Tuesday 17 December 2019

Gadis Apartemen Seberang


Ilustrasi
Oleh: Farhan Jihadi

Salah satu jendela flat apartemen di hadapanku terbuka. Dari celah jendela yang terbuka itu tampak seseorang dengan kerudung jingga. Kerudung besarnya terurai hingga dada. Wajahnya putih, begitu menyegarkan. Matanya bulat. Alisnya tebal dengan hidung mancung menempel di bawahnya. Jarak apartemen itu hanya beberapa meter, tidak terlalu jauh. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Cantik.

"Kenapa Agam tidak memberitahukan padaku wacana gadis ini. Ia sering duduk di balkon ini. Agam niscaya pernah melihatnya juga. Pasti itu."

***

Matahari mulai beranjak terbit dari ujung paling timur, segala jenis warna mulai terang terlihat. Pemandangan indah bermunculan. Birunya langit luas di angkasa dihiasi sedikit percikan awan susu, apartemen bertingkat di seberang berwarna kecoklatan serupa warna kulitku, sebatang pohon penuh dedaunan hijau dengan sekelompok burung gereja hinggap di dahannya.

Pagi memang awal segala keindahan. Mata sebagai indra penglihat akan berfungsi maksimal sesudah cukup beristirahat. Penikmat mentari pagi menyerupai diriku tentu sulit membuktikan betapa indahnya pagi hari. Yah, walaupun tidak sesulit perjuangan Agam membersihkan balkon belakang yang sudah bertahun-tahun tidak terawat ini.

"Sudahlah Gam, tidak ada gunanya kau membersihkan balkon menakutkan ini. Pemandangan di belakang inipun tak ada yang menarik. Sia-sia saja kerjamu itu, buang-buang tenaga."

Minggu kemudian saya melihat Agam sedang bersusah payah merapikan dan membersihkan balkon belakang yang tak pernah dijamah ini. Balkon penuh benda-benda rongsokan yang ditinggalkan pemilik sebelumnya.

"Jangan lupa Allah itu indah dan menyayangi segala keindahan". Ia menjawabnya dengan begitu religius seolah sedang menceramahiku.

Balkon menakutkan yang tidak pernah tersentuh selama bertahun-tahun tiba-tiba dibersihkan Agam, layaknya ia membersihkan motornya yang setiap ahad dicuci, disampo, dilap dan disemir dengan Kit. Cuma yang terakhir yang tidak digunakan. Tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya balkon seandainya dilap lagi menggunakan Kit, pengilap body motor. Bisa-bisa kakiku terpeleset bangun disini.

"Gam, sesekali jangan cuma dicuci. Pakailah motormu itu membonceng seorang gadis, bawa beliau ke mana gitu. Pantai Lhoknga atau riam Samahani atau dapat juga kau bawa ke daerah lain, Gam. Jalan-jalan, happy-happy."

"Atau jangan-jangan kau ingin menikah dengan motor butut peninggalan prasejarah itu. Jika iya, Kau tak perlu mengundangku ke pesta nikah. Aku pastikan tidak akan datang," begitulah sindirku padanya hampir tiap pekan. Motor antik yang saban ahad disemir dengan Kit itu memang tak pernah tersentuh seorang perempuan pun. Hanya ibu dan abang perempuan Agam yang selalu dibawa keliling, selebihnya hanya sobat laki-laki tanpa termasuk sobat waria.

"Terserah kau saja, Min. Aku nggak mau mengikuti jejakmu. Saban hari membawa anak gadis orang yang berbeda tiap ahad bahkan tiap hari. Hari ini si A, besok si B. Besoknya lagi si C, si D atau mungkin hingga si Z"

"Hei... Hei... Tidak ada si D, ya. Cuma hingga si C, semuanya-pun kau mengenalnya," saya menolak jikalau Agam menyebutku mempunyai banyak perempuan. Apa salahnya sih mempunyai banyak kekasih? Jika satunya membuatku pusing, saya dapat menentukan yang lain. Simple.

"Bukannya problem si A, si B atau si C. Masalahnya kau membawa-bawa mereka tanpa ikatan pernikahan. Tidakkah kau mengerti hal itu...? Aku tidak tahu apa yang kau lakukan ketika berdua saja bersama mereka. Pegang tangan, ciuman atau bahkan..."

Aku pribadi menghentikan perkataannya itu, Agam terkadang kelewatan batas menghakimiku. Ia selalu berceramah hal yang sama setiap saat, katanya berpegang tangan yang bukan muhrim itu haram, apalagi hingga berpelukan dan ciuman. Aku sudah tahu, bahkan sudah hafal isi nasihat rohaninya itu. Seharusnya ia mengganti topik khutbah, supaya jamaah sepertiku tidak bosan.

Ia juga menceramahiku wacana zina. Kalau hal itu, tanpa diceramahinya semua orang juga tahu. Saban Jum'at ustaz tetangga berkhutbah problem zina; mulai dari zina mata, telinga, tangan, hati dan zina-zina yang lain termasuk zina pikiran dan zina pemikiran. Yang saya khawatirkan malah Agam, saya berharap ia tidak menganggap dirinya lebih suci daripada diriku alasannya yakni inilah salah satu ciri orang-orang yang mulai terkena zina pemikiran, begitulah kata pak ustaz tempo hari. Seharusnya zina anutan ini juga diutamakan sehingga orang-orang yang menganggap dirinya suci dan menuduh orang lain penghuni neraka berkurang.

"Hari ini kau membawa Susi, besoknya Sasa, esoknya lagi kau membawa Sisi. Pada hasilnya mereka hanya akan jadi sisa bagi orang lain," katanya menyerupai biasa menutup kuliah tujuh menit itu.

Aku memang tidak pernah berbuat lebih dari yang disangkakan Agam, biarpun ilmu agamaku minus setidaknya saya tidak pernah melebihi batas bercumbu dengan anak gadis orang. Kalaupun iya, itu pun kami lakukan bukan dengan paksaan tapi kemauan, jadi tidak ada pihak yang tersakiti. Agam terlalu kuno. Tidak berpikir maju. Kolot.

Ia tidak mengerti bagaimana indahnya memegang tangan wanita, memeluk dan sebagainya yang lazim dilakukan orang pacaran. Baginya memegang tangan perempuan yang bukan muhrim itu berdosa, apalagi jikalau dilakukan lebih dari itu. "Haram tingkat tinggi," begitulah Agam mengistilahkan dosa besar.

Ia memang terlalu berpikiran jelek tentangku, saya tidak pernah sekalipun berbuat hingga ke tingkatan dosa besar menyerupai itu. Walaupun sejujurnya saya paham maksud Agam, semua nasihatnya benar. Tidak ada yang salah tapi ia terlalu berlebihan.

Begini-begini saya juga mengerti sedikit wacana agama. Setiap gadis yang kuajak mingguan selalu kuminta untuk membawa mukena, alasannya yakni biasanya jikalau azan berkumandang, kami singgah ke mesjid untuk shalat sejenak. Walaupun ada juga gadis yang selalu enggan kuajak shalat dengan banyak sekali alasan. Saat ngedate kami niscaya menghabiskan waktu yang usang dan tentu melewati banyak waktu shalat, tapi ia sekalipun tak pernah shalat. Gadis ini selalu beralasan; lagi tidak suci, lagi berhalangan, lagi tiba bulan dan macam-macamnya. Menurutku ini tipe gadis penyakitan. Entah kapan gadis itu punya waktu suci hanya untuk sekedar shalat atau mungkin ia memang benar-benar tidak suci lagi, entahlah. Aku bernasihat, namun bagi sebagian orang terkadang nasihat itu percuma, termasuk bagiku.

Seharusnya Agam bersyukur punya teman yang mengajak orang lain kepada kebaikan sepertiku, menyerupai nasihatnya itu. Siapa tahu gadis yang bersamaku itu bertambah baik, tambah rajin shalat misalnya. Perubahan memang membutuhkan waktu, insan tidak dapat berubah secepat kilat. Manusia terang bukan menyerupai balkon yang dalam satu hari dapat kinclong, higienis mengkilat tanpa noda dalam sekali sentuhan Agam.

Minggu lalu, balkon masih sangat berantakan. Barang-barang tak berkhasiat berserakan tak beraturan. Kayu-kayu lapuk bertumpuk bersama kumpulan besi-besi berkarat, puluhan botol minuman kosong berjajar di antara goni penuh baju dan sepatu bekas. Kardus-kardus yang berhimpitan dengan plastik berwarna bertaburan. Buku-buku serta majalah kuno yang entah milik siapa. Semuanya barang peninggalan penghuni usang yang kini entah di mana.

Beruntung, ia masih dapat menemukan beberapa barang layak pakai. Sebut saja, satu periuk nasi yang masih bagus sesudah dibersihkan dengan susah payah dan satu set meja-kursi yang tengah kududuki ini.

Sebenarnya, gres kali ini saya duduk di balkon ini. Tempo hari, sesudah balkon bersih, Agam sering menggunakan balkon sebagai daerah mengulang-ulang hafalan. Ia telah terdaftar di kelas menghafal Al-Qur'an yang gres dibuka pihak kampus untuk mendukung mahasiswa yang ingin mendalami dan menghafal Al-Qur'an, mungkin ini juga yang menggerakkannya membersihkan balkon.

***

Matahari kini kian meninggi. Kelompok burung gereja terbang, menghilang, meninggalkan pohon sendiri. Warna kecoklatan apartemen seberang semakin cerah terpantulkan. Langit tidak lagi dihiasi percikan awan susu menyerupai biasa. Mungkin awan susu sudah melebur bersama kopi hangat di tanganku.

Setelah melihat gadis dari sebuah flat apartemen seberang beberapa hari kemudian saya jadi sering duduk di balkon ini. Ya, tentu saja sesudah Agam selesai mengulang hafalan Al-Qur'annya. Biasanya ia mengulang hafalannya siap subuh hingga matahari keluar. Aku sengaja tidak menanyakan wacana gadis apartemen seberang, bisa-bisa ia memberiku tausiyah dan saya harus mendengarnya menyerupai terdakwa di majelis persidangan.

Setelah beberapa hari dalam pantauan, gadis apartemen seberang yang kutunggu itu membuka jendela tepat pukul 8 pagi. Selalu beliau yang membuka jendela di flat tersebut; bukan ibunya, ayahnya atau siapapun yang lain yang tinggal bersamanya. Aku tidak tahu, ia melaksanakan itu alasannya yakni memang rutinitas atau alasannya yakni gadis itu tahu bahwa saya merindu untuk menatapnya setiap hari. Keduanya mungkin benar atau yang kedua mungkin lebih tepat.

Salah satu pintu belakang flat di apartemen seberang terbuka bersamaan dengan bibirku yang menyentuh gelas kopi. Gadis itu keluar dengan membawa bejana penuh kain. Wajahnya tampak lelah. Ia mungkin gres saja selesai mencuci pakaian. Kerudungnya terurai hingga dada. Keringat di wajahnya seolah membentuk make-up alami yang membuatnya semakin terlihat anggun.

"Hei... Namamu Putri ya...?" teriakku dari arah balkon ketika ia sibuk menjemur pakaian. Ia tidak melihat, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Rasanya saya telah salah memanggil nama. Putri, nama yang kutebak ternyata bukan dirinya.

"Heeei, namamu Putri ya...?? Aku mengulang dengan nada lebih jelas. Ia belum menoleh. Putri memang bukan namanya. Wanita bahagia dipanggil dengan nama yang indah dan "Putri" menjadi pilihanku. Biasanya perempuan yang kusapa begitu niscaya menoleh walaupun itu bukan nama aslinya.

Aku mulai memanggil dengan nama lain, mungkin salah satu ada namanya. Segala nama perempuan dalam pembendaharaan kamusku kusebutkan. Mulai dari abjad A menyerupai abjad Z, mulai dari Anita hingga Zebra (maksudku Zenab, Zebra itu nama motor butut belang-belang Agam). Gadis itu tak mendengar, tak melihat. Percuma.

Mungkin gadis ini berbeda, selama ini belum ada perempuan yang tidak menoleh ketika mendengar bunyi indahku. Gadis ini menarik, tidak biasa. Ia istimewa. Gadis ini niscaya tuli.

Dari balkon seberang terlihat ia hampir selesai menjemur pakaiannya. Tali jemuran di balkon seberang itu tampak hampir penuh, tanpa berpikir panjang sesudah dicampakkan begitu saja, jiwa kesatriaku tumbuh. Allah masih menganugerahkan karunia kekuatan yang luar biasa untukku dan ini dihentikan disia-siakan. Entah bagaimana caranya, saya melompat. Tanpa sadar telapak kakiku menyentuh permukaan tanah. Aku kini berada di luar balkon.

"Assalamualaikum, Ukhti" sapaku sambil bergerak ke arah balkon di flat apartemen seberang, daerah gadis itu menjemur pakaian.

Meskipun menjawab salam hukumnya wajib, yang disapa tak menawarkan gelagat apapun. Sapaan pamungkas "Akhi-Ukhti" yang biasanya dipakai jamaah rohani kampus juga tidak membuatnya bergeming. Ia masih fokus dengan kesibukannya. Menoleh tidak, melirik pun tidak, apalagi melempar sebuah senyuman.

Sekarang jarakku dengan gadis itu sangat dekat. Aku berusaha menyapanya dengan salam yang masih sama. Hasilnya nihil. Dengan jarak akrab menyerupai ini tidak mungkin ia tidak mendengar, kecuali jikalau ia memang mengalami problem pendengaran menyerupai dugaanku sebelumnya.

"Hei Putri, menjawab salam hukumnya wajibkan...? Apalagi salam dari laki-laki keren." Lagi-lagi saya berbicara sendiri, layaknya artis yang melaksanakan monolog di atas panggung. Tanpa seorang pun yang menonton. Kosong, sepi. Monolog pagi hari yang sangat menyedihkan.

Sesaat sempat terbesit dalam pikiranku untuk memanggil namanya dengan lebih indah, lebih manusiawi, menyerupai ketika memanggil adik-adik mahasiswa gres di masa orientasi, "brengsek". Kata yang bahwasanya tidak manusiawi dan bernada provokasi ini terkadang berhasil. Tidak hanya dalam urusan cinta, dalam politik negeri ini juga sering demikian.

Kata menyerupai brengsek, jahannam dan semisalnya lazim dipakai di negeri ini. Politikus menebar cinta ketika pemilu tapi membuat kebrengsekan demi kebrengsekan ketika berkuasa. Menjahanamkan adat dan estetika. Tapi, saya bukanlah politikus, bukan juga cowok brengsek. Aku hanyalah pencinta. Kata brengsek itu tidaklah cocok bagi jiwa-jiwa pencinta sepertiku dan tentu saja lebih tidak manusiawi untuk seorang wanita.

Gadis itu kini balik badan. Tali jemuran penuh, tidak menyisakan celah sedikit pun, bahkan untuk seekor burung yang biasa hinggap di atasnya. Gadis itu berlalu, masuk ke dalam flat. Pintu balkon kini tertutup. Sedang saya masih di tempat. Mematung tidak bergerak beberapa lama, tanpa bantalan kaki. Layaknya orang bodoh.

"Hei Min, Hei... Ngapain disana nggak pakek selop, lagi ngejar maling ya...?"

Panggilan Agam dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Ia benar, saya memang sedang mengejar maling. Maling yang sangat cantik. Agam terlihat tertawa, sangat langka rasanya melihat ia tertawa keras menyerupai itu.

"Astaghfirullah, Miiin, kalau mau keluar, pakek baju dulu."

Teriakan Agam mengingatkan sesuatu, ternyata ia sedang melihatku; menggunakan celana pendek, tanpa baju, tanpa bantalan kaki dan rambut panjang yang masih acak-acakan. Benar-benar sempurna.[]

***
banner
Previous Post
Next Post