Google Image |
Oleh: Mustafa Ahmad
(Alumnus Ponpes.Darul Azhar Kutacane, Aceh Tenggara)
Ulama – ulama terdahulu dan masa ketika sekarang bermaksud membantu semaksimal mungkin umat Islam dalam membedakan kesahihan dan sakimnya suatu hadits, mengetahui mana riwayat yang diterima dan yang tertolak.
Mengingat bahwa hadits merupakan marja’ (rujukan) kedua dalam Islam sehabis Al-Qur'an, para ulama telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperjelas hal tersebut supaya tidak masuk sesuatu yang bukan merupakan dari agama ini.
Secara umum Hadis dibagi kepada dua bagian; Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Hadits Maqbul yaitu Hadis yang memenuhi syarat-syarat Hadits Maqbul yang akan dijelaskan secara rinci berikutnya, insya Allah. Sementara Hadits Mardud hanya ada satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadis Makbul. Namun pada kesempatan ini hanya akan dijelaskan seputar Hadits Maqbul saja.
Hadits Maqbul terbagi dalam dua bagian, yaitu Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Hadits Shahih itu sendiri ada dua bentuk: Shahih berdasarkan zatnya dan Shahih untuk yang lainnya. Begitu juga dengan Hadits Hasan ada dua: Hasan berdasarkan zatnnya dan Hasan untuk yang lainnya .
Hadits Maqbul harus mempunyai syarat-syarat yang tepat sehingga Hadis tersebut benar-benar bisa diterima. Jika hilang satu syarat atau lebih maka Hadis tersebuat akan ditolak alias mardud.
Adapun syarat- syarat Hadis Maqbul adalah:
- Tersambungnya Sanad;
- Adilnya Rawi;
- Dhabid-nya (terpercaya) Rawi;
- Selamat dari syadz (ketimpangan);
- Selamatnya dari illah (cacat).
Berikut pembahasan secara rinci kelima syarat di atas.
Tersambungnya Sanad, yaitu perawi dalam sanad telah membawa suatu Hadis dari perawi sebelumnya secara langsung. Maka ini bisa dikatakan sanadnya belum jatuh (putus) satu Rawi atau lebih.
‘Adilnya Rawi. Syarat bagi para perawi yang diterima riwayatnya yaitu adilnya Rawi. Pengertiannya secara bahasa: kebalikan dari curang, ada juga yang mengartikan pertengahan dalam suatu urusan tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan pengertian adil berdasarkan para Fukaha yaitu orang yang kukuh ketakwaannya serta maruahnya, tidak pernah melaksanakan dosa besar.
Adapun pengertian adil berdasarkan para Muhaddits yaitu Rawi yang memenuhi unsure-berikut: muslim,balig, berakal, tidak fasik, dan tidak rusak akhlaknya.
Yang dimaksudkan dengan muslim ialah harus dalam keadaan Islam ketika memberikan suatu Hadis. Maka, riwayat orang kafir tidak diterima, sebab mereka bukan hebat riwayat dari Rasullullah Saw. Ini sudah menjadi ijmak para ulama. Jadi, perawi yang diterima riwayatnya harus Islam ketika membawakan Hadis, bukan ketika meriwayatkannya.
Baligh, yang dimaksud dengan balig di sini yaitu balig secara fitrah. Biasanya balignya seseorang itu pada usia 15 tahun, pada usia balig itu seseorang menjadi mukallaf. Syarat balig ini berdasarkan jumhur ulama. Di samping itu, ada juga ulama beropini bahwa diterima riwayat anak yang mumayyiz (dapat membedakan sesuatu secara sempurna) untuk mereka berhujjah.
Dalam praktiknya, ijmak sobat mendapatkan riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Nukman bin Basyir, dan lainnya. Para sobat ketika itu tidak membedakan mereka yang kecil dan yang telah balig.
Berakal. Sudah tentu, mereka yang diterima riwayatnya harus berakal, mustahil orang gila. Sementara yang dimaksud dengan tidak fasik yaitu orang yang tidak melaksanakan dosa besar.
Terakhir, tidak rusak akhlaknya. Yaitu orang yang meriwayatkan hadits haruslah mempunyai budpekerti yang cantik dan kebiasaan yang baik pula.
Cara menetapkan seseorang itu adil
Ada dua cara menetapkan seseorang itu adil, yaitu: Tansis dan Syuhrah. Tansis yaitu ada seorang ulama yang melaksanakan jarh wa ta’dil (meneliti secara mendalam ihwal pribadi) terhadap seorang Rawi.
Sementara Syuhrah ialah perawi tersebut populer keadilannya di antara hebat Hadis dan lainnya, banyak kebanggaan orang-orang kepadanya dengan sifat-sifat terpuji ibarat amanah. Maka hal itu cukup untuk menetapakan ke-adil-annya .
Dhabith-nya Rawi. Arti dhabith berdasarkan bahasa yaitu perlunya sesuatu. Sedangkan berdasarkan istilah: hendaklah Rawi itu berpengaruh hafalannya, tidak pelupa. Ia Dhabith dari segi hafalannya dan kitabahnya (tulisannya). Dhabith dibagi dua; Dhabith Shadri dan Dhabith Kitabah.
Dhabith Shadri yaitu Rawi menghafal apa yang ia dengar dari orang lain dan memungkin bagi ia untuk menghadirkan apa yang ia hafal disuatu ketika tanpa melebihi dan mengurangi dari yang dihafalnya .
Dhabith Kitabah ialah Rawi bisa menulis apa yang ia dengar dari orang lain bersama buku yang dimilikinya serta bisa memperbaikinya sejak ia mendengarnya.
Untuk mengetahui seseorang Dhabith atau tidaknya biasa dengan dua cara, yaitu dengan membandingkankan riwayat Rawi dengan riwayat yang lainnya, dan dengan menguji para Muhaddits
Secara urutan Dhabith dalam Rawi ada tiga tingkatan, yaitu Martabatul Ulya: perawinya disifati dengan tamamud dhabthi, tingkatan ini untuk Hadis Shahih. Kedua Martabatul Wustha: perawinya disifati dengan khaffud dhabthi, martabat ini untuk Hadits Hasan Lidzatihi. Terakhir, Martabatul Dunya yaitu perawinya disifati dengan dhaif dhabthi atau lemah, tingkatan ini untuk Hadits Dhaif.
Selamat dari Syadz. Pengertian Syadz yaitu berlawanan yang diriwayatkannya dengan diriyawatkan orang lain yang lebih berpengaruh hapalannya, dan mustahil menggabungkan pendapat perawi yang Syadz dengan perawi yang Tsiqqoh atau kuat. Jika digabungkan maka akan rusak suatu rawi. Wallahu ‘A'lam.
Selamat dari Illah, yaitu bebas dari aib. Di dalam bidang Hadis dihentikan berhujjah dengan orang yang mempunyai aib.