Bolehkah Memberikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (3)
in
Hadits
on December 26, 2019
artikel bab pertama telah dijelaskan bahwa Ulama Ahlul Hadits rahimahumullahtelah menjelaskan dua prinsip besar dalam ilmu Hadits,
1. Tidak bolehnya mendapatkan Hadits dho’if sebagai dalil dalam Syari’at Islam dan tidak bolehnya mengamalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at ini dilarang berlandaskan kepada Hadits-Hadits dho’if (lemah),yaitu yang bukan kategori shahih dan bukan pula hasan” . (Majmu’ al-Fatawa 1/250).
2. Tidak boleh meriwayatkan dan dilarang pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.
Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah
الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها ، ولا يجوز أن تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة ، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار) ، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف
“Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), dilarang pula hadits-hadits tersebut disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali bila dijelaskan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if. Barangsiapa yang memberikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan insan yang berdusta. Dan telah benar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dia bersabda:
من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil daerah duduknya dari Neraka” [HR. Al-Bukhari], jadi dilarang bersedekah dengan Hadits dho’if” (Islamqa.info/ar/131106).
Dengan demikian, haruslah seseorang yang akan memberikan Hadits mengetahui derajatnya; shahih atau tidaknya, sehingga :
- Jika Hadits itu dho’if (lemah), janganlah diamalkan, dan bila ada kebutuhan meriwayatkannya, maka haruslah dijelaskan kepada pendengar atau pembaca bahwa Hadits itu dho’if.
- Jika Hadits itu shahih, maka ia berarti telah membangun keyakinan atau amal sholeh dirinya dan orang lain di atas dasar yang benar, disamping itu, ia telah ikut andil dalam menjaga Syari’at Islam ini dari dalil-dalil yang lemah atau bahkan palsu.
Mungkin terbetik dalam benak Anda : “Bagaimana dengan secara umum dikuasai kaum muslimin yang tidak mempunyai kemampuan menilai derajat sebuah Hadits?”. Untuk mengetahui jawabannya, silahkan ikuti klarifikasi berikut ini :
Cara global mengetahui derajat Hadits
Penjelasan Imam Ahmad rahimahullah
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سألت أبي عن الرجل تكون له الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم واختلاف الصحابة والتابعين ، وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك منها ، فيفتى به ويعمل به؟ قال: لا يعمل حتى يسأل، ما يؤخذ به منها ؟ فيكون يعمل على أمر صحيح ، يسال عن ذلك أهل العلم
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang mempunyai banyak sekali kitab yang memuat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perselisihan pendapat para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak bisa untuk mengetahui Hadits yang lemah, yang harus ditinggalkan dari kitab tersebut. Lalu apakah dia boleh berfatwa dengannya dan mengamalkannya? Ayahku menjawab, “Dia dilarang mengamalkannya hingga dia bertanya: Hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut?, sehingga dia bersedekah dengan dasar yang benar, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut”. [Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal, riwayah ibnihi Abdillah ibni Ahmad, hal. 438, no.1584 (PDF)].
Penjelasan An-Nawawi rahimahullah
Tentang klarifikasi An-Nawawi rahimahullah, disebutkan dalam kitab Tamamul Minnahsebagai berikut,
وقد صرح النووي بأن من لا يعرف ضعف الحديث لا يحل له أن يهجم على الاحتجاج به من غير بحث عليه بالتفتيش عنه إن كان عارفا ، أو بسؤال أهل العلم إن لم يكن عارفا. وراجع (التمهيد) في مقدمة الضعيفة [ص 10-12]
“Dan An-Nawawi menyatakan dengan terang bahwa orang yang tidak mengetahui kelemahan sebuah Hadits, maka dilarang baginya berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya – bila ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits)- atau dengan cara bertanya kepada ulama, bila ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12“ (Tamamul Minnah, hal. 34).
Penjelasan Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah
Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah berkata,
من أراد الاحتجاج بحديث من السنن أو المسانيد إن كان متأهلا لمعرفة ما يحتج به من غيره فلا يحتج به حتى ينظر في اتصال إسناده وأصول رواته ، وإلا فإن وجد أحدا من الأئمة صححه أو حسنه فله تقليده ، وإلا فلا يحتج به
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu Hadits yang terdapat dalam kitab Sunan atau Musnad, (maka terdapat dua keadaan).
Jika dia seorang yang bisa mengetahui Hadits yang boleh dijadikan dalil dan mana yang tidak boleh, maka dia dilarang berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad Hadits dan dapat dipercaya para perawinya.
Namun bila dia tidak mampu, maka, apabila ia menemui salah seorang imam yang menilai Hadits tersebut berderajat shahih atau hasan, dia boleh taqlid kepadanya (mengikuti pendapatnya).
Sedangkan,jika ia tidak menemui seorang imam yang menshahihkan atau menyatakan hasan Hadits tersebut, maka dia dilarang berdalil dengan Hadits tersebut.” (Fath Al-Baqi fi Syarh Alfiyah Al-‘Iraqi, dinukil dari: Islamqa.info/ar/112086).
Penjelasan Syaikh Al-Albani rahimahullah
Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Memeriksa derajat Hadits itu ada dua cara:
Pertama: Seseorang pencari derajat Hadits mengusut sanad, para perowi, dan menentukan derajat Hadits tersebut sesuai dengan tuntutan kaedah-kaedah Ilmu Hadits dan Ushulnya,berupa shahih atau dho’if, tanpa taqlid kepada imam tertentu, baik dalam menyatakan shahih atau lemahnya Hadits tersebut.
Dan cara menyerupai ini ialah cara yang langka di zaman ini, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali beberapa orang saja,sungguh sangat disayangkan.
Dan yang kedua: Seseorang mengambil rujukan dari kitab yang penulisnya mengkhususkan Hadits-Hadits shahih saja (di dalamnya), menyerupai kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dan yang semisal keduanya, atau berdasarkan atas keterangan Para peniliti dari kalangan Ahlul Hadits, menyerupai Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim Ar-Raazi, dan para ulama peneliti derajat Hadits zaman dahulu yang lainnya.
Demikian juga An-Nawawi, Adz-Dzahabi, Az-Zaila’i, Al-Asqalani, dan semisal mereka dari kalangan para ulama zaman sesudahnya (muta`akhkhirin).
Inilah cara yang mudah, bagi setiap orang yang mengasihi kebenaran, akan tetapi sedikit membutuhkan kerja keras dalam membaca kembali dan mencari (derajat) sebuah Hadits” (http://www.alalbany.net/4935).
Kaprikornus kesimpulannya, penerapannya pada zaman sekarang, bila seseorang yang tidak memiliki kemampuan menilai derajat sebuah Hadits kemudian hendak meriwayatkannya atau mengamalkannya, maka bisa melaksanakan salah satu dari beberapa cara berikut ini:
- Cukup menukil hadits dari kitab-kitab Ulama yang dikhususkan penyebutan hadits-hadits yang shahih saja di dalamnya, menyerupai : Shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim dan As-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Contoh: “Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhori dalam shahihnya”.
- Membawakan ucapan Ulama yang bisa menilai derajat sebuah Hadits, misalnya: “HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani”.
- Meminta pedoman atau bertanya kepada ulama perihal derajat sebuah Hadits.
- Mencari derajat sebuah Hadits dalam software-software yang terpercaya, yang menyediakan akomodasi pencarian derajat sebuah Hadits dan evaluasi ulama perihal derajatnya.
- Mencari di buku-buku yang terpercaya dalam banyak sekali disiplin ilmu Syar’i, dalam banyak sekali bahasa, yang disitu penulisnya menukilkan dari ulama perihal keterangan derajat setiap Hadits yang menjadi dalil dalam sebuah masalah.
Kaprikornus gotong royong solusi bagi orang awam –Alhamdulillah– cukup mudah, yaitu kembali kepada firman Allah Ta’ala,
{ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ }
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) bila kalian tidak mengetahui” (An-Nahl : 43)
Renungan
Sudahkah kita menentukan kajian-kajian, majelis ta’lim dan buku-buku bacaan yang mempunyai perhatian yang baik dalam menukilkan Hadits-Hadits yang Shahih?
Sudahkah semua para da’i, khathib dan penulis artikel Islam memperhatikan keshahihan setiap Hadits yang disampaikannya?
Semua itu sangat perlu dilakukan ,agar kita semua membangun ilmu dan amal shaleh kita di atas sumber dalil yang valid.
Semoga goresan pena singkat ini bisa bermanfa’at besar bagi kita semuanya, dan semoga Allah mengakibatkan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ}
“Yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (Az Zumar: 18).
Wa billahit Taufiq.
***
Referensi
- Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal (PDF)
- Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyyah
- http://www.alalbany.net/4935
- Islamqa.info/ar/112086
- Islamqa.info/ar/131106
- Qowa’idut Tahdits
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id