Suatu ketika Malik bin Dinar berjalan-jalan di Kota Bashrah dengan sahabatnya Abu Sulaiman (Ja’far). Mereka bertemu dengan seorang perjaka tampan yang sedang mempersiapkan pembangunan sebuah gedung. Ia tampak memperlihatkan perintah kepada tukang-tukangnya untuk mengerjakan ini dan itu. Malik bin Dinar berkata kepada Abu Sulaiman, “Lihatlah perjaka itu, alangkah tampan wajahnya, betapa rajinnya ia mengatur pembangunan itu. Aku ingin berdoa biar Allah menyelamatkan perjaka itu, dan menjadikannya perjaka jago surga!!”
Kemudian mereka berdua menghampiri perjaka itu, dan mereka mengucap salam. Walau perjaka itu tidak mengenalnya secara khusus sebagai seorang ulama tasauf, tetapi ia sanggup mencicipi ‘aura’ kewibawaannya. Pemuda itu menjawab salamnya dan menyambutnya dengan ramah dan santun sambil menanyakan maksud kedatangannya. Malik bin Dinar berkata, “Berapakah asumsi biaya yang engkau keluarkan untuk membangun gedung ini?”
Pemuda itu berkata, “Seratus ribu dirham!!”
Malik bin Dinar berkata, “Aku ingin memperlihatkan penawaran kepadamu, serahkanlah seratus ribu dirham itu kepadaku, dan saya akan menempatkannya pada daerah yang seharusnya. Sebagai gantinya, saya akan menjamin bagimu di sisi Allah, sebuah gedung yang lebih indah daripada ini, lengkap dengan pelayan-pelayannya, kubah-kubahnya, kemah-kemahnya dari yaqut merah bertaburkan permata, tanahnya za’faran, semen (perekat)-nya misik, jauh lebih besar dan lebih luas dari rencana gedungmu itu, dan tidak akan rusak selamanya. Karena gedung itu terbangun dengan kalimat Allah ‘Kun’, maka terjadilah gedung itu!!”
Sebuah penawaran yang sangat tidak masuk akal, tetapi sepertinya merasuk dalam pikiran perjaka itu. Apalagi ada ‘hawa’ kesalehan dan ketulusan dalam ucapan Malik bin Dinar itu. Pemuda itu tampak tercenung sebentar, lalu ia berkata, “Berilah saya waktu semalam untuk memikirkannya, dan esok pagi sekali hendaknya tuan tiba kembali ke sini!!”
“Baiklah!!” Kata Malik bin Dinar.
Semalaman itu Malik bin Dinar memikirkan perjaka itu, dan ketika waktu sahar (sebelum subuh, waktu yang afdhol untuk sahur) tiba, ia lebih banyak berdoa untuk perjaka tampan tersebut. Ketika matahari telah terbit, mereka berdua mendatangi perjaka tersebut, yang ternyata telah siap-siap menunggu kedatangannya. Setelah saling mengucap salam, perjaka itu berkata, “Apakah yang tuan katakan kemarin??”
Malik bin Dinar mengulangi lagi ucapannya pada hari sebelumnya, sesudah itu ia berkata, “Apakah kau sanggup melaksanakannya??”
Pemuda itu menyahut dengan cepat, “Ya!!”
Kemudian ia menyerahkan beberapa kantong uang berisi seratus ribu dirham yang telah dipersiapkannya. Ia juga telah menyiapkan selembar kertas dan dawat (tinta) beserta penanya. Malik bin Dinar pribadi menulis pada kertas tersebut, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini surat jaminan dari Malik bin Dinar untuk Fulan bin Fulan. Sungguh saya (Malik bin Dinar) menjamin untukmu di sisi Allah, sebuah gedung sebagai ganti gedungmu itu, berdasarkan sifat dan bentuk yang telah saya sebutkan sebelumnya, dan selebihnya dari itu terserah kepada Allah. Saya membeli untukmu dengan uangmu ini, sebuah gedung di nirwana yang lebih luas dan lebih indah daripada gedungmu itu, di bawah naungan yang sejuk, di sisi Tuhan Yang Maha Agung..!!”
Surat itu dilipat dan diserahkan kepada perjaka itu, lalu Malik bin Dinar dan Abu Sulaiman memikul uang itu, berjalan berkeliling Kota Bashrah membagi-bagikan uang itu kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya. Sore harinya, ketika tidak ada lagi dari mereka yang memerlukan uang itu, tersisa beberapa dirham yang hanya cukup untuk membeli makan malam sederhana bagi mereka berdua.
Empatpuluh hari kemudian, usai shalat subuh di mihrabnya, Malik bin Dinar menemukan sebuah kertas terlipat. Setelah ia membukanya, terdapat goresan pena yang tidak ditulis dengan dawat (tinta), “Ini bukti kekebasan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana kepada Malik bin Dinar, dan Kami akan menepati jaminannya kepada perjaka itu, dengan gedung yang tujuhpuluh kali lipatnya dari apa yang ia sifatkan!!”
Malik bin Dinar tercenung beberapa ketika sesudah membacanya, lalu ia bergegas pergi ke rumah perjaka itu. Tampak pintunya tertutup dan terdengar tangisan di dalamnya. Salah seorang tetangga perjaka itu berkata kepada Malik, “Pemuda itu telah meninggal kemarin, dan kami telah memanggil seorang tukang memandikan ketika ia naza’ (sekarat)!!”
Malik berkata, “Dimanakah rumah tukang memandikan itu?”
Mereka mengantar Malik bin Dinar ke daerah tinggalnya. Setelah bertemu, Malik berkata kepadanya, “Coba engkau ceritakan kepadaku bagaimana keadaannya?”
Tukang memandikan itu menceritakan jikalau ia tiba ketika perjaka itu sedang sekarat atau naza’. Sebelum kematiannya, ia sempat berkata kepadanya, “Jika saya telah mati dan engkau telah mengkafaninya, letakkanlah surat ini di dalam kafanku!!”
Pemuda itu memperlihatkan sebuah surat atau kertas terlipat, dan ia meletakkannya di antara badan dan kain kafan yang membungkusnya, lalu ia menguburkannya. Sambil memperlihatkan surat atau kertas terlipat yang ditemukan di mihrabnya subuh hari itu, Malik bin Dinar berkata, “Apakah surat ini!!”
“Benar!!” Kata tukang memandikan itu sambil terheran-heran. Ia sangat yakin dan niscaya jikalau telah melakukan wasiat perjaka itu, dan menguburkan surat itu bersama jenazahnya. Tetapi mengapa surat itu ternyata ada di tangan Malik bin Dinar? Ia berkata, “Demi Allah yang telah mematikan perjaka itu, saya telah meletakkan surat itu di antara badan dan kafannya, lalu menguburkannya!!”
Malik bin Dinar tampak sangat terharu dengan dongeng itu, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya yang memang telah mengetahui kisah ‘pertukaran’ tersebut. Salah seorang perjaka mendekati Malik bin Dinar dan berkata, “Wahai Malik, terimalah dari saya duaratus ribu dinar, dan berikan jaminan untukku menyerupai perjaka itu!!”
Penawaran yang diberikan perjaka ini jauh lebih banyak, daripada yang diminta pada perjaka yang telah meninggal itu. Dirham ialah uang perak, dan itupun hanya seratus ribu dirham, sedang dinar ialah uang emas, dan itu sebanyak duaratus ribu dinar. Tetapi Malik menyadari bahwa kemuliaan dan ketinggian derajad yang diterima perjaka yang telah meninggal itu bukanlah alasannya ialah kiprahnya dalam menyedekahkan uang yang sedianya akan dibentuk membangun gedung itu. Tetapi lebih kepada perilaku dan amalan perjaka itu sendiri dan juga kasih sayang dan kehendak Allah
Menyadari hal itu, Malik bin Dinar berkata, “Jauh, jauh sekali yang menyerupai itu (maksudnya mustahil akan terulang lagi), terjadilah apa yang telah terjadi, yang tertinggal juga telah tertinggal, dan Allah memperlihatkan keputusan sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya sendiri!!”