Thaiburrifqi Ananda Hafifuddin |
Tengah malam. Setelah beribadah tahajud, laki-laki yang berumur sekitar setengah kurun itu tertidur pulas di atas sajadah. Di dalam tidur, ia bermimpi sedang menelepon anaknya, tapi panggilan tidak tersambung-sambung dan putus. Nomor tersebut tidak bisa dihubungi lagi. Ia terjaga dari tidur. Setelah insiden itu, ia mempunyai firasat jelek yang barangkali akan menimpa anaknya.
Tahun 2011, sehabis menamatkan diri dari Pesantren Raudhatul Hasanah, Thaiburrifqi memperoleh beasiswa ke Suriah—yang pada ketika itu gres saja berkecamuk perang. Ia memang populer cerdas semenjak kecil, namun begitu, orang bau tanah Thaibur mewaspadai beasiswa yang ia dapatkan. Ayahnya tidak mewaspadai kecerdasannya. Sebagai akademisi, ayahnya malah mewaspadai mekanisme perekrutan beasiswa yang ia peroleh. Saat itu kampanye jihad ke Suriah juga sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia. Ayahnya khawatir ia terjebak dalam propaganda perekrutan jihadis dengan modus pemberian beasiswa.
Bernama lengkap Thaiburrifqi Ananda Hafifuddin. Thayeb lahir dan besar dari keluarga taat beragama dan berpendidikan. Thayeb anak dari Dr. Hafifuddin Irsyad dan Dra. Faizah M. Thaeb. Hafifuddin Irsyad merupakan rektor salah satu perguruan tinggi di Aceh. Orang bau tanah ingin Thayeb mendapat kanal pendidikan melebihi mereka. Namun, bukan dengan cara hal-hal yang berpotensi penipuan atau bahkan mengancam jiwa anaknya. Firasat jelek Bapak Hafifuddin melalui mimpi dan pertimbangan matang terhadap ketidakjelasan penyedia beasiswa ke Suriah berakhir pada kesimpulan: Thayeb tidak bisa menjejakkan kaki ke Suriah. Tahun itu ia gagal melanjutkan pendidikan ke Dunia Arab.
Thayeb balasannya menentukan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh. Ia kemudian berjumpa dengan Tengku Rahmat Zul Azmi, mahasiswa S2 Al-Azhar, yang ketika itu sedang mengajar di Malikussaleh. Dari Tengku Rahmat inilah ia banyak mendapat kisah dan kisah menarik perihal Al-Azhar dan Mesir. Semangat Thayeb melanjutkan studi ke Timur Tengah kembali menggebu-gebu. Kali ini bukan lagi Suriah. Pilihan jatuh ke Mesir.
Setahun sehabis itu, melalui izin orang tua, Thayeb eksklusif mengikuti seleksi masuk Universitas Al-Azhar Kairo lewat jalur resmi Departemen Agama di Jakarta. Thaibur lulus dengan nilai cukup memuaskan.
Anak pertama dari empat bersaudara ini cukup bersyukur ketika namanya muncul dalam daftar kelulusan mahasiswa yang akan berguru di Al-Azhar Kairo. Cita-citanya berguru Islam dari sumbernya eksklusif yang sanad keilmuaannya bersambung sampai ke Rasulullah Saw. terwujud.
“Memang. Di Indonesia, sanad aliran Islam juga bersumber dan bersambung sampai ke Rasulullah. Namun, sanadnya sudah agak jauh, kawasan yang juga agak jauh dan cukup berkemungkinan terjadinya perubahan dalam memahami zuq Bahasa Arab. Ini yang mungkin menjadi kelebihan dan poin penting bagi mereka yang berguru eksklusif bersama masyarakat Arab,” ujar Thayeb yang sempat mendaftar di Universitas Madinah sebelum balasannya lulus di Al-Azhar Kairo.
Merantau bukan lagi hal gres bagi Thayeb. Setelah menamatkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kuta Blang, ia eksklusif berpisah dari orang tua. Ia masuk ke pondok pesantren modern Raudhatul Hasanah Medan. Thayeb mendapat sumbangan besar dari keluarga, terutama ketika tahu ia lulus ke Mesir. “Inni ra-aitu wuqufal ma-i yufsiduhu,” ujarnya menukilkan kalam Imam Syafi’i. Air tergenang—yang tidak mengalir—akan rusak dengan sendirinya.
Thayeb tak pernah berfikir, mimpinya semenjak membaca novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman As-Syirazi bakal menjadi kenyataan. Thayeb pengagum Ayat-Ayat Cinta, novel ini memberi motivasi besar baginya untuk melanjutkan studi sampai ke Mesir. Jika beruntung, ia akan bernasib ibarat Fahri, mempersunting perempuan shalehah asal Mesir atau Turki.
Thayeb awalnya sempat kecewa ketika awal tiba di Mesir. Mesir yang dibayangkannya jauh dari segala ekspektasi ketika ia membaca Ayat-Ayat Cinta. Kondisi masyarakat yang keras, kurang disiplin, birokrasi dan kebersihan yang tidak terawat menjadi nilai minus bagi Thayeb. Bagi Thayeb, kehidupan di Mesir memang tidaklah seindah paras Aisya atau semanis wajah Maria dalam Ayat-Ayat Cinta, tapi Mesir menunjukkan hal lain yang jauh lebih mempunyai kegunaan bagi kehidupan. Mesir mendidik mahasiswa Asing bukan hanya tangguh dalam ilmu keislaman, spritual, tapi juga menempa siapapun secara mental dan psikologis.
“Satu hal yang mungkin menjadi nilai yang sangat berharga di Mesir. Universitas Al-Azhar. Dalam Ayat-Ayat Cinta memang tak banyak dijelaskan perihal Al-Azhar, tapi inilah hal positif dan satu-satunya yang melebihi ekspektasi saya. Al-Azhar yang saya baca dan saya dengar, jauh lebih hebat, jauh lebih agung dari yang saya pikir. Sejak tingkat pertama saja, kita sudah diajarkan eksklusif oleh ulama yang mumpuni di bidangnya. Profesor di bidangnya. Di sini kita tidak diajarkan asal-asalan oleh orang asal-asal. Inilah kehebatan Mesir. Al-Azhar,” ungkap Thayeb.
***
Thayeb tak menduga bakal memimpin komunitas mahasiswa Aceh yang tergabung dalam . Baginya, menjadi ketua mempunyai tanggung jawab yang tak biasa. Sebenarnya, Thayeb bahkan tak bersedia dicalonkan sebagai calon ketua. Namun, gerakan arus bawah dan atas mahasiswa Aceh manyoritas mendukungnya. Thayeb dianggap sosok yang paling pas mengarahkan KMA setahun ke depan. Ia terpilih dengan bunyi terbanyak.
Malam ratifikasi sebagai ketua—yang disaksikan seluruh mahasiswa Aceh—bola mata Thayeb berlinang. Malam itu ia tidak banyak mengeluarkan kata-kata. Wajah cowok yang lahir tahun 1993 silam terlihat resah. Bagi Thayeb, ini tanggung jawab besar.
Pagi itu, Bob, kucing piaraan KMA, berkeliaran di depan KMA. Berlenggak-lenggok di depan Thayeb. Sesekali ia menjilat bulu-bulu tubuhnya. Bob menatap Thayeb, kemudian pergi meninggalkan Thayeb dengan kecamuk perang di otaknya. Setelah dikukuhkan sebagai ketua KMA dalam Muhasabah Dewan Syura, banyak hal yang dipikirkannya. Thaibur harus merubah schedule hidup demi menyesuaikan kerja sebagai ketua KMA.
Bob—kucing tak tahu diri itu—sudah berlalu pergi. Thaibur masih duduk di depan KMA. Ia menghubungi keluarga, meminta restu, izin dan nasehat kepada orang tua.
“Menjadi pemimpin itu berat. Harus pintar mengembangkan waktu. Berbagi waktu antara kuliah, mengaji dan berorganisasi. Ketua tidak bekerja sendiri, tapi bekerja dalam tim dan kelompok, makanya administrasi kerja sangat diharapkan supaya mendapat kualitas dan hasil kerja yang maksimal,” ujar mahasiswa pascasarjana tingkat dua Konsentrasi Hadis, menirukan pesan orang tuanya.
Menjadi ketua KMA bukanlah pilihan sederhana. Thaibur paham, menjadi ketua yaitu proses yang harus dijalani untuk mengasah administrasi waktu, menajamkan kepekaan terhadap orang lain, membangun cara berfikir yang baik, berguru berbicara di depan umum, sampai membuat kedewasaan dalam bersosialisasi terhadap masyarakat dengan banyak sekali karakter. Thayeb cukup yakin, dalam titik-titik tertentu dalam kehidupannya di masa mendatang, hal ini akan sangat berguna.
Jiwa berorganisasi sudah dipelajari semenjak Thayeb menjadi santri di pesantren Raudhatul Hasanah. Di sini ia memimpin gerakan Pramuka. Awal kedatangannya di Mesir, Thayeb bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Mesir, menjadi anggota dan pengurus Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) dan pengurus KMA beberapa periode sebelum balasannya menjadi ketua KMA.
Thayeb cowok yang tak bisa membisu dan duduk, ia harus aktif, badannya harus terus bergerak, kepalanya harus terus berpikir. Berorganisasi merangkul semua hal ini dalam satu wadah, dan ia menikmati hal itu.
Pemuda dengan tubuh agak gemuk ini bukan hanya piawai dalam mengelola aktivitas dan organisasi. Thayeb dikenal sebagai sosok ramah dan ringan tangan terhadap semua orang. Tak heran ia selalu dicalonkan sebagai ketua KMA tiga tahun berturut-turut. Rupanya hal ini berkontribusi besar ketika ia menjadi pemimpin bagi mahasiswa Aceh di Mesir.
“Banyak sekali yang menghubungi saya, menyampaikan bersedia menjadi pengurus, bersedia membantu apa saja selama kepengurusan. Saya bahkan kesulitan menentukan pengurus, makanya kepengurusan kali ini agak gemuk dari biasanya,” kata cowok kelahiran Banda Aceh, 10 April 1993, yang sempat kebingungan menentukan pengurus.
Thayeb yaitu penggemar berat One Piece, film kartun animasi yang berasal dari Jepang. Thayeb mengakui, secara tidak eksklusif ia banyak berguru dari Luffy—tokoh utama di One Piece, bahwa menjadi pemimpin itu tidak harus orang yang perfect. Seorang pemimpin tidak mesti menguasai segala bidang, segala hal. Baginya, hal yang paling penting, seorang pemimpin itu harus bisa mengerti kebutuhan, impian dan perasaan orang di bawahnya. Dan paling bisa untuk mengikat banyak sekali elemen yang dipimpinnya dalam ukhuwah yang sama.
Menurut Thayeb, memimpin orang Aceh agak sulit. Orang Aceh sedikit keras kepala dan susah diatur. Meskipun begitu, menurutnya, menjadi ketua KMA bergotong-royong tidak terlalu melelahkan, namun mempunyai beban moral yang besar. Di sinilah kesulitannya.
“Saya berguru banyak dari orang tua, ketika kita diberikan sebuah amanah, kita harus benar-benar bertanggungjawab. Dan yang paling penting yaitu ikhlas. Walaupun kita ambisius, banyak program, administrasi bagus, tapi tanpa keikhlasan, semua yang kita lakukan tidak bernilai. Iklas dan maksimal dalam membantu KMA. Jika kita bisa membantu sepuluh, mengapa kita hanya mau membantu lima saja. Dan yang paling penting, kita harus selalu menyertakan Allah dalam setiap aktivitas kita,” ujar cowok pencinta kopi Gayo ini.
“Jika seadainya saya nanti mulai menjauh dari Allah. Tolong diingatkan saya, bila saya saja tidak erat dengan Allah, bagaimana mungkin KMA yang kini saya pimpin bisa erat dengan Allah. Jika kita tidak bisa menjadi referensi yang baik untuk diri sendiri, bagaimana mungkin kita menjadi teladan bagi orang lain,” tambah Thayeb.
Laki-laki yang tergabung dalam pemuda-pemuda shaleh pencinta Drama Korea dan India ini bukan hanya populer cerdas di bidang Ilmu Hadis, ia juga cukup piawai dalam mengotak-atik komputer, terutama aplikasi yang berkaitan dengan desain grafis. Ia menjadi pembimbing di KMA.Tv, dan berperan sebagai editor di website Kmamesir.org dan Sekolah Menulis KMA yang telah melahirkan banyak buku.
Saat ditanya apakah menjadi ketua KMA bisa memperlambat proses pernikahannya. Thayeb hanya tersenyum, kemudian memberi jawaban cukup politis, “Doalah…”[]
Farhan Jihadi