Wednesday, 26 February 2020

Nasab Dan Keturunan Keluarga Besar Nabi

NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI

 

Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam


Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan nasab ia hingga kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan yaitu urutan nasab ia dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam. Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih, yaitu urutan nasab ia mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam. Dan berikut ini klarifikasi detail wacana ketiga pembagian terstruktur mengenai tersebut:

Klasifikasi Pertama:  Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya: 'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.

Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.

Klasifikasi Ketiga: ( dari urutan nasab kedua pembagian terstruktur mengenai diatas hingga keatas Nabi Ibrahim ) yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang menyampaikan bahwa dia yakni Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.


Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam


Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung wacana kondisi Hasyim ini dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar ia Shallallahu 'alaihi wasallam :

Hasyim : Adalah orang yang bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (arRifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi negosiasi antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam problem pembagian kekuasaan antar kedua belah pihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang baik dan mempunyai martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya yakni 'Amru, adapun dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa Arab). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan aktivitas dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian di isu terkini cuek dan Rihlatush Shaif; bepergian di isu terkini panas (sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2).

Suatu hari Hasyim pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun ketika hingga di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim balasannya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya yakni "syaibah") di kepalanya. Syaibah dibesarkan di Yatsrib sedangkan keluarganya (kelaurga besar Hasyim) yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu wacana dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri. Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan Syaibah ('Abdul Muththalib). Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.

al-Muththalib : Setelah Hasyim meninggal tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf {Dia yakni orang yang ditokohkan, disegani dan mempunyai kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan alFayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab yakni yang murah hati)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar informasi wacana dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air matanya, kemudian direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya, al- Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya supaya mengizinkannya membawa serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak seruan tersebut. AlMuththalib lantas bertutur: "sesungguhnya Syaibah akan ikut bersamaku menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hasyim), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Syaibah dibonceng oleh kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi binatang tunggagan miliknya.

Kemudian sesampainya dikota Makkah orang orang mengira bahwa Mutholib membawa seorang budak hamba sahaya  yang ingin dijadikan pembantu, padahal itu yakni yaibah keponakannya, kemudian orang orang berteriak: "inilah 'Abdul Muthalib!" (makna dari kata abdul yakni hamba sahaya, jadi abdul mutholib maknanya hamba sahaya atau pembantu mutholib). Kakeknya, alMuthalib memotong teriakan tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini yakni anak saudaraku Hasyim (keponakanku)". Namun tetap saja orang orang itu memanggil Syaibah dengan panggilan 'Abdul Muththalib’ hingga kini ini. Akhirnya Abdul Mutholib tinggal bersama Al-Mutholib hingga tumbuh dan menginjak dewasa.

Al-Muthtthalib kemudian meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia sangat bisjaksana terhadap kaumnya persis menyerupai nenek-nenek moyang dulu bahkan lebih; dia mendapat kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.

'Abdul Muththalib : Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menjadikan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman (Naufal). Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya Abdul Mutholib menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon pertolongan mereka. Paman Abdul Mutholib dari pihak ibu yaitu Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh orang kemudian berangkat dari Yasrib menuju ke Makkah dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah, sebuah kawasan di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang eksklusif berkata kepada rombongan itu: "silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi Allah, saya tidak akan (mampir ke rumahmu) hingga bertemu dengan Naufal", lantas rombongan itu mendatangi Naufal yang ketika itu sedang duduk-duduk di erat al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd (paman Abdul Mutholib dari garis ibu) eksklusif mencabut pedangnya seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan kekuasaan anak saudari perempuanku (keponakanku) maka saya akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah saya kembalikan kepadanya!". Ucapann Naufal ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah 'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, rombongan dari yastrib melaksanakan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam) kemudian pulang ke Madinah.

Setelah insiden itu Naufal tidak tinggal diam, Naufal balasannya bersekutu dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim keluarga Abdul mutholib. Suku Khuza'ah tergerak untuk menolong 'Abdul Muththalib. Mereka berkata kepada pihak lawan: "Abdul Muthalib juga merupakan anak keturunan kami menyerupai kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini karena ibu dari 'Abdi Manaf yakni keturunan mereka. Mereka memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi alasannya penaklukan Mekkah (nanti kita akan jelaskan kemudian).
Ada dua insiden besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib: Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan gajah.

Peristiwa pertama : 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali kembali sumur Zam-zam yang sudah tertimbun dan diimpikan kepadanya dimana letaknya, lantas dia melaksanakan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut) sesudah penggalian dia menemukan didalamnya terdapat benda-benda yang terkubur dikala dulu dikubur oleh suku Jurhum (suku istri dari Nabi Ismail) ketika mereka akan keluar meninggalkan Mekkah dikala diusir pada masa peperangan; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedangpedang kemudian dia jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan kawasan untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.

Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepada Abdul Mutholib: "ikutsertakan kami terhadap apa yang kau dapatkan!". Dia menjawab: "aku tidak akan melakukannya alasannya ini merupakan petunjuk secara khusus diberikan kepada aku". Mereka tidak tinggal membisu begitu saja tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun perempuan dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis kemudian Allah turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke atas mereka. Mereka balasannya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke kawasan mereka masing-masing tanpa harus melanjutkan kerumah dukun. Saat itulah 'Abdul Muththalib bernazar bahwa kalau dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah mencapai usia baligh, untuk menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah.

Peristiwa kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa kerajaan anNajasyi di negeri Yaman merasa iri ketika melihat orang-orang Arab melaksanakan haji ke Ka'bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya yakni supaya orang orang Arab mengalihkan haji mereka ke shan’a. Niat buruk ini didengar oleh seorang yang berasal dari Bani Kinanah. Dia secara rahasia mengendap-endap menerobos malam memasuki gereja tersebut, kemudian dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang berpengaruh (berkekuatan 60.000  personil) ke Ka'bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga menentukan gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat sekitar sembilan ekor gajah (dalam riwayat lain tiga ekor). Dia meneruskan perjalanannya hingga hingga di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan berkemas-kemas melaksanakan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi gres saja mereka hingga di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi berjalan menuju Ka'bah dan enggan dikendalikan oleh mereka baik ke arah selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan kerikil (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Allah Ta'ala menjadikan mereka menyerupai daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut menyerupai burung walet. Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di kedua kakinya berbentuk menyerupai kerikil. Bila lemparan kerikil tersebut mengenai seseorang maka anggota-anggota tubuh orang tersebut akan lepas organ tubuhnya satu persatu (lalu hancur berkeping keping). Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang sanggup keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalanjalan lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang menciptakan sendi jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya menyerupai seekor anak burung yang gres lahir, dadanya terbelah dan hatinya keluar, kemudian kemudian dia roboh tak bernyawa.

Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lerenglereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut dengan kedatangan pasukan Abrahah tersebut akan menimpa keburukan terhadap diri mereka. Tapi manakala pasukan tersebut telah mengalami insiden tragis dan mematikan tersebut, maka mereka turun gunung dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau lima puluh lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian dunia dikala itu dan menunjukkan instruksi kepada mereka akan kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai kawasan suci.

'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah dengan seorang putera lagi yang berjulukan Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang berjulukan 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak lain yakni al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla yakni al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang berjulukan Qutsam. Adapun puteriputerinya berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah, Arwa dan Umaimah.

Abdullah : 'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah berjulukan Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. 'Abdullah ini yakni anak yang paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib, yang paling higienis jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas.

Cerita Qurban Nazar; ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapat sepuluh orang putera, dia kemudian memberitahu mereka(para putranya) perihal nazar tersebut sehingga mereka pun mentaatinya. Dia menulis namanama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka sesudah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari pihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi perilaku tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya supaya dia menghadirkan dukun/peramal perempuan dan meminta petunjuknya. Dia kemudian tiba kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal perempuan ini memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta; kalau yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan kalau yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.

'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melaksanakan undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun perempuan tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta, kemudian begitu diundi keluarlah nama 'Abdullah; maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang keluar yakni nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan insan maupun binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun semenjak insiden itu maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bergotong-royong ia bersabda: "Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah ia 'Abdullah.

Kemudian 'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya (Abdullah) seorang gadis berjulukan Aminah binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk perempuan idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayah Aminah yakni pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa usang kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika hingga disana dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu Abdullah gres berumur 25 tahun dan tahun meninggalnya tersebut yakni sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana pendapat secara umum dikuasai sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua bulan atau lebih sesudah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, beberap ekor kambing, seorang budak perempuan dari Habasyah berjulukan Barakah dan nama panggilannya yakni Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam.
banner

Related Posts: