Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan berilmu dan mempunyai perangai yang luhur. Karena itulah banyak pria dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Pada mulanya ia dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang berjulukan Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, ia dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun kesannya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan ia tetapi ia memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana ia menjadi seorang yang kaya raya.
Suatu ketika, ia mencari orang yang sanggup menjual dagangannya, maka tatkala ia mendengar perihal Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), yang mempunyai sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka ia meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang berjulukan Maisarah. Beliau memperlihatkan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya.
Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah ia bersama Maisarah dan Allah mengakibatkan perdagangannya tersebut menghasilkan keuntungan yang banyak. Khadijah merasa besar hati dengan hasil yang banyak tersebut sebab perjuangan dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan asing yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana kebanyakan pria lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis; mungkinkah cowok tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang sebab ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya? Maka disaat dia galau dan gelisah sebab problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang berjulukan Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah bisa menyibak diam-diam yang disembuyikan oleh Khodijah perihal problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan menyampaikan bahwa Khadijah ialah seorang perempuan yang mempunyai martabat, keturunan orang terhormat, mempunyai harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia pribadi menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah obrolan yang menerangkan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak mempunyai apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika saya pilihkan untukmu seorang perempuan yang kaya raya, anggun dan berkecukupan, maka apakah kau mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia ialah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia oke maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk memberikan kabar besar hati tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman ia perihal keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang berjulukan Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai komitmen nikah, disembelihlah beberapa ekor binatang kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa’diyah yang tiba untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, sebab dahulu dia telah menyusui Muhammad yang kini menjadi suami tercinta.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai pola yang paling utama dan paling baik dalam hal mengasihi suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu semoga dia sanggup mencontoh budpekerti suaminya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Allah memperlihatkan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang berjulukan al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.
Kemudian Allah Ta’ala mengakibatkan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau memakai waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.
Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula ia mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan ia mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menuntaskan kiprah yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga ia tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan ia di dalam gua Hira’ pada bulan Ramadhan. Jibril tiba dengan membawa wahyu.Selanjutnya beliay Nabi Saw keluar dari gua menuju rumah ia dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata: “Selimutilah saya ….selimutilah saya …”.
Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia menjawab:”Wahai Khadijah tolong-menolong saya khawatir terhadap diriku”.
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: “Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh saya berharap semoga anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, tolong-menolong anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat pinjaman ini dan kembalilah ketenangan ia sebab pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang ia bawa.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan ia dengan segera pergi menemui putra pamannya yang berjulukan waraqah bin Naufal, kemudian ia ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jikalau apa yang engkau ceritakan kepadaku benar,maka sungguh telah tiba kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah tiba kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung.
Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau ialah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangimu.
Seandainya saya masih menemui hari itu sungguh saya akan menolong dien Allah “. Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Apakah mereka akan mengusirku?”. Waraqah menjawab: “Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan niscaya ada yang menentangnya. Kalau saja saya masih mendapatkan masa itu …kalau saja saya masih hidup…”. Tidak beberapa usang kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan ia mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di ketika permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu ialah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka ia menapaki jalan dakwah dengan nrimo semata-mata sebab Allah Rabbul Alamin, dan ia mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.
Adapun Khadijah ialah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam.
Beliau ialah seorang istri Nabi yang mengasihi suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong ia dalam menghadapi kerasnya gangguan dan bahaya sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya.Tidaklah ia mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan ia Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila ia kembali ke rumahnya.
Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan insan pada ia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah), Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, kemudian berilah peringatan! Dan Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kau memberi (dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!”(Al-Muddatstsir:1-7).
Sehingga semenjak ketika itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup gres yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu ‘anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau. Diantara buah yang pertama ialah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.
Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan banyak sekali macam bentuknya,akan tetapi Khadijah berdiri kokoh kolam sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan Firman Allah Ta’ala:
“Apakah insan itu menerka bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’ , sedangkan mereka tidak diuji lagi?” . (Al-’Ankabut:1-2).
Allah menentukan kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang berjulukan Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul janjkematian sebab siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan.
Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang berjulukan Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu sebab putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan peristiwa besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata frustasi bagi seorang Mujahidah. Beliau laksanakan setiap ketika apa yang difirmankan Allah Ta’ala :
“Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kau sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kau dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kau bersabar dan bertakwa, maka tolong-menolong yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan “. (Ali Imran:186).
Sebelumnya, ia juga telah menyaksikan seluruh peristiwa yang menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana ia berdakwah di jalan Allah, namun ia menghadapi segala peristiwa alam dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu ia bersumpah dengan sumpah yang memperlihatkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda: “Demi Allah wahai paman! seandainya mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku semoga saya meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali saya tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau saya yang binasa karenannya”.
Begitulah Sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pola yang paling agung dan tanda yang paling kasatmata perihal keteguhan diatas iman. Oleh sebab itu, kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah; Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama kaum Abu Thalib dan ia tinggalkan kampung halamannya untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai ia menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah ia hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan sehabis berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul seorang mujahidah yang sabar -semoga Allah meridhai beliau- tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah peristiwa alam yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah ialah sahabat yang tulus dalam memperjuangkan Islam.
Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya sehabis hingga pada waktu yang telah ditetapkan, sehabis ia berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, ia menjadi seorang istri yang bijaksana, maka ia bisa meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan segala kemamapuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah ia berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar besar hati dengan rumah di nirwana yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik perempuan ialah Maryam binti Imran, sebaik-baik perempuan ialah Khadijah binti Khuwailid”.
Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memperlihatkan tanggapan yang paling baik sebab jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
[Al-Ikhlas Apps]