Sunday 3 November 2019

Mahar Berduri

Oleh: Farhan Jihadi
rozana.fm
"Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar dibayar tunai," ucap Mahmud tegas. 



Para hadirin terlihat keheranan, sebagian berbisik-bisik, bagaimana mungkin gadis secantik dan secanggih Fatimah di negeri itu dinikahkan ayahnya dengan mas kawin hanya berupa seikat mawar. Hal ini tergolong sangat langka di negeri Achin, negeri renta yang bertetangga dengan Samudra Hindia itu hidup dalam tradisi dan susila yang kental, termasuk dalam tradisi pernikahan. Dan hal menyerupai ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Kejadian yang hampir tidak mungkin ini tentu saja menciptakan tamu seruan terkesima, seolah tidak percaya, belum lagi yang menjadi mempelai wanitanya bukanlah sembarangan perempuan. Adalah Fatimah, putrinya Tuan Daud, saudagar besar di ibu kota. Fatimah bukan hanya berparas bagus menyerupai ibunya yang mempunyai garis keturunan Arab, ia perempuan berpendidikan. Fatimah lulusan ilmu kedokteran di kampus bergengsi di Achin, sebelum kesannya dipersunting Mahmud. 

Negeri Achin cukup berpengaruh menjaga susila dan tradisi warisan leluhur, terutama dalam tradisi pernikahan dan pesta perkawinan. Mahar yang menjadi syarat nikah haruslah berupa emas yang berjumlah besar. Dalam tradisi keachinan, mahar itu barang gengsi yang tidak termasuk dalam kaidah tawar-menawar.

Dalam perkara mahar, Achin punya standar kuat. Seorang perjaka yang sudah dewasa layaknya Mahmud misalnya, bila ingin mempersunting seorang gadis biasa lagi sederhana di negeri Achin, maka ia haruslah menyediakan mahar paling minimal senilai sepuluh mayam emas. Mayam yaitu takaran resmi emas di Achin, satu mayamnya berkisar 3,3 gram emas. Sehingga bila saja satu mayam emas seharga 1,8 juta dalam nilai standar, maka sepuluh mayam akan berjumlah 18 juta rupiah. Walaupun perempuan negeri Achin populer berparas bagus dan terdidik, tetap saja menjadi beban berat bagi perjaka yang terlanjur memaklumatkan cinta dengan perempuan negeri itu.

Jadi, seandainya Mahmud atau siapapun perjaka yang ingin mempersunting gadis berparas bagus serupa Fatimah ditambah jebolan kampus terkemuka, putri dari keluarga terpandang menyerupai Tuan Daud, perjaka tersebut haruslah lapang dada menyediakan setidaknya dua puluh Mayam emas paling minimal. Dan ini belum termasuk seserahan, uang hangus, isi kamar dan segala tetek-bengek lainnya. Untuk itu, Mahmud tentu harus punya brangkas dengan isi rupiah lebih seratus juta.

Mahalnya mahar perempuan Achin inilah yang telah mengakibatkan krisis batin sangat mendalam bagi para perjaka dan perjaka di negeri itu. Terlebih, bagi perjaka yang juga mengalami krisis finansial pada waktu yang sama. Umur mereka semakin hari, semakin bulan, semakin tahun, semakin sulit diajak berkompromi dengan waktu.

Jiwa-jiwa yang sejatinya sudah sangat siap menghujani seorang perempuan dengan kasih sayang seakan kian dipersulit mendapat wadahnya. Tradisi mahar ini telah membelenggu jiwa-jiwa kesepian. Mencerabut impian perjaka untuk membina cerita cinta yang halal dalam ikatan suci pernikahan.

Maka sangat tak heran bila jamaah para seruan terkejut ketika mendengar lafaz ijab qabul Mahmud yang hanya berupa seikat mawar. Jamaah bertanya-tanya, “Apakah Tuan Mahmud sudah hilang akal? Atau ia sedang ikut-ikutan menciptakan sensasi demi mencalonkan diri di Pilkada tahun depan?”

Namun begitu, insiden langka ini tentu saja menciptakan sebagian seruan sedikit bernafas lega. Terdengar bisik-bisik di antara seruan berpendapat, sederhananya mahar putri Tuan Daud ini akan menjadi momen pandangan gres bagi orang renta lain untuk menikahkan anaknya dengan mahar yang sederhana, sehingga sanggup menurunkan angka kesendirian dan krisis kesepian yang semakin tahun memperlihatkan persentase kenaikan di Achin.

Sebagian lagi punya pendapat berbeda. Mahar berupa seikat mawar yang sederhana itu juga turut mengakibatkan sebagian kecil tamu seruan berpikir menyimpang. Mereka menganggap mempelai perempuan tidak lagi suci sehingga dinikahkan dengan mahar demikian kecil, untuk menyamarkan hal itu digunakanlah seikat mawar biar terkesan romantis.

Meski begitu, mayoritas para seruan tetap berpikir konkret dan menganggap ini akan menjadi prosesi ijab kabul dengan mahar paling unik dan romantis yang pernah mereka lihat semasa hidup mereka secara pribadi di negeri dengan tradisi ketat menyerupai Achin. 

***

Sementara para seruan sibuk dengan pikiran dan pendapatnya masing-masing, para saksi nikah masih saling berpandangan dan belum juga memperlihatkan balasan berupa kata "Sah". Mahmud harus mengulang lafaz ijab qabul, yang sempat salah. Sudah tiga kali nafasnya terhenti di kalimat "seikat mawar". 

Para tetamu seruan beserta sanak famili yang berhadir di mesjid terlihat mulai keheranan, Fatimah juga mulai khawatir. Banyak yang tidak mengerti detik-detik sakral menyerupai itu. Maklum, yang berhadir kebanyakan masih lajang nan bujang yang merapat bersama kelompok kesepian.

Jantung Mahmud berdegub kencang. Keringat tampak mulai terpancar keluar dari keningnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya, Mahmud berusaha bersikap hening dan mencoba mengulang kembali:

"Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar yang diikat dengan rantai emas 50 mayam dibayar tunai," ujarnya, menyerupai laporan inspektur upacara kepada komandan upacara. Tegas.

"SAH!"

Fatimah anak gadis Tuan Daud sekarang sah menjadi istrinya. Ia sekarang sudah melewati satu anak tangga, dari fase mengasihi menjadi fase memiliki. Wajah Mahmud yang terlihat gelisah tiba-tiba berubah begitu menyegarkan. Tenang dengan sedikit senyuman. Berbeda dengan tamu undangan, mereka masih belum sanggup memahami dengan cermat proses ijab kabul yang semula sempat dianggap ijab kabul dengan mahar sederhana, seikat mawar. Mahar yang tadinya terkesan romantis itu sekarang hilang. Lenyap bersama angan-angan tamu undangan. 

Sebagian besar tamu seruan yang tadinya keheranan menjadi terkejut. Tamu seruan yang tiba bersama kesendirian hidup, sekarang lemas, seolah waktu sedang berhenti di tempat. Tanpa kemajuan. Tamu seruan yang berharap menemukan belahan jiwa. Para perjaka lajang yang sudah berkepala tiga; kelompok duda dan laki-laki beristri yang sempat berpikir ingin membuka cabang kedua; mereka semua terdiam, menelan ludah pahit dalam-dalam. Gairah kehidupan gres yang sempat mereka rasakan beberapa ketika hilang. Menyisakan kebingungan. Sebagian memaki dalam hati. Sebagian lagi menentukan bersabar, sabar yang menyakitkan.

"Heh, sudah kuduga. Mana ada perempuan yang mau dipersunting dengan seikat mawar...?" Gerutu Agam, seorang diantara para seruan yang tadi sempat berpikir menyimpang.

"Haha, kalau seandainya kau yang menjadi wanita, kau juga niscaya tak mau hanya diberi seikat bunga, kan. Kecuali bunga bank...?" Seseorang menyela sambil menghadap Agam.

"Bukankah perempuan suka diberikan bunga, bukankah hal itu terlihat indah, bukankah dan bukankah, hal itu romantis bukan...?

"Romantis...? Jangan terlalu naif Gam, jangan terlalu banyak menonton drama India apalagi Korea. Film mereka hanya menumpulkan panca indera, khususnya realitas akan cinta dan perasaan. Kita tidak hidup di dunia khayal mereka. Bagi sebagian orang, seikat bunga juga simbol bagi sebagian laki-laki yang belum siap serius atau menyerupai dangkalnya otak kotormu yang sempat beranggapan bahwa calon istri Mahmud tidak lagi suci."

"Tidak serius bagaimana maksudmu...?"

"Laki-laki yang serius bukan memberinya bunga tapi kepastian."

"Yah, itu sudahlah pasti. Bukankah bunga itu sebagai tanda cinta, sedangkan kepastian itu yaitu komitmen...?"

"Tahukah kau Gam, mengapa mahar perempuan di negeri ini sangat mahal...? Agar suaminya nanti tidak gampang bertingkah kurang didik terhadap istrinya. Ia pun niscaya akan berpikir ratusan kali bila ingin menjatuhkan cerai kepada istrinya, apalagi sehabis memberinya mahar yang banyak. Bukankah perbuatan halal yang sangat dibenci Allah yaitu perceraian. Mahar yang besar bukan hanya untuk istri tapi sanggup juga dipakai sebagai investasi bagi suami istri kelak bila diperlukan dalam keadaan mendesak."

"Bukankah Islam menempel berpengaruh dalam tradisi negeri kita. Tidakkah tuan mendengar Sabda Rasulullah bahwa pernikahan paling berkah ialah pernikahan yang maharnya sedikit?. Seharusnya mahar juga disederhanakan menyerupai para sobat Rasul yang dinikahkan hanya dengan mahar sepasang sandal, cincin besi, baju perang usang..."

"Apakah ada perjaka di negeri kita yang kecintaan dan ketangguhan imannya terhadap Islam menyerupai sobat Rasulullah, Gam...?" Orang itu memotong kalam Agam dengan cepat, tetapkan kalimat yang belum tepat terucap, lantas ia melanjutkan.

"Tahukah Kamu, mengapa anak perempuan dalam susila negeri ini mewarisi rumah dan disebut sebagai po rumoh, pemilik rumah? Itu biar bila ada keributan rumah tangga, maka bukan istri yang harus keluar angkat kaki dari rumah, melainkan suami. Adat dan tradisi kita terlalu menjaga kehormatan perempuan, Gam. Sudah sebijaknya bagi kedua pasangan untuk menjaga keharmonisan keluarga terutama suami, alasannya bila tidak, maka suaminya akan butuh modal besar lagi untuk melamar anak gadis lain di negeri ini," ungkapnya sambil tersenyum kecil.

Di ketika Agam sedang terlibat diskusi alot, Mahmud dan Fatimah terlihat sedang melaksanakan sesi pemotretan sehabis prosesi ijab kabul berakhir. Agam masih juga belum menemukan hubungan antara kehormatan wanita, mahar yang tinggi dan membina rumah tangga. Bagi dirinya yang masih hidup dalam kegelapan perasaan dan dihimpit kesendirian, sulit mengerti teori rumah tangga yang rumit.

Mahar yang tinggi di negerinya itu menciptakan Agam dan laki-laki senasib dirinya hanya sanggup menghadiri upacara dan pesta pernikahan, kemudian pulang bersama kesepian. Agam masih belum mengerti, kesendirian yang terlalu lama telah menciptakan jiwanya tidak lagi sejalan dengan susila istiadat negeri. Adat istiadat telah melukai hatinya.

"Bagaimana dengan cinta...? Bukannya yang lebih diperlukan insan khususnya perempuan yaitu cinta. Bukannya mahar yang tinggi...? Agam bertanya lagi sehabis sempat melamun beberapa waktu.

"Cinta itu bukan ucapan tapi wujud pembuktian, seberapa banyak lafaz cinta yang kau ucapkan akan tidak berarti tanpa pembuktian. Dan itu tidak cukup dengan seikat mawar, bukan juga segenggam mahar. Tapi setidaknya mahar mengakibatkan laki-laki terlihat lebih serius, terlihat lebih mapan dihadapan wanita."

"Baiklah tuan, aku tidak ingin memperpanjang perkara ini. Anggap saja aku sedikit mengerti. Apakah Tuan juga menikah dengan perempuan dari negeri ini...?

"Tidak. Belum. Saya sedang mencari bunga, siapa tahu ada diantara tamu seruan itu. Mencari bunga itu menyerupai meminta hujan di ekspresi dominan kemarau. Harus sering berdoa dan shalat minta hujan yang banyak. Barulah turun hujan."

"Apa hubungannya Tuan...? tanya Agam penasaran.

"Kalau enggak ada hujan, bagaimana mungkin bunga sanggup tumbuh dan mekar"

"Hah....? Janganlah Tuan tunggu hujan turun, kita sanggup tanam sendiri dan siram sendiri. Setelah itu barulah berdoa biar ia tumbuh dengan baik dan mekar dengan indah," kata Agam, ia melanjutkan.

"Tapi, aku rasa bukan itu persoalan tuan. Saya rasa tuan juga belum berhasil mengumpulkan mahar menyerupai halnya saya," kata Agam mantap. Pria itu menunduk lama. Tak ada lagi jawaban. Tak ada lagi pembelaan. Kalimat terakhir itu menusuk dengan tepat. Kali ini Agam menang. Telak.

***

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..." Azan Zuhur terdengar menggema mengisi seluruh lapisan perut mesjid termegah di negeri Achin. Alunannya beriringan, bersamaan ketika seseorang menyentuh bahu Agam.

"Gam, Gam, Gaam," orang itu mulai menggoyang bahu Agam. "Bangun Gam, bangun. Lagi Azan, acaranya sudah selesai."

"Maharnya berapa Mat?" Rahmat melamun ketika ditusuk tajam pertanyaan tiba-tiba yang begitu cepat, ia tak berkata apapun. Alis tebalnya terangkat, dahinya berkerut. Rahmat mengingat-ingat maksud pertanyaan kawannya yang gres saja terjaga.

Melihat kawannya kebingungan, Agam mengulang pertanyaan. "Berapa mayam emas mahar Fatimah, Mat...?

"Seikat mawar"

"Serius...? Cuma seikat mawar, tanpa mayam emas. Yang benar saja Mat...?"

Rahmat mengangguk beberapa kali kemudian berkata "Makanya kalau lagi prosesi janji nikah, Kau jangan tidur, jadikan pelajaran. Khususnya bagi jomblo takaran tinggi kayak dirimu itu, Gam."

Agam bangkit dan tidak lagi memperdulikan ocehan Rahmat, berjalan menjauh. Agam terlalu senang, batinnya gembira. Hatinya terhibur, wajahnya tersenyum. Ia berharap akan ada orang renta lain yang terinpirasi dari perilaku saudagar kaya menyerupai Tuan Daud dan menciptakan perjaka lain menyerupai dirinya gampang melamar seseorang.

Agam melangkah keluar mesjid. Mesjid megah berwarna mayoritas putih dengan kubah hitam itu sudah terlalu banyak menyaksikan sejarah. Dari sejarah cinta raja-raja dan penduduk negeri, sampai sejarah kelam Perang Belanda. Mesjid yang masih tegak berdiri itu juga masih dipaksa menyaksikan perang cinta melawan tradisi dan susila istiadat yang menyatu berpengaruh dengan mahar yang tinggi.

"Tahukah kau Baiturrahman, hari ini cinta telah menang melawan tradisi." Begitulah batin Agam ketika menatap mesjid itu seakan berbicara dengannya. Ia berdiri gagah kolam jendral perang Belanda yang gres saja mengalahkan serdadu negeri Achin di perang besar dulu.

Dari kejauhan Rahmat masih melihat Agam tersenyum sendirian di luar mesjid. Apa yang sedang dipikirkan Agam tidak seorangpun tahu, tidak juga dengan Rahmat. Ia hanya menatap kawannya itu dengan keheranan kemudian berujar pelan.

"Agam bodoh. Benarkah ia tidak tahu bahwa maharnya Fatimah berupa seikat mawar yang diikat rantai emas 50 mayam? Biarlah, nanti ia juga akan tahu sendiri. Seharusnya ia ikut jejakku, nulis di Steemit, atau bila Bitcoin sudah diharamkan, kuyakin ia cocok jadi Youtuber, siapa tahu sanggup kaya mendadak."[]

Baca juga cerpen lainnya: Gadis Apartemen Seberang 
banner
Previous Post
Next Post