Saturday 22 February 2020

Menjaga Keyakinan Ahlussunnah Wa Al Jama’Ah Dalam Pendidikan Aceh


"Kalau tak ada angin bertiup, takkan pohon bergoyang". Begitulah peribahasa mengatakan, bahwa sesuatu itu tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa dimulai dengan sebab- alasannya tertentu.

Beberapa waktu yang lalu, di nanggroe Aceh tercinta kita pernah mendengar khatib- khatib salat Jumat diturunkan dari mimbar sebelum selesai membacakan dua rukun khotbah. Tindakan itu dilakukan, lantaran jamaah menilai isi khotbahnya kontroversial. Sang khatib melarang masyarakat untuk bersalawat sesudah salat secara jihar dan lainnya yang telah biasa dilakukan oleh warga setempat.

Masyarakatpun makin dibentuk risau, hal itu dengan kehadiran para penda’i yang memprovokasi masyarakat untuk memerangi hal- hal menyerupai tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan lain sebagainya, dengan dalih bahwa amalan-amalan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Semua itu lahir dari kekeliruan iktikad  dan pemahaman terhadap pokok pedoman agama yang berupa  keyakinan ataupun tauhid.

Pemikiran- pemirkiran menyerupai ini terasa abnormal bagi masyarakat Aceh, yang telah usang hidup dalam lingkup keyakinan Ahlussunnah wal Al Jama’ah (Al ‘Asy’ariy, Al Maturidiy dan Ahl Al Hadis).

Lalu dari mana pemikiran-pemikiran itu datang?

Ternyata secara tersembunyi, keyakinan yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh ini, telah usang menerima serangan dengan cara yang sangat lembut. Sedikit demi sedikit merangkak, hingga balasannya bertemu di suatu persimpangan persengketaan.

Madrasah- madrasah keagamaan yang sedang menjamur di nanggroe Aceh, ternyata menjadi ladang subur bagi para panggawa keyakinan tersebut. Jiwa- jiwa gres yang masih sangat miskin akidah, ditambah rasa keingintahuan yang tinggi menjadi pelengkap tersendiri, yang memperlancar proses pembibitan pemahaman- pemahaman bersebrangan.

Dalam peta fakta, pelajaran tauhid yang disungguhi di sebagian madrasah- madrasah tersebut ialah Tauhid Taslist yang dipopulerkan oleh Ibn Taimiyah rahimahullah, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asmak wa As Shifat. Turunan yang dihasilkan dari rumusan tauhid tersebut ialah menyampaikan bahwa Allah SWT. bertempat, memiliki batas dan lainnya yang seharusnya ini tidak pantas disandingkan pada zat Allah SWT, mengaharamkan tawassul dan lain-lain.

Tauhid taslist ini berdasarkan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan pembagian yang batil, lantaran bertentangan dengan dalil- dalil Al Alquran dan hadis, berikutnya juga tidak pernah dikenal pada masa salaf, apalagi dari Rasulullah Saw.

Mengomentari wacana pembagian tauhid ini, DR. Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musayyar dalam kitabnya Fatawa Al ‘Aqidah Al Islamiah mengatakan, bahwa pembagian ini tidaklah diharapkan serta tidak memiliki sandaran dalil, baik dari segi bahasa maupun syariat. Pemisahan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah ialah pemisahan yang dibuat-buat. Karena di dalam Al Alquran terkadang dipakai lafal rabb dan terkadang memakai lafaz ilah dengan satu makna yang meliputi legalisasi dan ibadah.

Tidak hanya hingga disitu, pendidikan keyakinan Aceh juga tak luput dari pandangan para misionaris, bayak buku yang berada ditangan generasi Aceh dibangku sekolah lewat dari pantauan departemen Agama. Lebih menyedihkan lagi jikalau ternyata buku- buku tersebut juga berstempel forum keagamaan tersebut.

Nah, hingga disini terang sudah permasalahanya, ternyata kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat aceh bukanlah menyerupai bangkai yang tak berbau, atau konflik yang dibuat- buat tanpa ada penyebabnya. Tapi nyatanya, ada pihak yang berusaha untuk mengotori hal paling urgen dalam diri seorang muslim, yaitu akidah.

Kehidupan masyarakat Aceh yang dari dahulu telah serasi dengan aqidah Ahlussnnah wal Jama’ah janganlah diganggu dengan berbagi pemahaman yang berbeda. Karena masyarakat Aceh ketika ini sangat butuh persatuan demi tercapainya harapan pembangunan Aceh seta penerapan syari’at Islam di bumi Aceh tercinta.

Oleh lantaran itu, perlu kiranya kita mengkaji dan menyusun kembali kelayakan materi-materi pelajaran di aneka macam forum pendidikan khususnya dalam hal ini bahan tauhid yang diajarkan di madrasah-madrasah maupun sekolah lainnya. Penyusunannya tetap oleh forum yang berwenang tapi dibawah pengawasan ulama-ulama yang muktabar. Wallahu a’lam bis shawab.(HN)

*Ringkasan makalah “Menjaga Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Pendidikan Aceh” (Kritik Terhadap Materi Tauhid; Pelajaran Akidah Akhlak Madrasah Aliyah), oleh Tgk. Fitra Ramadhani bin Yunizar, Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo. Telah dipresentasikan dalam acara reguler Kajian Zawiyah KMA, 3 November 2013, Kairo, Mesir.


banner
Previous Post
Next Post