
Definisi ibadah ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba
Adapun, definisi ibadah ditinjau dari perbuatan yang dilakukan seorang hamba, dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
لكن العبادة المأمور بها تتضمن معنى الذل ومعنى الحب، فهي تتضمن غاية الذل لله -تعالى- بغاية المحبة له
“Akan tetapi ibadah yang diperintahkan untuk dilakukan (dalam Islam) yaitu ibadah yang mengandung makna merendahkan diri dan cinta (kepada Allah dengan sempurna). Maka ibadah itu (sesungguhnya) mengandung puncak perendahan diri hamba kepada Allah diiringi dengan puncak kecintaannya kepada-Nya.”1
Definisi ibadah yang menyerupai ini berdasarkan Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah jika ibadah tersebut ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba, dia berkata:
“Istilah ibadah itu diperuntukkan untuk dua (definisi), yaitu:
Pertama: ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba (at-ta’abbud), yaitu:
التذلل لله – عز وجل – بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً
“Merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, disertai cinta dan mengagungkan(-Nya).”2
Lebih lanjut Syaikhul Islam menjelaskan wacana hakikat ibadah, “Dan barangsiapa yang tunduk (merendahkan diri) kepada orang (lain), padahal ia benci kepadanya3, tidaklah ia dikatakan menyembahnya. Sedangkan bila ia menyayangi sesuatu, namun tidak tunduk (merendahkan diri) kepadanya, tidaklah ia dikatakan menyembahnya, sebagaimana terkadang seseorang menyayangi anaknya dan temannya. Oleh lantaran itu tidak cukup hanya salah satu saja dari kedua masalah tersebut di dalam aktifitas peribadatan kepada Allah Ta’ala, bahkan seharusnya Allahlah satu-satunya dzat yang paling dicintai dan paling diagungkan oleh seorang hamba melebihi segala sesuatu.
Jadi, tidaklah berhak mendapatkan cinta dan ketundukan (perendahan diri) yang sempurna kecuali Allah.4”
Mengapa ibadah itu mengandung puncak perendahan diri (hamba) kepada Allah diiringi dengan puncak kecintaannya kepada-Nya?
Hal itu disebabkan bahwa, “Tidaklah sesuatu itu disebut sebagai Ilah (sesembahan), melainkan lantaran disembah oleh hati insan dengan puncak perendahan diri (hamba) kepadanya diiringi dengan puncak kecintaannya kepadanya”
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah,
فالإله هو الذي يألهه القلب، بكمال الحب والتعظيم والإجلال والإكرام والخوف والرجاء، ونحو ذلك. وهذه العبادة هي التي يحبها الله ويرضاها
“Maka Ilah yaitu sesuatu yang disembah hati dengan kesempurnaan cinta, pengagungan, pemuliaan, penghormatan, takut, harap dan yang semisal itu. Inilah (sebenarnya) ibadah yang dicintai dan diridhoi Allah.5”
Faedah:
- Seorang hamba ketika beribadah kepada Allah haruslah terkumpul pada dirinya dua masalah berikut ini :
- Cinta disertai mengagungkan-Nya yang sempurna.
- Perendahan diri (tunduk) kepada-Nya yang sempurna.
- Cinta yang disertai mengagungkan Allah itu bisa didapatkan dengan banyak mengingat nikmat-Nya, sedangkan perendahan diri yang berbuah ketundukan kepada-Nya itu didapatkan dengan banyak mengingat malu dan kekurangan seorang hamba. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Ibadah itu ruang lingkupnya terbangun diatas dua pondasi. Keduanya merupakan landasan peribadatan, yaitu: Cinta yang tepat dan perendahan diri yang sempurna.
Dan daerah tumbuhnya dua pondasi ini dari dua dasar yang sebelumnya, yaitu:
- Mengingat-ingat anugerah (nikmat Allah), yang hal ini membuahkan kecintaan (kepada Allah).
- Memeriksa malu diri dan malu amal, yang hal ini membuahkan perendahan diri yang sempurna.
Jika seorang hamba membangun perjalanannya menuju kepada Allah Ta’ala di atas dua pondasi ini, pasti musuhnya (setan) tidaklah berhasil menang menguasainya kecuali (sesekali saja) dikala lengah dan lalai, namun betapa cepatnya Allah ‘Azza wa Jallamembangkitkannya dari keterjatuhannya, menutupi kekurangannya dan segera menolongnya dengan rahmat-Nya6.
Oleh lantaran itu, pantaslah ketika spesialis ibadah yang membangun ibadahnya tidak di atas dua pondasi ini, yaitu cinta kepada Allah yang tepat dan perendahan diri (tunduk) kepada-Nya yang sempurna, akan terjatuh kepada sesuatu yang bertentangan dengan hakikat ibadah itu sendiri.
Ibadah yang banyak ia lakukan, bukannya menyebabkannya tambah sadar akan kekurangan dirinya (sehingga ia merendahkan diri) sembari mengakui besarnya nikmat hidayah yang diberikan kepada dirinya (sehingga ia semakin cinta kepada Allah), malah justru merasa seakan-akan ia telah berjasa kepada Allah Ta’ala.
Sebagian Salafush Sholeh menjelaskan bahwa, Sesungguhnya seorang hamba (bisa jadi) melaksanakan suatu dosa yang pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam Surga. Dan (bisa jadi) dia melaksanakan suatu kebaikan yang pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam Neraka.
Orang-orang bertanya, “Bagaimana bisa demikian?”
Salafush Sholeh itu pun kembali menjelaskan bahwa, orang itu berbuat dosa, kemudian dosa itu selalu teringat-ingat di depan kedua matanya, dalam keadaan takut dan mengkhawatirkan akibatnya, menangisinya, menyesalinya dan malu kepada Rabbnya Ta’ala. Iapun tertunduk malu di hadapan-Nya. Hatinya pun terpukul lantaran merasa bersalah kepada-Nya. Hingga dosa tersebut jauh lebih bermanfaat baginya daripada sekian banyak amal ketaatan, dikarenakan dampak positifnya yang menjadikan seorang hamba mendapat kebahagiaan dan keberuntungan, hingga pada akhirnya (sikap batin yang benar terhadap) dosa tersebut justru mengantarkan dirinya masuk ke dalam Surga.
Adapun seorang hamba yang melaksanakan suatu amal kebaikan (namun justru pada akhirnya masuk kedalam Neraka) tersebut, maka ia (memliki sikap) senantiasa merasa berjasa kepada Rabbnya, merasa sombong dengan amalannya itu, melihat kelebihan dirinya, merasa gembira terhadap amalannya dan iapun menyombongkan prestasinya.
Dia berkata, “Aku sudah berhasil melaksanakan ini dan itu” dan hal itu menumbuhkan perasaan ujub dan sombong, gembira diri dan meremehkan orang lain, yang pada akhirnya itu menjadi lantaran kebinasaan dirinya (masuk Neraka).
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi orang yang malang ini, Allah akan mengujinya dengan sesuatu yang menciptakan hatinya terpukul dan merendahkan dirinya. Allahpun akan membuatnya merasa dirinya tidak berarti di sisi-Nya.
Namun, apabila Allah menghendaki lain pada diri orang itu, Allah akan biarkan orang itu (tidak ditolong), ia menjadi merasa gembira dan menyombongkan dirinya. Inilah justru hakikat dibiarkan (oleh Allah dengan tidak mendapat taufik-Nya), yang menjadi lantaran kebinasaan dirinya.
Karena sesungguhnya seluruh orang yang mengenal (Allah dengan baik) telah setuju bahwa hakikat “taufik Allah” itu yaitu tatkala Allah Ta’ala tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri (namun justru menolongmu, pent.). Adapun hakikat “tidakmendapatkan taufik Allah” itu yaitu ketika Allah Ta’ala membiarkan kau bersandar kepada (kemampuan) dirimu sendiri (dengan tidak ditolong oleh-Nya).7
***
1 . Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 6.
2 . Al-Qoulul Mufid, hal. 10.
3 . Seperti penguasa yang zholim atau penjahat yang memaksa seseorang.
4 . Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 6.
5 . Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 8-9.
6 . Shahih Al-Wabilush Shayyib ,hal. 17-18.
7 . Shahih Al-Wabilush Shayyib ,hal. 15.
___
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id