Monday, 3 February 2020

Dia Bukan Jodohku (Bag. 1)

By : Raystaycool

Angin pagi ekspresi dominan dingin menyapa seorang cowok yang sedang menghafal Al-Quran dalam perjalanan. Pagi-pagi sekali sesudah shalat subuh, ia sudah keluar dari flatnya di Matariah menuju Hussein. Kegiatannya dimulai dengan menyetor hafalan Al-Quran, menghadiri talaqqi di Masjid al-Azhar dan muhadharah kuliah.

Selesai kuliah ia sambung lagi dengan talaqqi hingga waktu isya, kemudian berlabuh ke flat sempurna pukul 12 malam. Pergi pagi pulang malam menjadi makanannya sehari-hari, kecuali hari Jum'at dan Sabtu.

Malam Jum'at ialah waktu penilaian mingguan, tahajud dan muhasabah bagi Viki. Memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sesekali ia meratapi kelalaiannya dari tingkat satu hingga tiga, yang menurutnya tak ada kemajuan.

Tak terbendung, air mata pun menetes lembut di atas hamparan sajadahnya. Penyesalan inilah yang memperabukan semangatnya menjalani sisa-sisa waktu di Kairo. Sedangkan Sabtu, hari refreshing-nya.

Sabtu ini, Viki menentukan silaturrahmi ke flat kakak kelasnya di Sabi'. Di sana mereka berbincang-bincang hangat, layaknya kakak beradik dalam satu keluarga. Seketika, ia teringat kakak kandungnya yang begitu cuek padanya, jarang menyapanya, apalagi cerita.

Kedua orangtuanya pun sudah usang meninggal sehingga membuatnya kurang mencicipi kehangatan keluarga. Apalagi dalam keadaannya yang jauh menyerupai ini, chatting saja tak pernah.

"Ah, biarlah! ia tak mungkin berubah" teriaknya dalam hati.

Setelah usang berbincang seputar kegiatan harian, layaknya seorang laki-laki yang berstatus kepala dua, perbincangan mulai ngawur.

"Jadi sesudah Lc ini, planningnya dengan siapa?" tanya Dani, kakak kelasnya.
"Maksudnya?" Viki penasaran.
"Ah, itu saja perlu penjelasan, planning nikah, Vik!" kata Dani.
"Hmm, umurku gres dua puluh tiga tahun ketika lulus, ngapain buru-buru coba? Abang yang udah dua lima, duluan dong" Viki menyindir.
"Kalo saya sih sudah terlanjur ambil S2 di al-Azhar, jadi harus fokus thesis dulu dua tahun lagi. Kalau kau kan belum terikat dengan apa pun, kesempatan!" ia menggoda.
"Kalau saja selesai itu dua tahun, kalau tidak bagaimana? mau lima tahun lagi?" Viki menahan tawa.
"Parah, bukannya doain yang bagus!"
"Laaah, itu sudah yang paling cantik lho, supaya kau cepat-cepat nikah!" ia diam, kemudian melanjutkan, "Tapi menurutku, mau kasih makan apa coba istri nanti kalau nikah ketika kita belum ada pekerjaan" suaranya merendah.
"Ini ni, kau keliru, Vik. Allah telah mengatur rezeki masing-masing hamba, jadi jangan takut!" bantah Dani.

Diskusi terus berlangsung seru, banyak nasihat mengelilingi dialog mereka. Tak terasa waktu sudah mengatakan pukul sepuluh malam. Viki pun pamit.

***
Perbincangan mereka tadi masih membekas diingatan Viki dalam perjalanan pulang.
Memorinya memutar-mutar kembali kisah Sekolah Menengan Atas dulu. Saat Viki sedang bercengkrama dengan sang kekasih hati, Maya, yang ditemani mitra sekelasnya, Novi.

"Viki ambil kuliah apa nanti?" tanya Novi.
"Mungkin antara Teknik Elektro dan Informatika. Novi apa?"
"Novi sih belum jelas, bimbang antara jalur IPA atau IPS. Kalau Maya?"
"Novi harus cepat-cepat mikir tu. Kalau Maya ambil Psikologi, kuliah empat tahun, kerja satu tahun, terus nikah" Maya menjawab dengan yakin."Berarti Maya sasaran nikah umur dua puluh tiga gitu?" tanya Novi.
"Iya! Soalnya umur di atas dua puluh tiga udah dibilang perawan renta dalam keluarga Maya, sebab kakak semua nikahnya sebelum umur dua puluh tiga. Oya, ingat tu Viki, Umur dua tiga!" ucapnya sambil tersenyum.

Suasana hening sejenak. Dalam pikirannya, Viki terus mencerna apa yang gres saja dikatakan Maya.

Umur dua puluh tiga? Sulit bagiku untuk menikah

"Hmm, umur dua puluh tiga Viki belum jadi apa-apa lagi, gimana mau nikah" ucap Viki mengerutkan dahi.Tiba-tiba bel tanda masuk pelajaran berbunyi sekaligus mengakhiri dialog mereka.

Setelah bencana itu, perilaku Viki ke Maya berubah, ia mulai menjaga jarak, tak yakin kekerabatan itu akan berhasil. Maya ialah cinta pertamanya, cinta yang tiba dari pandangan pertama. Walaupun Maya yang mengungkapkan cinta terlebih dulu padanya.

Viki bukanlah tipe lelaki yang mempermainkan wanita, kalau sekali ia melangkah, ia harus komitmen. Komitmen dalam hubungan, itu yang selalu dibutuhkan Viki. 

Tapi semenjak ketika itu komitmennya rapuh, ia sudah pada kesimpulan "Maya terlalu egois, ia hanya memikirkan keadaannya, tanpa mau memahami Aku"

Maya juga mencicipi perubahan Viki. Ia meratapi ucapannya yang tak semestinya ia ucapkan, rasa bersalahnya terus berkepanjangan, hingga risikonya Maya mengirim sms kepada Viki.

"Viki, Maya minta maaf ya, Maya enggak semestinya begitu, Maya tau itu terlalu egois"

Lama Maya menunggu jawaban dari Viki namun hpnya itu tak juga berdering. Di sekolah pun Maya dan Viki tidak saling bertemu menyerupai biasa.

Kesedihan Maya semakin bertambah setiap harinya, hatinya sakit. Di kelas, Maya tampak lesu, tak setegar dulu.

"Kenapa kau dengan Viki? ada masalah? dongeng dong sama Dara, jangan didiamin" sahabat sebangkunya mencoba menghibur.
"Enggak kenapa-napa, Dar" jawab Maya datar.
"Maya enggak dapat bohong sama Dara, Dara tau kok kenapa" Dara menarik nafas panjang,"Hmm, kan dari awal Dara sudah bilang, jangan lafazkan cinta itu sebelum waktunya datang, tapi titipkan ia pada Sang Pemilik Cinta"
"Jadi kini bagaimana Dar? Jangan pojokin Maya lagi dong!" tanya Maya duka dan kesal.
"Sekarang coba Maya muhasabah diri. Yakinlah bahwa itu taufiq dan hidayah dari Allah, supaya kita sadar dan tidak melanjutkan kekerabatan itu" nasihat Dara lembut.
"Iya, Dar, Maya coba ikuti saran Dara. Maya juga minta maaf dari awal enggak mau dengarin nasihat Dara" Maya pilu.

Sedikit demi sedikit Maya sadar maksud perkataan Dara, bahwa aplikasi cinta yang dijalaninya ini tersesat. Maya merenung cukup lama, membandingkan keadaannya ketika 'sendiri' dengan sekarang. Ia sadari ia khilaf.

Walau terlambat, dengan tekad yang kuat, ia titipkan cintanya ini kepada Allah bagaimana semestinya, dan sesudah hatinya damai Maya meng-sms Viki lagi,

"Viki, Maya minta maaf, Maya salah. Sekarang terserah Viki, Viki benci Maya, Viki anggap Maya egois. Mulai hari ini kita jalani aja kehidupan masing-masing. Sekali lagi Maya minta maaf ya."

*bersambung Bagian Dua Click Here


banner
Previous Post
Next Post