Wednesday, 8 January 2020

Bahasa Dunia Akhirat

Google Image
Oleh: Muhammad Daud Farma

Show your boarding-pass, please!” Lagi-lagi kalimat itu ditujukan si pramugari kepadaku.

"My Boarding-pass is bring your friend, the one boy and he is the security before you stand here. And he is bring my boarding-pass when I'm cheeking of him." Aku mencoba untuk menjelaskan dengan bahasa Inggrisku yang kacau balau, kosa kata miskin, dan perilaku sok percaya diri.

Kujelaskan berkali-kali pada si pramugari, bahwa boarding pass-ku dibawa oleh temannya, laki-laki yang menjaga pintu gerbang sebelum ia bangkit di sini. Pria itu memegang dan membawa boarding-pass-ku ketika saya diperiksanya.

Karena saya belum tahu bahasa Inggrisnya pramugara, saya hanya menyebut ‘security’ atau petugas keamanan. Namun, pramugari itu tetap tak percaya dan tidak menghiraukanku, malah menyidik pengunjung lainnya.

Para penumpang hampir masuk semua, saya mencoba melangkahkan kaki dan ingin masuk ke dalam. Aku bangkit sempurna di depan pintu masuk pesawat di sisi kanan, sedang sebelah kiri, pramugari itu sedang menyidik boarding-pass para penumpang lainnya.

Kakiku pun kulangkahkan, namun ...

"Show your boarding-pass please!” Si pramugari mencegahku masuk. Aku pun mundur kembali.

Hatiku mulai kacau, gelisah dan pikiranku melayang. Mataku memandang dan melihat ke belakang, berharap pramugara yang membawa boarding-passku muncul, menampakan batang hidungnya. Namun, ia tak kunjung datang.

Aku semakin gelisah, setengah menangis, mata berkaca-kaca, tubuhku bergetar dan kaku. Aku sudah pasrah dan berpikir, jika lah pramugara yang membawa boarding-pass-ku tidak datang, atau tiba tanpa membawanya, atau tanpa sengaja ia sudah menghilangkannya niscaya saya akan dideportasi ke Indonesia.

Sedangkan uang di kantongku hanya ada 41 dolar Amerika atau sekitar 500 ribu rupiah. Dolar yang kutukarkan waktu di Indonesia, di Carefour kota Medan, itu pun sisa dari tiket pesawat yang saya bayar sekitar 8,7 jutaan. Karena di Kairo uang rupiah tidak bisa ditukarkan dan tentu tidak diterima ketika jual-beli.

Berkali-kali saya beristighfar. Mungkin hari ini saya telah melaksanakan kesalahan yang tak sengaja kulakukan dan saya tidak tahu apa itu. Aku berdoa dalam hati, agar di balik ini semua ada hikmahnya. Allah Swt. tengah mengujiku, pikirku.

Aku mulai berandai-andai.

“Kalaulah si pramugara yang membawa boarding-pass-ku tetap tidak tiba hingga pesawat berangkat, berarti saya gagal ke Kairo, alasannya saya sudah tak punya uang lagi untuk membeli tiket. Aku niscaya dideportasi ke Indonesia.”

“Kalaulah saya dideportasi ke Indonesia, itu artinya Allah Swt. belum mengizinkanku menuntut ilmu di Mesir.” Pikirku lagi.

Semua penumpang sudah masuk ke dalam pesawat, tinggal diriku sendiri yang belum masuk. Kali ini saya dengar satu kalimat berbeda dari lisan si pramugari, bertanya,"Where is your boarding-pass?"

Dalam keadaan masih panik, saya mengeluarkan handphone-ku, membuka galeri dan memperlihatkan boarding-pass-ku yang saya foto ketika di ruang tunggu. Akan tetapi, pramugari itu tetap saja tidak percaya dan tidak mengizinkanku masuk. Katanya, "I want the real, not a picture.”

Kucoba menjelaskan dengan terbata-bata, “B... b... u... t... But, Sist...”

Belum sempat saya menjelaskan, tiba-tiba salah satu temanku, Zahid, yang sudah masuk duluan tiba menghampiriku, kemudian menanyakan masalahku.

Aku pun pertanda dengan sejelas-jelasnya, "Tadi, waktu giliranku diperiksa oleh seorang pramugara sebelum Kakak ini. Saat giliranku ternyata ada salah satu penumpang yang lari dan keluar dari pesawat. Lalu pramugara itu mengejar penumpang itu, dan boarding-pass-ku dibawa olehnya. Aku juga tidak tahu, entah kenapa penumpang itu lari dan kenapa pramugara itu membawa boarding-pass-ku. Padahal milikku belum sempat diperiksa, dan pramugara itu belum menyuruhku masuk pesawat.”

Zahid Mustawa, salah satu temanku alumni pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan yang bahasa Inggris-nya lebih baik dariku, mencoba menjelaskan kepada si pramugari sesuai keterangan yang kuberikan. 
Segera pramugari itu menelepon petugas yang di luar, kemudian menjelaskan boarding-pass-ku yang hilang dibawa oleh seorang pramugara. Pramugari itu memahami keterangan Zahid, meskipun terlihat ia masih kebingungan dan tidak percaya, bahwa ada pramugara yang melarikan boarding-passku.

Waktu tinggal 15 menit lagi. Pesawat Emirates Airlines penerbangan Dubai-Cairo dijadwalkan berangkat pukul 15.20 waktu kota Dubai. Aku makin takut. Setelah kian lamanya berkaca-kaca, hasilnya air mataku menetes membasahi pipi. Aku menangis.

Menangis teringat jerih payah kedua orang tuaku. Menangis betapa banyaknya uang yang telah mereka keluarkan. Menangis alasannya tidak jadi mencar ilmu di Universitas Al-Azhar, salah satu universitas tertua di dunia. Menangis alasannya Allah belum mengizinkanku pergi, hanya hingga di sini, kota Dubai.

Menangis alasannya sebelumnya saya pernah ketinggalan pesawat, penerbangan Jakarta-Medan. Saat itu saya hendak pulang ke kota Medan usai seleksi Universitas Al-Azhar gelombang kedua. Dan hari ini apakah saya harus merasakannya lagi?

Lima menit kemudian, pramugara berkepala botak, berwajah tampan, sedikit berewokan, dan berbadan tinggi. Ia tiba dengan lemas, alasannya tidak berhasil menangkap dan membawa penumpang yang kabur, yang ia kejar semenjak sejam yang lalu. Pramugara itu tiba menghampiriku, dan memperlihatkan boarding-pass-ku.

Aku pribadi bertakbir dan memuji Allah, "Allahu-Akbar, Alhamdulillah, Laa hawla walaa quwwata illa billah.”

Langsung kurangkul Zahid, alasannya bukan main gembiranya, ialah yang telah meyakinkan diriku untuk tetap bersabar dan berhasil menjelaskan kepada si pramugari yang sikapnya menjengkelkan itu. Pramugari yang sebelumnya tak mempercayai segala penjelasanku.

Akhirnya, pramugari itu meminta maaf kepadaku, atas sikapnya dan kesalahan temannya yang telah membawa boarding-pass-ku. Aku hanya tersenyum getir, mataku melirik tajam padanya alasannya rasa jengkel di hatiku belum reda. Aku pun pribadi masuk dan duduk di nomor dingklik yang telah ditentukan.

Mesin pesawat berderu, siap lepas landas meninggalkan Dubai, dan terbang ke Kairo dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Aku ber-husnudzhan bahwa mulai hari ini saya jadi orang Mesir, tinggal di kota Kairo, dan resmi jadi mahasiswa Al-Azhar.

"Mesir... Egypt... Kairo... Al-Azhar... I'm coming..." Kata itu terucap dari hatiku yang dalam dan ikhlas.

Para pramugara dan pramugari mulai menjelaskan tata cara mengenakan sabuk pengaman. Mereka yang berwajah bule, bertubuh langsing, berhidung mancung, ganteng dan cantik, dan yang suka tersenyum itu ternyata berbicara dengan dua bahasa, yaitu Inggris dan Arab, ketika menjelaskan.

Ya Allah, andaikan saja dari tadi saya tahu jika si pramugari tadi bisa berbahasa Arab, Insya Allah, khair deh. Aku kesal terhadap diriku sendiri. Itulah pentingnya bahasa. Dengan bahasa kita sanggup mengguncang dunia dan dengan bahasa kita bisa mengelilingi dunia.

Hari itu juga, saya berjanji pada diriku bahwa saya harus bisa bahasa dunia dan akhirat, yaitu Inggris dan Arab. Bahasa Inggris yaitu bahasa dunia, dan bahasa Arab yaitu bahasa akhirat. Itulah alasan kenapa saya mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab. Aku ingin menguasai bahasa dunia dan akhirat, dan ingin mengelilingi dunia.

By language we can shake the world.
By language we can go around the world.
By language world in our hands.
 
Kairo, 10 Desember 2014
banner

Related Posts: