Thursday 3 October 2019

Perpolitikan Kamar Mandi

Oleh : Zaid Ibadurrahman*
(Image: imjussayin.com)

April tiba bersama isu terkini semi di langit Cairo. Dari jendela balkon apartemen, saya menatap penggalan belakang Hadiqah Azhar. Jika biasanya di sana hanya ada semak belukar, kini dihiasi bunga dengan banyak sekali macam warna yang eksotis. Tak hingga di situ, beberapa tetesan air hujan juga mengihiasi bingkai jendela balkon, makin tambah eksotis. Kasihan handukku yang dijemur di depan balkon menjadi basah. 

Hujan tersebut yaitu jenis hujan yang tak akan didapatkan dalam buku pelajaran geografi. Bahkan seorang pakar sekali pun kuyakin tak mau ikut campur dengan hujan yang satu ini. Hujan ini yaitu hujan regional, di mana hanya turun pada satu wilayah saja, yaitu pada jemuran kami. Jika kamu pikir ini merupakan fenomena alam yang jarang terjadi, maka kamu salah. 

Mesir diguyur hujan dalam setahun mungkin hanya sepuluh kali, tetapi balkon kami menerima jatah dalam seminggu dua hingga tiga kali. Tetesan air itu berasal dari pakaian masih berair yang dijemur oleh tetangga yang tinggal di atas apartemen kami. Alhasil, sesudah pakaiannya kering, jemuran lantai bawah yang basah. Kuyakin ini ulah tetanggaku dari Mesir, bangsaku Indonesia terlalu mulia untuk disandingkan dengan perangai buruk menyerupai ini. Ah sudahlah, ini tak penting, ada hal lain yang ingin kubahas. Kasihan handukku makin usang makin basah. 

Setelah mengambil handuk, masalah kedua di pagi ini muncul. Kamar mandi tertutup dan dua anak Adam sedang mengantri di depannya. Sifat malasku membisik semoga tak kuliah saja dengan dalih telat antri di kamar mandi. Orang malas memang punya alasan tak masuk logika untuk mendukung keinginannya. 

Kutatap Taqin dan Rian, tak ada gejala mereka akan menyerah dari antrian. 

"Sebentar lagi pemilu, kuyakin orang yang Kau dukung tak akan sanggup tahta kali ini," seru Taqin, "lihatlah perutnya yang besar, cikal bakal koruptor itu." 

"Jangan sembarang Kau, justru junjunganmu itu yang akan kalah. Badannya kurus tak cukup gizi. Jika pemimpin saja tak cukup gizi, bagaimana mungkin mensejahterakan rakyat?" sahut Rian tak mau kalah. 

Ah, ini masalah ketiga. Akhir-akhir ini urusan politik tak mau minggat dari bibir orang-orang. Begitu pula untuk kedua temanku, Taqin yang mendukung kubu X, dan Rian yang menentukan kubu Y. Kalau mereka berdua sudah berselisih pendapat, tunggu dua kali jarum panjang melewati angka dua belas gres selesai. 

"Kalau X yang memimpin, kuyakin negara +62 akan maju pesat, infrastruktur kita akan diakui, dan sanggup menambah pendapatan negara." Taqin menambah argumen. 

"Omong kosong! Rakyat +62 tak butuh infrastruktur, mereka tak sanggup makan semen, yang perlu diperhatikan yaitu harga barang. Kalau harga barang terjangkau, barulah kita-kita ini sejahtera. Dan kuyakin Y sanggup mewujudkan itu semua," sengit Rian. 

Taqin menatapku. Aku tahu artinya, ia minta bantuan. Biasanya memang tabiatku ikut campur perdebatan, memanas-manasi, kemudian menjatuhkan kedua belah pihak. Namun, kali ini saya malas, atau lebih tepatnya kuingin segera masuk kamar mandi dan menunaikan apa-apa yang sanggup ditunaikan di dalam sana. Sebagai tanggapan tatapan Taqin, saya bertanya mengalihkan pembicaraan. 

"Siapa dalam kamar mandi? Kenapa usang sekali?" 

"Ipon." Rian yang duluan menjawab meskipun tak ditanya. 

Aiiih, yang benar saja, ini masalah keempat yang gotong royong masih sepaket dengan masalah kedua. Ipon, temanku yang tak sadar diri kalau masuk kamar mandi, inilah tantangan sebenarnya. Jika Taqin dan Rian sanggup berdebat hingga dua jam, maka Ipon sanggup bersemedi dalam kamar mandi satu setengah kali lipat lebih lama. Aku mulai curiga, jangan-jangan ia membuka portal ke dunia lain, kemudian berubah menjadi menjadi hero di negeri antah berantah, kemudian sesudah niat mulianya terpenuhi, barulah ia keluar dari kamar mandi. 

Mungkin sudah jauh hari tercatat dalam lembar-lembar takdirku, bahwa pagi ini saya harus menghabiskan waktu di depan kamar mandi dengan dua makhluk ini, sembari menungunggu satu makhluk lainnya keluar. Pembahasannya politik pula, lengkaplah cobaan hari ini. 

Sejujurnya saya tak terlalu suka politik, atau lebih jujurnya lantaran sudah tak banyak paham lagi ihwal hal itu. Jika ada benang merah yang sanggup ditarik antara saya dan politik, maka kuyakin itu empat atau lima tahun lalu. Memang ketika itu saya masih SMA, masa dimana seseorang labil, gampang dipengaruhi, ingin dilihat, ingin tampil beda, dan menolak dikatakan masih polos. Habislah tahun-tahun itu dalam omong kosong. 

Sekarang saya menganggap politik itu semacam kotoran. Kotoran itu dibungkus rapi dengan emas, kemudian ditaruh di atas piring mengkilap, dan dihidangkan untuk orang-orang tiga kali sehari. Mereka yang terpukau dengan kilauan, akan mengosongkan piring itu dengan sigap. Mereka yang berpikir dua kali, akan disuapi semoga mau menghabiskan. Sedangkan mereka yang sadar bahwa itu kotoran dan menolak mencicipinya, akan dicekik hingga mulutnya ternganga, kemudian dijejalkan benda itu hingga habis. 

Dari beberapa hal yang kupelajari, nyatanya dalam politik tak ada hal yang tetap. Semuanya sanggup berubah, mulai dari peraturan, tujuan, hingga rekan politik. Maka jangan heran bila tahun kemudian kelompok A bersebrangan dengan kelompok B, sanggup jadi kini atau tahun depan mereka akan bersatu melawan kelompok C. Lucunya lagi, beberapa anggota kelompok C ini dulunya penggalan kelompok A dan B. Tak hanya itu, perkataan dan janji-janji pemain politik juga sanggup berubah sesuai masa dan kepentingan. Hari ini bilang ini, besok bilang itu, besoknya lagi lain lagi, ahad depan ia protes bahwa tidak pernah menyampaikan ini, bulan depan ada saja omongan baru. 

Apa sebabnya? Mengapa mereka tak berpendirian tetap dalam berbicara? Coba cek dulu dari mana kalimat-kalimat itu bermuara. 

Semakin jago seorang politisi, semakin besar pula rumahnya. Semakin besar rumahnya, semakin banyak pula ruangannya. Ada ruangan-ruangan yang indah dicat putih bersih, siapa pun yang melihat akan terkesima. Ruangan ini kerap dikunjungi tamu. Mereka terpukau, memuja dan menceritakan kehebatannya pada orang lain. Ada pula ruangan-ruangan tersembunyi jauh di bawah. Di sana gelap, tak ada lampu, dan tak ada yang boleh masuk kecuali si pemilik dan beberapa orang kepercayaannya. Dalam ruangan ini berjejer puluhan lemari bertingkat, tiap tingkat terdiri dari laci-laci, dan laci inilah yang semestinya tamu-tamu itu lihat isinya. 

Di sana tersimpan puluhan bahkan ratusan benda lengkung tipis dengan banyak sekali bentuk dan warna. Setiap harinya si pemilik akan memilah dan menentukan benda mana yang harus dipakai. Begitu memakainya, barulah mereka berani keluar, menghadapi orang-orang, dan melawan musuh politik. Benda-benda tersebut yaitu topeng. Tujuan penggunaannya macam-macam, ada yang menggunakan untuk menutupi hidung mereka yang kian panjang ketika membohongi khalayak, ada yang menyembunyikan gigi tajam mereka yang berkhasiat untuk mengerat uang dan aset negara, ada yang menyamarkan nafsu buas hewani mereka yang haus darah dan bahagia melihat makhluk lain menderita, ada juga yang hanya sekedar semoga diterima masyarakat, namun lantaran bersekutu dengan jenis-jenis tadi, ikut terlaknat pula ia. 

Beberapa laci lainnya berisi parfum, yang juga banyak sekali macam bau dan warna. Tentu saja sama fungsinya dengan topeng tadi, untuk menyelubungi bau kebusukan mereka, bau busuk mulut-mulut kotor, bau niat jahat, bau hati penuh noda. Parfum dan topeng ini harus diperbaharui tiap hari. Jika tidak, akan hilang efeknya. Akan terlihat terang warna asli, bau asli, dan rupa orisinil mereka. Jadi, lantaran mereka harus mengganti benda-benda ini, maka berakibat pada kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Beda topeng beda janji, beda parfum beda orasi. 

Berganti objek dari pemegang pedang politik kepada para bidak. Mereka yaitu para pendukung, penjunjung dan pemuja tokoh-tokoh politik tadi. Puluhan kalimat diucapkan telah saling bertentangan, puluhan kesepakatan masih tak ditepati, puluhan bukti sudah menampakkan kesalahan. Anehnya, pendukung mereka selalu punya alasan tak masuk logika untuk mencocokkan bahwa kalam-kalam itu tak saling bertentangan, janji-janji itu masih dipercayai, dan bukti-bukti itu diputarbalikkan entah bagaimana caranya sanggup menjadi seseuai keinginan. Ah, coba cari kata "fanatik" di KBBI, kalau masih ada syukurlah. Kalau tak ada lagi, kuyakin telah diserobot semua oleh orang-orang ini. 

Hanya lantaran terlalu banyak saya menyampaikan hal-hal negatif dari politik, bukan berarti tak ada pelaku politik yang lurus. Tentu saja masih ada beberapa kelompok yang perpolitik dengan baik, sesuai dengan aturan negara, norma-norma sosial, dan budaya masyarakat. Sayangnya, kelompok ini biasanya tak bertahan lama, lantaran dibantai habis-habisan dengan cara-cara kotor. Makanya, kalau ingin berpolitik bersih, kusarankan jangan terlalu menonjol ke permukaan. 

Seperti halnya temanku, Rian dan Taqin. Mereka berdebat sengit dalam politik, namun mereka tidak fanatik. Aku kenal betul dua orang ini. Sebenarnya mereka berpolitik damai-damai saja, tak hingga memusuhi lawan politik hanya lantaran berbeda kawasan berpijak. Akan tetapi, alasan mereka berdebat yaitu lantaran Taqin suka beradu mulut. Maka ia memancing Rian. Adapun Rian yaitu jenis hamba dengan naluri besar lengan berkuasa bersaing, apalagi dengan Taqin. Pantang ia dengar satu kalimat jago dari Taqin, bagaimanapun caranya, ia harus mematahkan argumen itu. Kasihan saya yang terjebak antara persaingan tak masuk akal, di depan kamar mandi pula, dengan seseorang yang tidur di dalamnya. 

Agar tidak terlalu jauh kita main, mari kembali ke depan kamar mandi. Rian dan Taqin sudah mulai bosan berdebat. Namun, Ipon belum juga keluar. Karena tidak tahu mau melaksanakan apa, alhasil mereka tetapkan untuk menggedor pintu kamar mandi, semoga Ipon cepat keluar. Dalam hal ini mereka berdua kompak. Diajaknya saya pula. 

"Ini sudah terlalu lama, tidak sanggup dibiarkan," sabda Taqin, "pokoknya ia harus keluar sekarang, biar saya yang masuk kemudian, saya kesepakatan takkan lama. Aku paham penderitaan kalian yang mengantri, lantaran saya juga sudah merasakannya." 

"Iya, saya setuju," sahut Rian, jarang-jarang ia menyetujui anjuran Taqin. 

Setelah beberapa kali menggedor pintu dan berteriak, alhasil mereka berhasil menyeret Ipon keluar, mungkin ia terkejut dari tidurnya. Masuklah Taqin ke dalam kamar mandi, tinggallah Rian dan saya yang mengantri. Menunggu lagi. 

Beberapa menit kemudian, Taqin belum keluar juga. Ternyata hangatnya air di dalam kamar mandi telah membuatnya lupa akan orang di luar. Rian mulai tak sabaran. "Katanya tak lama," ia mendengus kesal, kemudian menatapku. "Sudah saatnya saya masuk, bantu saya mengusir ia dari dalam." Aku mengangguk, makin cepat ia masuk, makin cepat pula giliranku. 

Seperti halnya Ipon, Taqin pun keluar sesudah beberapa kali digedor. Rian pun masuk menggantikan. Tinggal saya sendiri. Meski berjanji tidak lama, saya yakin ia akan lupa pada janjinya. Sama menyerupai Taqin. 

Beginilah potret sederhana panggung politik. Waktu Ipon terlalu usang dalam kamar mandi, Rian dan Taqin bersatu untuk membuatnya keluar. Meskipun Taqin yang masuk, Rian oke saja, mempercayai kesepakatan Taqin yang katanya tak akan lama. Begitu juga dalam sistem kepemimpinan, ketika seseorang dinilai menduduki tahta terlalu lama, atau tidak sesuai aturan, akan muncul golongan-golongan yang bersatu untuk menjatuhkannya. 

Lalu sesudah pemerintahan runtuh, salah satu tokoh golongan ini akan naik tahta sebagai pemimpin baru, menjanjikan akan lebih baik ke depannya, dengan alasan bahwa ia paham penderitaan mereka lantaran pernah berjuang bersama. Sama halnya menyerupai Taqin yang berjanji tak akan lama. Lalu sesudah menempati jabatan, ia akan terlena dengan kenikmatan, mengencingi janjinya dahulu dan melupakan mitra seperjuangan. Persis dengan ketika Taqin tak ingat kami yang mengantri lantaran kehangatan air mandi.

(Image: Zaid Ibadurrahman)
Begitu golongan tadi merasa dikhianati rekannya sendiri, ia akan mencari rekan baru, lihatlah Rian yang mengajakku mengeluarkan Taqin. Lalu akan ada lagi yang mengambil alih kepemimpinan, menjanjikan hal yang lebih baik menyerupai pemimpin sebelumnya, kemudian lupa lagi, begitu seterusnya berputar-putar tanpa akhir. 

Rupanya gedoran tadi terlalu keras, sehingga membangunkan temanku yang masih tidur pagi, Ahmad dan Fata. Setelah melihat jam, mereka buru-buru ke kamar mandi. Mendapati saya yang berdiri di depan pintu kamar mandi, alis Fata berkerut. 

"Mengapa belum selesai? Siapa di dalam? Kok usang sekali? Giliranmu sesudah ini? Kurasa saya lebih duluan mengantri tadi sebelum kamu bangun, tapi saya tidur lagi, jadi sesudah ini biar saya yang masuk." Kata Fata tanpa pendek panjang harakat. 

"Enak saja," Ahmad menimpali, "setelah ini saya yang masuk. Sebenarnya tadi subuh saya yang pertama bangun, saya juga yang menyalakan pemanas, tapi saya tidur lagi." 

Ini masalah ke berapa? saya tak ingat. 

Mereka berdua juga sanggup kawasan dalam drama politik. Mereka yaitu orang-orang yang tidak mau mengantri, lantaran usang dan membosankan, kemudian lebih menentukan tidur. Kemudian ketika mendapati mereka kepepet dan ada orang dalam kamar mandi, mulailah merepet satu persatu, menuding yang lain, menyampaikan mereka lebih pantas masuk selanjutnya. Padahal sebelumnya tidak mengantri. 

Inilah kaum golput, tidak mau ikut dalam politik, katanya penuh dengan cara-cara kotor, dan berusaha menentukan jalan yang dianggap aman. Lalu ketika mendapati orang yang duduk di tahta tidak sesuai, hak-haknya tak terpenuhi, mulailah mereka berkoar, menyampaikan pemimpin salah, mempertanyakan mengapa pemerintahan sanggup dipegang oleh orang yang begini, mengapa aturan sanggup begitu, padahal sebelumnya tak mau ikut campur dalam pemilihan pemimpin. 

Adapun saya tidak berselera tabrak lisan di pagi ini. Dari tadi saya tak banyak bicara dan hanya memantau, sementara dalam hati habis-habisan saya mengumpat. 

Kaum menyerupai saya juga ada. Mereka jauh dari politik, memantau roda kepemimpinan dari jauh, sanggup melihat kesalahan semua orang, semua golongan. Mereka tak mau ikut campur, tapi dari belakang terus menjelekkan pemerintah. Mereka mengetahui kekurangan, tapi tak mau menciptakan perubahan. Mereka mengenali kelemahan, tapi tak mau mengisi kekosongan. Mereka menganggap dirinya di atas angin, sementara yang lainnya di bawah. Mereka merasa paling suci, sehingga yang lain dijauhi.

Baca juga cerpen: Mahar Berduri

Demikianlah saya memulai pagiku dengan buruk. Mungkin besok lebih baik, semoga saja. Semoga juga sesudah pemilu nanti orang-orang tidak saling bermusuhan. Semoga hati mereka tetap higienis tanpa noda. Jika bernoda, silahkan basuh lagi dan pastikan habis airnya sesudah diperas. Jangan mencontohi tetanggaku yang menyumbangkan hujan seminggu tiga kali.[]

*Penulis yaitu mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
banner
Previous Post
Next Post