletakkan kembali botol mineral tadi, dan melangkah meninggalkan kantin dengan buru-buru. Rasanya pengen ditelan bumi saja. 

Aku kembali ke kelas berniat meminjam uang teman yang kukenal, tapi sial tetaplah sial. Dosen jam pelajaran ke tiga sudah masuk. Horornya lagi tidak berlaku izin untuk keluar kelas pada jam pelajaran beliau.

Terpaksa saya duduk lesu di dingklik yang tadi kutinggalkan. Kutoleh ke kiriku. Ternyata masih orang yang sama. Mahasiswi berkulit hitam yang tadi kuzalimi. Dia melemparkan senyum padaku. Aku membalasnya kikuk, mengingat kekejamanku yang tega membiarkannya kehausan tadi. Aku bertanya-tanya mengapa dia bahkan masih memberiku senyum. 


Satu jam sudah berlalu, dan selama itu saya sudah menahan hausku. Air tidak ada. Kulirik kanan, tidak ada satupun yang kukenal. Kulihat kedepan, mereka semua sedang fokus mencatat dan mendengarkan. Kutoleh ke belakang, tak ada satupun juga yang kukenali. Akhirnya dengan terpaksa kutoleh kembali ke kiri, tepatnya kepada botol air mineral besar yang terletak di hadapan si mahasiswi Somalia tadi. Ternyata dia juga sedang melihatku, saya tertangkap basah. Buru-buru kualihkan pandangan dari airnya. 

"Kau terlihat gelisah, ada apa kawan?" Dia kebingungan melihat gelagatku. 

"Eh... Anu, tidak apa-apa." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. 

"Kelihatannya kau haus, minumlah."

Aku menolak, tentu saja. Aku begitu aib alasannya yakni sudah membiarkannya haus, namun dia malah memperlihatkan minumnya kepadaku. 

"Tidak, tidak apa-apa."

"Minumlah, keringatmu bercucuran."

Akhirnya sesudah dipaksa-paksa, saya meneguk air yang disodorkannya berkali-kali. Aku merutuki diri sendiri dan merutuki sikap yang tak terpuji. Rasanya ingin menertawakan diri sendiri yang begitu takut kehausan hingga tak mau berbagi. 

Setelah kuliah usai, saya mengulurkan tanganku padanya. 

"Saya Zainab, terimakasih sudah mengatakan saya minum."

"Saya Nashrah, bahagia bertemu denganmu kawan, sudahlah bukan apa-apa." Jawabannya semakin membuatku malu. 

"Maaf atas kelakuanku. Kenapa kau masih mau memberiku minum padahal jelas-jelas saya telah membiarkanmu haus sebelumnya?"

"Kalau saya juga bersikap sama kemudian apa yang membedakan kita?" Kini saya benar-benar merasa bersalah. 

"Ya sudah, kalo begitu saya harus pergi, Assalamulaikum." 

"Waalaikumussalam..."

Setelah dia berlalu, saya tersenyum. Lebih tepatnya menertawakan hal memalukan yang kulakukan hari ini. Pelajaran untukku, mungkin juga buat kau yang membaca ceritaku. Hal memalukan ibarat itu jangan hingga menimpamu juga. Mari berbagi. Happiness never decrease by being shared.[]



*Penulis yakni mahasiswi jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar. 

banner
Previous Post
Next Post