Wednesday, 5 February 2020

Menelisik Rakaat Terawih


aziachmad.wordpress.com
Oleh: Abdul Hamid

Perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat tarawih sudah menjadi tradisi sebagian saudara kita di nanggroe Aceh tercinta. Hampir setiap bulan suci ramadan menampakkan batang hidungnya permasalahan ini selalu memenuhi beranda facebook atau media umum lainnya. Yang memperbincangkan duduk kasus ini pun orang yang sama setiap tahun. Kelompak A menyalahkan kelompok B, yang B pun tetap ngotot atas pendiriaannya.

Mengapa saya katakan di nanggroe Aceh tercinta, dan kenapa tidak saya ketakan saudara kita umat Islam seluruhnya? Saya teliti saya tidak menemukan insan yang setia menunggu dan menjalankan ibadah puasa di negara atau wilayah lain yang dengan alotnya memperbincangkan duduk kasus ini. Empat tahun saya sudah menapaki kaki di tanah Mesir, namun belum pernah sekalipun saya temukan perselisihan antar kelompok mengenai jumlah rakaat terawih.

Padahal di Mesir juga ada banyak wahabi, bahkan wahabi Mesir jauh lebih mahir dan dalam ilmunya ketimbang wahabi di negara lain. Tapi mereka tak pernah menghujam Al-Azhar ketika melaksanakan tarawih dengan jumlah 20 rakaat, Al-Azharpun tidak pernah menyalahkan umat Islam yang melaksanakan tarawih 8 rakaat. 

Sebenarnya pihak yang menganggap kelompok yang melaksanakan shalat terawih 20 rakaat telah berulang kali menyakinkan kelompok yang melaksanakan shalat terawih 8 rakaat bahwa apa yang mereka lakukan tidak benar, namun kelompok tersebut masih tetap kokoh pendiriaanya setiap ramadhan melaksanakan terawih 8 rakaat. Kritikan mereka dianggap angin berlalu oleh kelompok yang 8  rakaat ini.

Hal ini mengingatkan saya kepada sosok Syehk Muhammad Saied Ramadhan Al-Buthi, melalui anutan dalam karya-karyanya saya menyimpulkan bahwa, 'Sebuah kasus yang kita sampaikan kepada orang lain tak akan menciptakan dia yakin dengan apa yang kita sampaikan jikalau kita bangkit di atas pondasi A'sabiat (primordialisme).' Karena itu, syariat bukan hanya menuntut kita untuk menyakinkan orang lain, tapi lebih dari itu menganjurkan kita untuk memuaskan mereka dengan argumentasi yang kita sampaikan.

Berikut ini saya akan sampaikan sedikit maui'dhah hasanah perihal jumlah rakaat shalat terawih. Yang  akan saya paparkan ini bukanlah pendapat saya, tapi pendapat Syehkna Prof Dr Ali Juma'h Muhammad Asy-Syafi'i (Mantan Mufti Mesir). Saya tidak akan menambahkan atau mengurangi sedikitpun apa yang ia sampaikan. Kaprikornus sesuai atau tidak apa yang ia sampaikan dengan anutan Anda, itu mutlak pendapat beliau.

Tapi sebelumnya saya ingin menegaskan. Syehk Ali Jum'ah ialah seorang ulama besar era ini, shahib nuqul wa u'qul. Jika berbicara wacana hadist, maka ia seorang pakar hadist yang tak bisa dilewatkan. Sanad hadistnya bersambung kepada Syehkna Muhammad Yasil Al-Fadani rahimahullah. Adakah yang tak kenal dengan sosok Yasil AL-Fadani? Orang Arab saja bergetar tubuhnya ketika mendengar tokoh yang satu ini alasannya ialah kedalaman ilmunya, bagaimana dengan kita?

Salah seorang bertanya pada Syehk Ali Jum'ah. Dimanakah perbedaan antara shalat Tahajjud, Terawih, dan Qiyamullail, dan mana yang lebih afdhal saya lakukan dari ketiga-tiganya itu dalam bulan ramadhan?

Syehk Ali menjawab, 'Ketiga-tiganya itu mempunyai makna yang bersamaan. Kalimat Qiyamul Lail maknanya bahwa kau melaksanakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah semenjak setelah shalat Isya. Maka ibadat apapun yang kau laksanakan mulai setelah shalat Isya hingga azan subuh itu dinamakan dengan Qiyamul Lail. 

Sahabat ra selalu beribadah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw. Setiap ibadat yang dilakukan setelah shalat Isya hingga dengan azan subuh dinamakan Qiyamul Lail yang selalu dilakukan baginda Nabi.
Rasulullah Saw tidak pernah melaksanakan shalat 11 rakaat atau 13 rakaat di bulan ramadhan dan diluar ramadhan. Dengan kata lain, ia tidak malaksanakan shalat lebih dari 11 rakaat atau 13 rakaat baik di bulan ramadhan atau di bulan lainnya.

Akan tetapi, Saidina Umar Ibn Khattab manakala mengumpulkan para sobat dalam satu jamaah untuk melaksanakan shalat terawih, ia menambah rakaat shalat dimaksud menjadi 20 rakaat. Penduduk Mekkah kala itu melakukannya 20 rakaat, dengan beristirahat (terawih) pada tiap-tiap 4 rakaat.  Dalam waktu istirahat pada tiap 4 rakaat mereka melaksanakan tawaf.

Ketika penduduk Madinah mengetahui perihal ibadahnya penduduk Mekkah yang melaksanakan tawaf pada tiap-tiap 4 rakaat, mereka menambahkan 4 rakaat shalat terawih sebagai gantian tawaf penduduk Mekkah. Sehingga jadilah jumlah shalat terawih dalam sebuah pendapat Imam Malik ra 36 rakaat. Hal itu tidak mengapa, alasannya ialah menambah-nambah dalam ibadah sunat dan kebaikan merupakan sunnahnya Rasulullah, khulafaur rasyidin, dan salafus salih.

Dengan demikian, dominan kaum muslimin melaksanakan shalat dimaksud 20 rakaat yang risikonya dinamakan dengan shalat terawih yang wajib dilakukan dua-dua rakaat. Adapun yang dilakukan setelah shalat terawih pada pertengahan malam dinamakan dengan shalat tahajjud. Dan kedua-duanya dilakukan sekedar kemampuannya saja. Karena syariat tidak memaksa seseorang untuk melaksanakan ibadah di luar kemampuannya. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah Saw, 'Beribadahlah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu'.

Dengan demikian, barang siapa yang melakukannya 8 rakaat kemudian menambahkan witir 3 rakaat tidak mengapa. Barang siap yang melaksanakan 20 rakaat kemudian menambahkan witir 3 rakaat juga tidak apa-apa. Dan barang siap yang melaukan 8 rakaaat atau 20 rakaat, kemudian melaksanakan shalat tahajjud di pertengahan malam pun tidak apa-apa.'

Saya tidak ingin mengambil kesimpulan dari paparan syehk Ali di atas. Karena semua orang yang memandang dengan beling mata ilmu (bukan dengan A'sabiat) niscaya tau cara berkesimpulan yang benar. Saya setiap puasa selalu melaksanakan shalat terawih 20 rakaat, kecuali beberapa puasa sahaja ketika berada di Mesir. Kecuali tahun 2012, waktu itu saya shalat di Masjid Al-Azhar yang melaksanakan terawih 20 rakaat. Hom hai!


banner
Previous Post
Next Post