Monday 9 March 2020

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat (3)



الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)

(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaibyang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.



Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas'ud) yang pernah menyampaikan bahwa iman ialah percaya.Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang menyampaikan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya (membenarkan).Ma'mar menyampaikan dari Az-Zuhri bahwa iman ialah amal.Abu Ja'far Ar-Razi menyampaikan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang takut (kepada Allah Swt.)Ibnu Jarir mengatakan, "Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan terhadap problem yang mistik secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang pada dasarnya ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman yakni suatu istilah yang meliputi pengertian iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan pembenaran ratifikasi dibuktikan dengan perbuatan"Menurut pendapat kami, iman secara makna lugawi (bahasa) berarti percaya secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur'an digunakan untuk pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ

Ia beriman kepada Allah dan mempercayai orang-orang mukmin. (At-Taubah: 61)



Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, yang hal ini disitir oleh firman-Nya:
وَما أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا وَلَوْ كُنَّا صادِقِينَ

Dan kau sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami yakni orang-orang yang benar. (Yusuf: 17)



Demikian pula maknanya bila dibarengi amal perbuatan, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ

kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin: 6)
Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara' ialah yang meliputi tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Demikian berdasarkan sebagian besar imam. Bahkan berdasarkan riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaidah serta ulama lainnya, ijma' dengan pengertian menyerupai berikut: Iman yakni ucapan dan perbuatan serta sanggup bertambah dan berkurang. Banyak hadis dan asar yang pertanda pengertian ini, yang secara tersendiri telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Bukhari.



Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna "takut kepada Allah", sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ

(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya. (Al-Anbiya: 49)
 مَنْ خَشِيَ الرَّحْمنَ بِالْغَيْبِ وَجاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ

(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia tiba dengan hati yang bertobat. (Qaf: 33)



Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir: 28)



Sebagian ulama menyampaikan bahwa mereka beriman kepada yang mistik (tidak kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka tidaklah menyerupai yang disebut di dalam firman Allah Swt. mengenai perihal orang-orang munafik, yaitu:
وَإِذا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قالُوا آمَنَّا وَإِذا خَلَوْا إِلى شَياطِينِهِمْ قالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّما نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُنَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok." (Al-Baqarah: 14)
إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ

Apabila orang-orang munafik tiba kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa bergotong-royong kau benar-benar Rasul Allah" Dan Allah mengetahui bahwa bergotong-royong kau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa bergotong-royong orang-orang munafik itu benar-benar yang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)


Berdasarkan pengertian ini berarti lafaz bil gaibi berkedudukan sebagai hal (keterangan keadaan), yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang banyak (yakni sendirian).


Mengenai yang dimaksud dengan al-gaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar; mengingat bila disimpulkan dari semuanya, maka yang tersimpul yakni makna yang dimaksud.


Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Orang-orang yang beriman kepada yang gaib. (Al-Baqarah: 3) Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud ialah "mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, nirwana dan neraka-Nya, bersua dengan-Nya; juga beriman kepada kehidupan setelah mati dan hari berbangkit". Semua itu merupakan hal yang mistik (tidak kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di'amah.


As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya dari Ibnu Abbas. As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sobat Nabi Saw., bahwa gaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, menyerupai problem surga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.


Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna mistik ialah hal-hal yang didatangkan oleh Allah.


Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Zurr yang menyampaikan bahwa al-Gaib artinya Al-Qur'an.


Ata ibnu Abu Rabah menyampaikan bahwa orang yang beriman kepada Allah berarti beriman kepada yang mistik (tidak kelihatan).


Ismail ibnu Abu Khalid menyampaikan bahwa mereka yang beriman kepada yang mistik ialah mereka yang beriman setelah masa Islam (masa Nabi dan para sahabat).
Zaid ibnu Aslam menyampaikan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang mistik ialah yang beriman kepada takdir.


Semua saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna mistik yang harus diimani.


Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang mengatakan, "Ketika kami berada di hadapan sobat Abdullah, ibnu Mas'ud duduk bersamanya.



Lalu kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi Saw. dan semua amal perbuatan mereka yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Sesungguhnya kasus Muhammad Saw. yakni terang bagi orang yang melihatnya. Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang mempunyai iman lebih afdal da-ripada iman tanpa melihat'," kemudian dia membacakan firman-Nya:
الم، ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ- إِلَى قَوْلِهِ- الْمُفْلِحُونَ

Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib —sampai dengan firman-Nya— orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 1-5)


Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak-nya melalui banyak sekali jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan, asar ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.



Hadis semisal diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia menyebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي أُسَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيك، عَنِ ابْنِ مُحَيريز، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي جُمُعَةَ: حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ، أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا جَيِّدًا: تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَحَدٌ خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ. قَالَ: "نَعَمْ"، قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي"

telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang menyampaikan bahwa ia pernah berkata kepada Abu Jum'ah, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang engkau dengar dari Rasulullah Saw." Abu Jum'ah menjawab, "Ya, saya akan menceritakan kepadamu suatu hadis yang baik," yaitu: Kami makan siang bersama Rasulullah Saw. Di antara kami terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, suatu kaum dari kalangan orang-orang setelah kalian; mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku."



Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ جُبَيْر، قَالَ: قَدِمَ عَلَيْنَا أَبُو جُمُعَةَ الْأَنْصَارِيُّ، صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، لِيُصَلِّيَ فِيهِ، وَمَعَنَا يَوْمَئِذٍ رَجَاءُ بْنُ حَيْوَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ (9) خَرَجْنَا نُشَيِّعُهُ، فَلَمَّا أَرَادَ الِانْصِرَافَ قَالَ: إِنَّ لَكُمْ جَائِزَةً وَحَقًّا؛ أُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْنَا: هَاتِ رَحِمَكَ اللَّهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَاشِرُ عَشَرَةٍ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ قَوْمٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَّا؟ آمَنَّا بك واتبعناك، قال: "مَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذَلِكَ وَرَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ يَأْتِيكُمْ بِالْوَحْيِ مِنَ السَّمَاءِ، بَلْ قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يَأْتِيهِمْ كِتَابٌ بَيْنَ لَوْحَيْنِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا" مَرَّتَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas'ud; telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa tiba kepada kami Abu Jum'ah Al-Ansari —seorang sobat Rasulullah Saw.— di Baitul Maqdis untuk melaksanakan salat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah r.a. Setelah dia selesai salat, kami keluar mengantarkannya.


Tetapi ketika dia hendak pergi, dia berkata, "Sesungguhnya kalian berhak mendapat akhir dan hak, saya akan menceritakan sebuah hadis kepada kalian yang saya dengar eksklusif dari Rasulullah Saw." Kami menjawab, "Ceritakanlah, biar Allah merahmatimu." Abu Jum'ah bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah Saw., di antara kami terdapat Mu'az ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua yang berjumlah sepuluh orang. Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan mengikutimu." Nabi Saw. menjawab, "Tiada yang menghalangi kalian dari hal tersebut, alasannya yakni Rasulullah berada di antara kalian memberikan wahyu yang turun dari langit kepada kalian, bahkan kaum setelah kalian. Datang kepada mereka kitab (Al-Qur'an) yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, kemudian mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya, mereka lebih besar pahalanya daripada kalian." Ucapan ini diulanginya sebanyak dua kali.


Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Damrah ibnu Rabi'ah, dari Marzuq ibnu Nafi', dari Saleh ibnu Jubair, dari Abu Jum'ah hal yang semisal dengan hadis ini.


Hadis ini mengandung dalil yang menunjukkan amal yang berdasarkan rasa cinta, di mana para mahir hadis berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah ditetapkan pada permulaan Syarah Bukhari, alasannya yakni Nabi Saw. ternyata memuji mereka yang tiba sesudahnya, mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau Saw. menyebutkan bahwa mereka mempunyai pahala yang lebih besar bila ditinjau dari segi itu saja tetapi tidak mutlak.



Hal yang sama disebutkan pula di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Arafah Al-Abdi:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ قَيْسٍ التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟ ". قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ ". قَالُوا: فَالنَّبِيُّونَ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟ ". قَالُوا: فَنَحْنُ. قَالَ: "وَمَا لَكَمَ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ ". قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا إِنَّ أَعْجَبَ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا لَقَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يَجدونَ صُحُفًا فِيهَا كِتَابٌ يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا"

telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy Al-Himsi, dari Al-Mugirah ibnu Qais At-Tamimi, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Makhluk apakah yang paling kalian kagumi imannya?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Para malaikat." Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan mereka berada di bersahabat Tuhannya?" Mereka berkata, "Para nabi.'"'' Rasulullah Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka?" Mereka berkata, "Kalau begitu kami.'"' Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin kalian tidak beriman, sedangkan saya berada di antara kalian?''' Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, bergotong-royong makhluk yang paling kukagumi keimanannya ialah suatu kaum yang tiba setelah kalian, mereka menjumpai lembaran-lembaran yang di dalamnya tertuliskan Al-Kitab (Al-Qur'an), kemudian mereka beriman kepada semua yang terkandung di dalamnya."
Abu Hatim Ar-Razi menyampaikan bahwa hadis Al-Mugirah ibnu Qais Al-Basri berpredikat munkar.


Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la di dalam kitab Musnad-nya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Muhammad ibnu Humaid —hanya di sini ada kedaifan— dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a., dari Nabi Saw. hadis yang semisal atau semakna dengannya. Imam Hakim menyampaikan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu'.


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad Al-Musnadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ja'far ibnu Mahmud ibnu Salamah Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Mahmud, dari kakeknya —Badilah bin Aslam— yang menceritakan, "Aku salat Lohor atau Asar di masjid Bani Harisah, ketika itu kami menghadap ke arah masjid Eliya (Yerussalem).



Ketika kami gres salat dua rakaat, tiba-tiba tiba seseorang yang memberikan informasi kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah Baitul Haram. Maka berubahlah posisi kami, kaum perempuan menjadi berada di depan kaum laki-laki, sedangkan kaum pria berada di belakang kaum wanita, kemudian kami melanjutkan salat dua rakaat yang tersisa dalam keadaan menghadap ke arah Baitul Haram (kiblat)." Ibrahim menyampaikan bahwa ia mendapat informasi dari kaum pria dari kalangan Bani Harisah bahwa ketika hingga informasi tersebut kepada Rasulullah Saw., ia bersabda:
«أُولَئِكَ قَوْمٌ آمَنُوا بِالْغَيْبِ»

Mereka yakni kaum yang beriman kepada yang gaib.
Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari segi ini.
{وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ 3}

dan mereka mendirikan salat serta menqfkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)


Ibnu Abbas mengatakan, makna "mereka mendirikan salat" ialah "mereka mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya)".


Dahhak menyampaikan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan salat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur'an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam salat Qatadah menyampaikan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud.


Muqatil ibnu Hayyan menyampaikan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur'an, bacaan tasyahud, dan salawat buat Nabi Saw. di dalam salat Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" ialah "mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar".


As-Sadi menyampaikan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari sejumlah sobat Rasulullah Saw., bahwa makna "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" ialah "nafkah seorang lelaki kepada keluarganya". Hal ini dipahami sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat.


Juwaibir menyampaikan dari Dahhak, "Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah ayat-ayat yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut problem zakat. Ayat-ayat tersebut berkedudukan menasikh secara niscaya terhadap pengertian lain."


Qatadah menyampaikan bahwa "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, alasannya yakni harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman di tanganmu, hai manusia; dalam waktu yang bersahabat kau niscaya meninggalkannya.


Ibnu Jarir menentukan pendapat yang menyampaikan bahwa ayat ini bermakna umum, meliputi zakat dan nafkah. Dia menyampaikan bahwa takwil yang paling utama dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud ialah "hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi alasannya yakni hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor lainnya".


Karena Allah Swt. menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat yakni perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.


Menurut kami, Allah Swt. sering kali menggandengkan antara salat dengan memberi nafkah, alasannya yakni salat yakni hak Allah dan seba-gai penyembahan kepada-Nya. Di dalam salat terkandung makna menauhidkan (mengesakan) Allah, memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya, dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya. Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan sumbangan kepada mereka. Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam problem nafkah ini yakni kaum kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang lain.



Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah Swt.:
{وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)
Karena itu, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ»

Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yakni utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.


Hadis-hadis yang pertanda hal ini cukup banyak.



Makna asal lafaz "salat" berdasarkan istilah bahasa ialah doa, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-A'sya dalam salah satu syairnya:
لَهَا حَارِسٌ لَا يَبْرَحُ الدَّهْرَ بَيْتَهَا ... وَإِنْ ذبحت صلّى عليها وزمزم

Si perempuan itu mempunyai penjaga yang selamanya tidak pernah meninggalkan rumahnya; dan kalau dia menyembelih kurban, maka si penjaga itu berdoa untuknya dengan bunyi yang kurang dipahami.



Al-A'sya pernah menyampaikan pula:
وَقَابَلَهَا الرِّيحُ فِي دَنِّهَا ... وَصَلَّى عَلَى دَنِّهَا وَارْتَسَمَ

Angin menerpanya, sedangkan dia berada di dalam kemahnya, kemudian ia berdoa di dalam kemahnya dan pergi.


Kadua bait tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir sebagai syahid 'bukti' yang menunjukkan makna tersebut (berdoa), dan Al-A'sya menyampaikan pula dalam syairnya yang lain, yaitu:

تَقُولُ بِنْتِي وَقَدْ قَرَّبْتُ مُرْتَحِلًا ... يَا رَبِّ جَنِّبْ أَبِي الْأَوْصَابَ وَالْوَجَعَا

عَلَيْكِ مِثْلُ الَّذِي صَلَّيْتِ فَاغْتَمِضِي ... نَوْمًا فَإِنَّ لِجَنْبِ الْمَرْءِ مُضْطَجَعًا

Anak perempuanku menyampaikan di ketika waktu keberangkatannya telah dekat, "Wahai Tuhanku, jauhkanlah segala petaka dan penyakit dari ayahku.'"' (Ayahnya menjawab), "Semoga engkau mendapatkan pula hal yang semisal dengan apa yang kau doakan.


Maka tidurlah dengan nyenyak, alasannya yakni bergotong-royong setiap orang memerlukan istirahat."

Penyair bermaksud "semoga engkau pun memperoleh menyerupai apa yang kau doakan buatku". Makna ini sudah jelas. Kemudian lafaz "salat" berdasarkan istilah syara' digunakan untuk makna "perbuatan yang mengandung rukuk, sujud, pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan dilakukan dalam waktu-waktu yang khusus berikut persyaratan, sifat-sifat-nya, serta jenis-jenisnya yang telah terkenal".


Menurut Ibnu Jarir, salat dinamakan dengan sebutan demikian alasannya yakni pelakunya berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan ajakan hal-hal yang diperlakukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari nama kedua urat yang digerakkan dalam salat di ketika rukuk dan sujud; urat ini memanjang dari punggung hingga kepada tulang punggung yang paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini musalli dinamakan pula terhadap juara kedua dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.



Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari as-sala yang artinya menetapi sesuatu (memasukinya), menyerupai makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
لا يَصْلاها أي لا يَلْزَمُهَا وَيَدُومُ فِيهَا إِلَّا الْأَشْقَى

Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. (Al-Lail: 15)
Makna yang dimaksud ialah "tiada yang menetapi dan hingga infinit di dalamnya kecuali orang yang paling celaka."



Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang salat menegakkan kebengkokannya dengan salat-nya, menyerupai makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan bergotong-royong mengingat Allah (salat) yakni lebih besar (keutamaannya daripada ibadah lainnya). (Al-'Ankabut: 45)


Menganggap isytiqaq (bentuk asal) salat dari doa yakni pendapat yang paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada bab tersendiri.
banner
Previous Post
Next Post