Oleh Irena Handono
Penyerahan kunci Istana Al-Hamra oleh Sultan Muhammad As-Shaghir kepada Raja Ferdinand dan Isabella pada 2 January 1492 M menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol. Itu artinya, secara politik islam sama sekali tidak mempunyai hak terhadap Spanyol.
Namun berakhirnya kekuasaan islam di Spanyol tidak serta merta mengakhiri dongeng kaum muslimin di negeri itu, penyerahan kekuasaan justru merupakan awal dari sejarah kelam kaum muslimin disana. Piagam Granada yang menjanjikan kebebasan beragama bagi kaum muslimin rupanya tidak berumur panjang. Pada tahun 1502 umat islam diberi dua opsi, mameluk Katolik atau pergi meninggalkan bumi Spanyol. Artinya, menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama islam sama artinya dengan bunuh diri. Banyak kaum muslimin yang menentukan meninggalkan Spanyol, namun tidak sedikit yang menentukan pindah agama secara dzohir, namun tetap beribadah secara islami dengan sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang lalu dikenal sebagai kaum Moriscos.
Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan kaum Moriscos dianggap sebagai sebuah ancaman. Sehingga antara tahun 1508-1567 keluar sejumlah peraturan yang melarang segala hal yang bernuasa islam, baik pakaian maupun nama. Penggunaan bahasa arab juga dirarang. Anak-anak kaum muslimin dipaksa untuk mendapatkan pendidikan dari para pendeta Kristen. Puncaknya pada tahun 1609-1614 sebanyak 300.000 Moriscos diusir dari Spanyol oleh Raja Philip III. Benar-benar sebuah kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan.
Dari Spanyol mari kita pindah ke cuilan bumi yang lain, tepatnya ke Turky daerah dimana kekhalifaan Ottoman berpusat. Setelah mendengar penyiksaan yang dilakukan penguasa Spanyol terhadap kaum muslimin, Sultan Salim I murka besar, ia mengeluarkan dekrit yang berisi perintah kepada seluruh penganut Yahudi dan Nasrani yang berada dibawah kekuasaannya untuk menentukan satu dari dua opsi, tinggal menetap dengan catatan memeluk agama Islam atau pergi meninggalkan Tanah kekhalifaan. Mendengar dekrit tersebut, Syaikh Ali Afandi At- Tirnabily selaku Mufti Ottoman ketika itu memberikan penolakannya terhadap dekrit Sultan. Mufti menjelaskan bahwa dekrit tersebut dilarang dilaksanan sekalipun kaum muslimin disembelih di negeri-negeri Salib. Mufti juga menjelaskan bahwa selamanya tidak ada paksaan dalam beragama.
Akhirnya Sultan Salim menarik keputusannya dan membiarkan penganut Yahudi dan Nashrani tinggal dengan kondusif dan hening dibawah pemerintahannya. Iya, mereka semua tinggal dengan kondusif dan hening disaat pemerintah Spanyol menyembelih ratusan ribu kaum muslimin di negaranya.
Allahu akbar.. Betapa agungnya islam..
Batapa agungnya Peradaban Islam…
Sikap Sultan Salim yang tunduk pada rambu-rambu keislaman sudah cukup sebagai balasan bahwa islam bukan teroris, namun sebagai rahmatan lil alamin. Bimana bila Islam berkuasa, ia akan menjadi pengayom bagi semua.
Andai Islam intoleran menyerupai yang mereka tuduhkan, tentu tidak akan satu orang Yahudi atau satu orang Katolik pun yang tersisa di tanah Andalus, Turky, Mesir, Lebanon, Jordan dan sejumlah negara lainnya ketika Islam berkuasa disana.
Inilah ISLAM, pemikiran yg Rahmatan Lil 'Alamin.
Sumber bacaan:
1. Tarikh Al-Muslimiin Fi Al-Andalus. DR. Muhammad Suhail Thaqus. Penerbit: Daar A-Nafais
2. Udzama’ Al Mi’ah. Jihad At-Turbany. Penerbit: Daar At-Taqwa
3.muslimina.blogspot.co.id