Wednesday 25 December 2019

Fikih I’Tikaf (1)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (1)1
Hadits ini menunnjukkan bahwa setiap ibadah yang kita kerjakan haruslah didasari niat beribadah, sedangkan seorang yang gila, idiot, pingsan dan mabuk, tidak tergambar sanggup berniat ibadah dalam beri’tikaf.
3. Mumayyiz
Seseorang yang beri’tikaf itu tidak disyaratkan harus baligh, mumayyiz pun sudah sah beri’tikaf, karena mumayyiz sudah sanggup berniat. Jumhur Hanabilah mendefinisikan mumayyiz adalah anak yang sudah berumur tujuh tahun, namun pendapat yang berpengaruh yakni ulama yang mendefinisikan mumayyiz sebagai anak yang sudah paham khithab (pembicaraan) dan sanggup menjawab pertanyaan, namun pada umumnya ketika seseorang berumur tujuh tahun sudah mumayyiz.
Dengan demikian anak yang belum mumayyiz tidak sah I’tikaf nya alasannya yakni tidak tergambar sanggup menyengaja berniat untuk I’tikaf.
Inilah alasan Tamyiiz sebagai syarat sahnya I’tikaf, sehingga para ulama ketika membawakan dalil wacana syarat sahnya I’tikaf, mereka membawakan hadits wacana niat yang sudah disebutkan pada syarat yang kedua. Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
4. Berniat I’tikaf
Niat I’tikaf adalah syarat kesahan I’tikaf, dalilnya yakni sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”2
Ini adalah Ijma’ ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah dalam Bidayatul Mujtahid.3 Alasan lain dari niat sebagai syarat sah I’tikaf adalah secara logika sehat, seseorang yang menetap di masjid itu, tujuannya sanggup bermacam-macam, sanggup untuk I’tikaf, namun sanggup juga untuk selainnya. Maka haruslah ada niat yang membedakan antara kedua tujuan tersebut.
Juga niat diharapkan untuk membedakan antara I’tikaf yang hukumnya sunnah untuk dikerjakan, dengan nadzar I’tikaf yang wajib ditunaikan.
5. Suci dari hadats besar
Tidak sah seseorang memulai i’tikaf dalam keadaan berkewajiban mandi alasannya yakni berhadats besar, menyerupai janabah, haidh atau nifas, Syarat ini disepakati oleh empat madzhabHanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Jumhur ulama rahimahumullah memandang bahwa orang yang haidh, nifas, atau junub tidak sah melakukan I’tikaf, hal ini berbeda dengan pendapat Zhahiriyyah yang beropini bahwa I’tikaf mereka itu sah. Dan pendapat yang terkuat yakni pendapat jumhur Ulama, dalilnya yakni firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi(An-Nisaa`: 43).
Dalam Ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang junub mendekati tempat-tempat shalat, yaitu masjid, bila orang yang junub saja dilarang, maka lebih-lebih lagi perempuan yang haidh dan nifas, alasannya yakni hadats perempuan yang haidh lebih kuat, oleh alasannya yakni itu perempuan yang haidh tidak boleh digauli oleh suaminya, tidak boleh shalat, tidak boleh puasa dan dalam hukum-hukum selainnya.4
6. Minimalnya sehari atau semalam
Masalah waktu minimal I’tikaf ini diperselisihkan ulama, sebagian mereka ada yang menyampaikan sehari (seperti pendapat sebagian Malikiyyah, satu riwayat dari Hanafiyyah), adapun Malikiyyah berpendapat sehari dan semalam, ada satu riwayat dari Imam Malik yang menyatakan sepuluh hari dan Mayoritas ulama beropini cukup sesaat saja.Pendapat yang mendekati kebenaran-wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf yakni sehari atau semalam, alasannya adalah:
  • Alasan pertama
I’tikaf yakni Ibadah, maka batasan waktunya mencukupkan dengan apa yang telah ada dalam dalil.
Dalilnya yakni hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,

كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ :فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata tunaikan nadzarmu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
أن عمر بن الخطاب سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو بالجعرانة، بعد أن رجع من الطائف، فقال: يا رسول الله! إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام. فكيف ترى؟ قال (اذهب فاعتكف يوما).
Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu ia berada di Ji’raanah sesudah kembali dari Thaaif. Ia berkata,Wahai Rasulullah, gotong royong saya pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaf selama sehari di Al-Masjidil-Haram. Bagaimanakah pandangan Anda ? Beliau bersabdapergilah, beri’tikaflah sehari!” (HR. Muslim).
Dari kedua hadits tersebut di atas, maka sanggup diambil kesimpulan bahwa paling sedikitnya waktu I’tikaf yang ada dalam dalil yakni sehari atau semalam.
  • Alasan kedua
Kalau seandainya I’tikaf kurang dari sehari atau semalam itu disyari’atkan, maka tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pola langsung, atau memerintahkan para sahabatnya dan hal itu akan tersebar luas di tengah-tengah para sahabat, alasannya yakni sering berulangnya mereka mendatangi masjid, dan para sahabat akan melaksanakan hal itu.
Mari kita perhatikan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum banyak keluar masuk masjid untuk melaksanakan shalat jamaah, shalat jumat, kajian dan yang lainnya, namun
  • Pernahkah dinukilkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf kurang dari satu hari atau kurang dari satu malam?
  • Pernahkah dikabarkan bahwa ia pernah menyuruh para sahabatnya untuk melaksanakan perbuatan itu?
  • Pernahkah ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan I’tikaf sesaat, alasannya yakni bila seandainya hal itu disyari’atkan, tentulah mereka akan bersemangat melakukannya, mereka yakni orang-orang yang paling semangat melaksanakan kebaikan, apalagi I’tikaf sesaat itu gampang dilakukan dan mereka sering keluar masuk masjid. Sedangkan pendorong berupa semangat ingin mendapat pahala I’tikaf dalam jumlah yang banyak itu ada pada diri mereka. Itu memungkinkan, alasannya yakni mereka sering keluar masuk Masjid. Seandainya ada, penghalang apakah gerangan yang menghalangi mereka, padahal itu yakni ibadah yang gampang dilakukan? 5
Janganlah dipertentangkan dengan pertanyaan Adakah dalil yang melarang I’tikaf kurang dari sehari atau semalam? alasannya yakni kaidah dalam persoalan ibadah adalah Tauqifiyyah, aturan asal ibadah yakni haram, hingga ada dalil yang menawarkan pensyari’atannya, adapun dalam persoalan dunia adalah hukum asal sesuatu (perkara dunia) adalah mubah, hingga ada dalil yang melarangnya.
Kesimpulan
Berkata DR. Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah dalam Fiqhul I’tikaf, hal.54:
لعل أقرب الأقوال – والله أعلم – أن أقل الاعتكاف يوم أو ليلة

“Barangkali pendapat yang paling mendekati kebenaran -wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf yakni sehari atau semalam.”
 Wallahu a’lam.
***
Catatan kaki
1 . HR. Al-Bukhari dan Muslim.
2HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4Fiqhul I’tikaf, hal. 72,(PDF) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
5Fiqhul I’tikaf, hal.55, DR. Khalid Al-Musyaiqih, (PDF) dan ceramah Syaikh DR. Sami Ash-Shuqoir , I’tikaf, kaset 1 ,di http://al-soger.com,dengan sedikit perubahan dan tambahan.
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post