Friday 4 October 2019

Manipulasi Sejarah Pembakaran Perpustakaan Alexandria Mesir (Bagian I)

Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
(Image: history101.com)
Dalam Bahasa Indonesia, perpustakaan berasal dari kata "Pustaka" yang berarti kitab atau buku. Dalam bahasa asing, ada beberapa istilah yang maknanya sama dengan perpustakaan, antara lain ibarat Biblioteca (bahasa Italia), La Bibliotheque (bahasa Perancis), dan Library (bahasa Inggris).


Awal kemunculannya, perpustakaan yakni taman banyak sekali koleksi buku. Namun, ketika ini perpustakaan tidak hanya menampilkan banyak sekali koleksi buku, tapi juga banyak sekali benda-benda yang mengandung unsur ataupun nilai ilmu pengetahuan ibarat periodik, mikroskop, manekin dan lain sebagainya. 

Di kepingan utara Mesir, Iskandariyah atau yang lebih dikenal dengan Alexandria yakni nama salah satu kota yang menjadi saksi akan peradaban ilmu pengetahuan semenjak era sebelum masehi. Dikarenakan dulu pernah ada satu perpustakaan yang erat disebut dengan Perpustakaan Agung Alexandria sekaligus dinobatkan sebagai perpustakaan pertama di dunia. 

Sejarah Pembangunan 

Perpustakaan Agung Alexandria dibangun pada tahun 323 SM oleh Raja Ptolemy Soter sebagai raja pertama Dinasti Diadoch. Kemudian semenjak dipimpin oleh para penggantinya ibarat Ptolemy Philadelphus (285-247 SM) dan Ptolemy Eurgetes (247-221 SM), perpustakaan ini terus berkembang dan menjadi sangat besar. Perpustakaan ini dibangun oleh Ptolemy I dengan maksud utama mengumpulkan dan memelihara semua karya kesusastraan Yunani. Pentingnya perpustakaan di Mesir pada waktu itu ditandai dengan beberapa ilmuwan besar yang bekerja di temoat tersebut ibarat Erastothenes, Aristophanes, Aristarchus, Callimachus, Apollonius dan Zenodotus pada periode tiga atau dua sebelum masehi.

Perpustakaan ini menjadi ikon bahwa pada masa itu, Alexandria menjadi sentra pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Di dalamnya mengoleksi antara 40.000 hingga 400.000 gulungan, yang mungkin setara dengan 100.000 buku. Pada puncak kejayaannya, perpustakaan ini mempekerjakan 100 staf ahli. 

Mengapa Alexandria Menjadi Pusat Intelektual pada Masa Itu? 


Alasan mengapa Alexandria dianggap sebagai sentra intelektual pada masa itu dikarenakan keberadaan banyak cendikiawan populer yang bekerja di perpustakaan tersebut. Zenodotus dari Efesos yang berupaya menstandarisasi naskah-naskah puisi Homeros, Kalimakos yang menulis Pinakes—yang dianggap sebagai katalog perpustakaan pertama di dunia.



Apollonius dari Rodos yang menyusun puisi Wiracarita Argonautika. Erastothenes dari Kirene yang telah menghitung keliling bumi dengan keakuratan yang hanya meleset sedikit dari angka yang sudah dihitung dengan alat lebih modern. Aristophanes dari Bizantion yang menciptakan diakritik Yunani, dan juga orang pertama yang membagi naskah-naskah puisi menjadi berbaris-baris. Aristarchus dari Samotrakia yang menciptakan naskah definitif puisi-puisi Homeros serta menulis komentarnya yang panjang untuk karya puisi-puisi tersebut.

Kemudian beralih pada masa Ptolemy III Euergetes, salah satu cabang perpustakaan didirikan di Serapeum. Serapeum ini pada awalnya yakni nama kuil yang diperuntukkan bagi yang kuasa Mesir-Yunani berjulukan “Serapis”, yang menggabungkan aspek Osiris dan Apis dalam bentuk insan yang diterima oleh orang-orang Yunani Ptolemeus di Alexandria.

Semua perjuangan para cendikiawan tersebut menimbulkan Perpustakaan Alexandria sebagai wakil dari kota tersebut akan peradaban ilmu pengetahuan yang sangat gemilang ketika itu. Perpustakaan Alexandria menjadi yang terbesar disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni lantaran pada masa kejayaannya, setiap kapal dan penjelajah yang singgah ke Mesir akan digeledah. Setiap buku dan naskah yang ditemukan akan disalin, hasil salinannya akan diberikan kemudian naskah aslinya akan disita oleh pihak perpustakaan. 

Memoar Sejarah Terbakarnya Perpustakaan Alexandria

Berbicara mengenai sejarah Perpustakaan Alexandria selain kejayaannya pada masa Mesir-Yunani Kuno, kemundurannya juga menjadi topik yang selalu panas dibicarakan, lantaran para pemalsu sejarah selalu mengulang-ulang keterkaitan muslim dengan keruntuhan perpustakaan. Mereka mendoktrin bahwa yang meruntuhkan perpustakaan tersebut yakni Arab muslim ketika penaklukan Mesir dan Iskandariyah yang dipimpin oleh Amr bin ‘Ash atas perintah Khalifah Umar bin Khaththab. 

Pembakaran Perpustakaan Agung Alexandria oleh umat muslim yakni salah satu pemalsuan sejarah yang dimaksudkan biar mendoktrin dunia bahwa agama Islam yakni agama anti ilmu pengetahuan. 

Tuduhan terhadap Amirul Mukminin

Sigrid Hunke (w. 1999) seorang penulis berkebangsaan Jerman menuliskan sebuah buku berjudul “Allah ist ganz anders – von 1001 Vorurteilen uber die Araber” membahas mengenai apa yang telah dipalsukan dalam catatan sejarah kehancuran salah satu sentra peradaban ilmu pengetahuan tersebut. 

Ia menuliskan dalam bukunya bahwa memoar pembakaran perpustakaan ini yakni pemalsuan sejarah yang tidak ingin dihapus, meskipun sudah berulang kali ditegaskan kepalsuan sejarahnya. Sebuah koran harian Jerman populer kembali mengembangkan isu tersebut. Dalam koran itu dikatakan:

“Ketika pasukan tentara yang membawa panji iktikad menyerang dalam serbuan penjajahan yang dipimpin oleh Amru bin ‘Ash ke Mesir, hingga Mesir karenanya terjajah dan Alexandria ditaklukkan, ia memerintahkan biar perpustakaan kuno di sana dibakar (Perpustakaan Mouseion) yang didalamnya ada sekitar 700 ribu manuskrip, dengan mengambil materi bakar di tempat-tempat pemandian, yang dengan itu musnahlah peninggalan kuno umat insan yang diwariskan oleh bangsa Yunani. Dikatakan bahwa ketika itu beliau hanya mengikuti perintah Khalifah Umar dengan ucapannya yang kosong dan pemikirannya yang sempit mengatakan:

"Apa yang ada dalam manuskrip-manuskrip itu sanggup jadi ilmu yang sesuai dengan apa yang ada dalam Kitab yang tidak ada lagi kitab selain Al-Quran maka ilmu tersebut tidak lagi diperlukan dan tidak perlu untuk dipertahankan. Atau sanggup jadi apa yang ditulis di dalamnya bertentangan dengan Al-Quran maka beliau haruslah dibakar, lantaran Islam tidak mengizinkan kecuali hanya satu kitab saja yang disusun, kitab segala kitab yaitu Kitab Allah, yang tak lain dan tak bukan yakni Al-Quran."

Ilustrasi peristiwa dan pembakaran perpustakaan Alexandria. (Image: historyconflicts.com)
Bagaimana sanggup Arab melaksanakan pemusnahan biadab ini kepada ilmu pengetahuan yang tidak akan ada lagi penggantinya? Mengapa mereka melaksanakan penghancuran sedangkan orang-orang di sini hingga kini masih meluapkan kemarahan dan cecaran terhadap orang-orang bergairah yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mulia itu? ”

Maka menurut tuduhan yang dilemparkan melalui media koran di Jerman tersebut, Sigrid Hunke melanjutkan klarifikasi dengan mengangkat atau mengungkap fakta sebetulnya dan tak terbantahkan hingga ketika ini sebagai jawaban untuk menjawab tuduhan-tuduhan ini.

Fakta Museion

Faktanya bahwa Museion (Institution of The Muses) Alexandria yakni sebuah rumah musik atau puisi, sekolah filsafat dan perpustakaan ibarat Akademi Plato dan juga gudang teks. Ia merupakan sebuah institusi yang sanggup mempertemukan beberapa ilmuwan terbaik dunia Helenistik yang setara dengan universitas modern. Didirikan oleh Ptolemy I Soter atau mungkin oleh anaknya Ptolemy II Philadelphus. 

Museion Alexandria yang dibangun oleh Raja Ptolemy I Soter pada tahun 300 M yakni sumber penyebararluasan ilmu pengetahuan Yunani Helenistik, dengan besarnya perpustakaan yang menghimpun hampir satu juta manuskrip. Dikatakan bahwa perpustakaan itu mengumpulkan semua goresan pena yang ditulis dengan bahasa Yunani.

Museion ini meliputi semua jenis sains dan pengetahuan yang ada pada ketika itu, kemudian barulah perpustakaan ini terbakar pada tahun 47 SM selama pengepungan terhadap Kaisar Alexandria. Kemudian Cleopatra membangun kembali perpustakaan tersebut dan menambahkan manuskrip gres dengan jumlah yang tidak sanggup diremehkan, itu semua diambil dari Perpustakaan Pergamum.


Pergamum yakni salah satu kota Yunani Kuno di Mysia, sebelah barat bahari Antolia, terletak di ujung sisi utara Sungai Caicus, 16 mil dari Laut Aegea. Saat peradaban Yunani Kuno, Kota Pergamum memilki perpustakaan terbaik sesudah Perpustkaan Agung Alexandria. 

Sigrid Hunke melanjutkan bahwa sempurna pada periode ketiga menjadi awal penghancuran terencana, buktinya antara lain:

- Kaisar Caracalla menghapuskan Akademi tersebut kemudian dibubarkan, membunuh para ilmuwannya dalam pembantaian yang sangat keji dan begitu mengerikan.

- Patriark Katolik pada tahun 272 Masehi menutup Perpustakaan tersebut dan memaksa para ilmuwannya aben “tulisan-tulisan kafir”, sehingga dihancurkan oleh orang-orang kristen fanatik.

- Pada tahun 366 M, Kaisar Valens mengubah Museum Caesareum menjadi sebuah gereja, menjarah perpustakaannya, aben buku-bukunya, menyiksa para filsufnya serta menuduh mereka melaksanakan praktik sihir dan tenung.

- Pada tahun 391 M, tindakan pembasmian orang-orang kafir (nonkristen) terus berlanjut. Patriark Theophilos berhasil mendapat izin dari Kaisar Theodosius untuk menghancurkan Serapeum sebagai sentra perguruan terbesar dan terakhir bagi kawasan pinjaman pengetahuan masa lalu, kiblat populer yang dituju oleh para penuntut ilmu dari segala penjuru, menimbulkan perpustakaannya yang menyimpan 300 ribu manuskrip ini sebagai santapan pengecap si jago merah, kemudian membangun biara dan gereja di atas bekas reruntuhannya. 

- Tentang apa dan siapa saja yang selamat, maka itu akan segera menjadi sasaran dari kelompok ekstremis Katolik yang tersebar di Alexandria tepatnya pada periode kelima masehi, di mana mereka terus melaksanakan pemusnahan ilmu pengetahuan serta tak segan-segan lagi meruntuhkan pusat-pusat budaya, monumen dan perpustakaan mereka dan menyerang para ilmuwan mereka. Itu semua sebagaimana ratifikasi dari Severus Antokia yang penuh kesombongan dan tanpa sedikit pun rasa malu, di mana pada kemudian harinya ia menjadi Patriark Koptik beserta beberapa teman-temannya. 

Demikianlah beberapa bukti fakta yang sanggup terjawab secara terang siapa sebetulnya yang meruntuhkan serta merusak seluruh jejak-jejak peradaban ilmu pengetahuan di Alexandria dulunya. Kita lihat bahwa semua perpustakaan-perpustakaan kuno di Mesir sudah tidak ada lagi ketika Arab memasuki bumi Afrika yaitu dari Alexandria, Mesir pada tahun 642 M, atau lebih tepatnya lagi bertepatan pada tahun ke-8 Umar bin Khaththab sebagai Khalifah Ar-Rasyidin.

Referensi : 
-Hunke, Sigrid, “Allah ist ganz anderz – Enthullung von 1001 Vorurteilen uber die Araber;(Allah Tiada yang Menyerupai-Nya)”, Pusat Terjemah Al-Azhar, Cairo: 2018.
-Bagir, Haidar, "Buku Saku Filsafat Islam", Mizan Digital Publishing, Bandung: 2006
-Soleh, M. Ag, Dr. H. A. Khudori, "Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer", Ar-Ruzz Media, Jogjakarta: 2016
-“Alexandria, Perpustakaan Pertama di Dunia”, primaindisoft.com.[]

*Penulis yakni Mahasiswa tingkat I Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
banner
Previous Post
Next Post