Friday, 7 February 2020

Setahun Syeikh Buthi: Resensi Kitab Hadza Walidi (Bagian Ii)

Oleh; Rizky Syahputra, Lc.


Kehidupan di Damaskus
Menjadi pendatang dinegeri orang bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk membangun sebuah keluarga. Kehidupan ekonomi Damaskus dikala itu memang tidak bersahabat, khususnya bagi orang absurd yang tidak mempunyai aset apa-apa ibarat Syeikh Mulla.

Suatu ketika, tatkala Mulla Ramadhan dan keluarganya menumpangi bus yang bertujuan ke Damaskus, mereka bertemu dengan seseorang yang berasal dari Kurdi. Lelaki itu bertanya kepada Mulla, apa yang mengakibatkan ia meninggalkan segala harta dan kampung halaman kemudian hijrah ke Damaskus bersama seluruh keluarga?

Mulla Ramadhan hanya menjawab pertanyaan lelaki itu dengan singkat. 
Akan tetapi si Lelaki itu justru memperingatkan Mulla bahwa kehidupan di Damaskus tak semudah yang dibayangkan. Hanya orang-orang yang mempunyai harta berlimpah dan punya kemampuan lebih yang bisa bertahan. 

Istri Mulla sempat khawatir dengan peringatan si lelaki, bahkan mengamini kata-katanya tersebut dan memohon kepada Mulla semoga mereka kembali ke kampung halaman. Namun Mulla berkata : “Bukankah Engkau telah berjanji bahwa kita tidak akan kembali walaupun kita akan mengahadapi kesulitan yang besar.”


Peringatan pria tersebut sama sekali tidak menggoyahkan tekad Mulla Ramadhan untuk hijrah di jalan Allah. Beliau percaya Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang hijrah dijalanNya.


Setelah tiba di Damaskus, Mulla dan keluarga menempati satu kamar kosong di wilayah Kurdi. Benar memang ibarat yang dikatakan oleh lelaki yang ia jumpai di bus, tak ada profesi lain yang sanggup membantu ia selain menjaja kitab-kitab bekas berbahasa Kurdi ke seluruh wilayah Suriah.



Istri ia sempat ragu alasannya ialah buku-buku bekas itu harganya terlalu murah. Namun Mulla hanya menyerahkan segalanya kepada Allah. Dan atas izin Allah dari hasil penjualan buku pertama, ia memperoleh untung tiga kali lipat dari modal. Mulla pun terus menjalani profesi ini sampai dalam waktu satu tahun ia akan melaksanakan sekali atau dua kali perjalanan demi menjajakan buku-buku tersebut ke banyak sekali wilayah Suriah kemudian kembali dengan membawa kebutuhan pangan untuk keluarga. 

Perkenalannya dengan ulama-ulama Damaskus

Ketika pertama di Damaskus Mulla tidak dikenal sebagai  Alim Ulama, akan tetapi ia dikenal hanya sebagai pedagang. Namun seiring berjalannya waktu, ia berkenalan dengan beberapa Ulama di lingkungan Kurdi tersebut dalam banyak sekali kesempatan. Ketika mereka melaksanakan diskusi, Mulla sering menjawab soal-soal yang diutarakan kepada beliau. Akhirnya Mulla dikenal sebagai Faqihussyafii pertama di lingkungan Kurdi tersebut. 


Lalu bertahap pelajar-pelajar Kurdi pun tiba kepada ia hendak berguru, diikuti oleh beberapa pelajar-pelajar  di beberapa Ma’had  Damaskus bahkan dari banyak sekali wilayah Suriah, baik Kurdi maupun Arab. Ketika masih di Bhoutan ia telah menjalani profesi sebagai guru di sekolah-sekolah Kurdi. Dan atas izin Allah beliaupun kembali menjalani profesi tersebut disamping acara sehari-harinya sebagai pedagang.


Menjadi Imam Mesjid
Selang beberapa waktu Mulla dan keluarga pun pindah ke rumah pribadi ia di Syamdin, sesudah sebelumnya hanya tinggal dirumah kontrakan.  Disebelah barat dari wilayah itu terdapat satu dusun yang di di huni oleh penduduk miskin, budpekerti mereka rusak juga dihantui oleh kebodohan. Dan ditengah dusun terdapat tempat terbengkalai yang biasa dipakai masyarakat untuk menumpuk sampah,  namun dua orang penduduk dusun itu tergerak hatinya untuk membersihkan tempat tersebut semoga terhindar dari basil dan penyakit.



Berita itu terdengar oleh Mahyuddin,  seorang pengusaha kaya yang baik dari distrik Kurdi. Atas perjuangan dan jerih payah, Beliaupun berhasil membangun tempat itu menjadi sebuah mesjid.  Lalu ia meminta Mulla Ramadhan untuk menghidupi mesjid itu dan menjadi Imam tetap disana. Karena Mahyuddin telah megenal Mulla  dan mengagumi dengan keilmuan Mulla Ramadhan.

Setelah beristikharah dan bermusyawarah dengan beberapa sahabat, Mulla pun menyetujui. Tujuan ia menyanggupi permintaan tersebut bukan hanya untuk sekedar menjabat sebagai seorang Imam. Akan tetapi  sebagai seorang Alim ia merasa bertanggung jawab untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam masyarakat tersebut dan menyadarkan mereka dari kejahilan.  Akhirnya ia pindah untuk ketiga kalinya ketempat yang dekat dengan Mesjid tersebut semoga gampang menunaikan kewajiban beliau. 

Metode Dakwah Mulla Ramadhan 
Mulla Ramadhan berkata: “ Aku mempunyai tetangga seorang lelaki yang selalu berbuat banyak sekali jenis dosa besar. Ia ialah peminum khamar,  berlidah tajam sekaligus suka bertindak asusila. Diantara tragedi alam yang paling besar,lelaki itu sering menyewa pelacur kemudian mengundang teman-temannya untuk menggauli pelacur tersebut, setiap malam rumahnya dipenuhi bunyi dendang dan nyanyian. “


Mengahadapi kondisi ibarat ini Mulla pun berunding dengan beberapa penduduk yang sholat di Mesjid untuk menasihati lelaki itu, walaupun balasannya nihil.



Ternyata lelaki tersebut tahu bahwa Mulla berupaya mengahalang perbuatannya. Maka suatu hari sebelum menjelang sholat Shubuh lelaki itu tiba kerumah Mulla dalam kondisi mabuk dan melempar kerikil ke pintu rumah beliau. Bahkan sesudah itu ia juga melempari jendela mesjid dengan kerikil dikala para jamaah sedang menunaikan shalat.

Syeikh Mulla tau benar, bahwa dalam dakwah kita tidak hanya bergantung pada keindahan bahasa, dan kehikmatan tingkah, serta berapa banyak nasehat yang bisa kita berikan, akan tetapi disana ada bab lain yang sering dilupakan oleh kebanyakan para pendakwah hari ini. Bagian itu ialah doa. Setelah berdakwah dengan lisan, seorang dai dituntut untuk menyerahkan hasil dakwahnya kepada Allah, semoga Allah memperlihatkan hidayah kepada orang tersebut. Karena sesungguhnya hidayah itu hanya ada disisi Allah.


Melihat hasil dakwahnya tidak membawa hasil, Syekh Mulla pun bertwajjuh kepada Allah di waktu sahur dan memohon semoga Allah memberi hidayah kepada lelaki itu. Mulla berkata “Entah berapa kali saya menangis dalam sujud memohon semoga Allah memberi hidayah untuk lelaki itu.”

Selang beberapa hari kemudian, tiba-tiba lelaki tersebut mulai mengeluarkan pelacur-pelacur yang pernah disewa dari rumahnya, dan sesudah itu ia berhenti minum khamar. Bahkan Mulla pernah bertemu dengannya didalam Mesjid dan ia mencoba mencium tangan Mulla. 


Ketika Mulla melaksanakan ibadah Haji, ia berwasiat semoga tidak menghiasi rumah untuk menyambut ia dikala pulang. Namun sesudah terdengar kabar bahwa Mulla hampir tiba dari ibadah haji, si lelaki itu justru menghiasi rumah Mulla dengan hiasan yang special. Walaupun keluarga Mulla sudah melarangnya namun ia tetap bersikeras. Dan ia meletakkan karpet merah di depan rumah untuk menyambut kepulangan Mulla. Dan dikala Mulla kembali, keluarga ia pribadi menceritakan apa yang sebetulnya terjadi. Mulla pun berdoa dan memuji Allah. Seorang lelaki yang dulunya bergelimpangan maksiat dan benci kepada ia kini menjadi orang yang sangat menghormati Mulla sesudah ia mendakwahi si lelaki dan memohon kepada Allah untuk menghidayahi lelaki itu. 


Bahkan kawasan yang dulunya terserang kebodohan dan maksiat itu semakin usang semakin berubah. Penduduk yang shalat di Mesjid semakin ramai bahkan selain menjadi tempat ibadah mesjid itu juga menjadi tempat menimba ilmu agama. Dan kini Mesjid itu dinamai Mesjid Al-rifai.

Baca juga : Setahun Syeikh Buthi: Resensi kitab Hadza Walidi (bagian I)


Judul Buku : Hadza Walidi (inilah Ayahku) 

Penulis      : Syekh Al-syahid Muhammad Said Ramadhan Al-bhouthi

Penerbit     : Dar al-fikri

Tanggal Terbit : 2010 cetakan ke 12
Halaman         : 199
Kategori         : Biografi
Teks             : Bahasa Arab
banner
Previous Post
Next Post