Friday, 7 February 2020

Setahun Syekh Buthi: Resensi Kitab Hadza Walidi (Bagian Iii)

Oleh; Rizky Syahputra, Lc.


Membina Keluarga Rabbani
Setelah membahas metode dakwah dan aneka macam rintangan yang pernah Mulla lalui dalam hijrahnya ke Damaskus (baca pada bab I dan II dari goresan pena ini) , selanjutnya Syeikh Ramadhan Al Buthi menceritakan ihwal sosok rabbani Mulla dalam memimpin keluarganya.

Dalam prinsip Mulla, keluarga mempunyai tugas nomor satu dalam mendidik anak. Kedua orangtua yakni orang pertama yang bertanggung jawab terhadap hal ini. Orang bau tanah berkewajiban men-talqin anaknya kalimat jalalah, syahadat, memperkenalkan mereka kepada sang khalik, dan hakikat ubudiyah seorang hamba kepadanya. Serta mengajari mereka untuk menyayangi Rasulullah Saw. Inilah dasar-dasar tarbiyah yang dipraktekkan Mulla dalam mendidik Syekh Buthi dan saudara-saudaranya.

Sisi tarbiyah Mulla yang lain dari yang lain, ia selalu mengajak keluarganya untuk mengingat Allah Swt. dimanapun dan kapanpun, tak terkecuali di meja makan.

Syeikh Buthi mengkisahkan, “Ketika Kami makan bersama, ayah selalu memerintahkan kami untuk duduk beradab. Lalu sambil menunjuk masakan ayahku berkata, “Lihatlah warna-warna masakan ini, masing-masing mempunyai warna berbeda dengan lainnya, tidakkkah kalian bertanya apa yang telah kita lakukan untuk Allah? Atau siapa kita? Apa harganya kita bagi Allah sehingga Ia memperlihatkan semua ini kepada kita?”Lalu ia berkata  “Kemudian kau benar-benar akan ditanya pada hari itu ihwal kenikmatan (yang glamor didunia itu).(At Takatsur: 8)

Mulla sangat menyadari akan pentingnya Ilmu, oleh alasannya yakni itu ketika Syekh Bhouthi menginjak umur 6 tahun,  Mulla menyerahkannya kepada seorang muallimah yang mengajar belum dewasa untuk membaca Al Quran. Dalam waktu 6 bulan Syekh Bhouthi telah mengkhatamkan Al Quran. Lalu ia melanjutkan pendidikan di sekolah Dasar di Zuqaq Al Qarmani. Sedangkan satu-satunya guru ia diluar sekolah pada dikala itu yakni ayahnya sendiri, Mulla Ramadhan. 

Mulla mengajarinya dasar-dasar iktikad Islam dan sirah nabawiyah melalui kitab Dzakirat Al Labib fi As Sirat Al Habib. Tak ketinggalan juga ilmu-ilmu alat ibarat Nahwu dan Saraf. Setiap hari Mulla mengajari lima hingga enam bait dari kitab Alfiah. Hasilnya Syekh Bhouthi bisa menghafal Alfiah dalam waktu kurang dari setahun sedang ketika itu ia belum mencapai baligh. 

Kemudian Syekh Buthi melanjutkan pendidikannya ke Ma’had Taujih Al-islami yang diasuh oleh Syekh Hasan Al Habannakah Al Maidani.

Suatu ketika, dalam perjalanannya mengantar Syeikh Buthi ke Makhad, Mulla berkata

“Ketahuilah wahai anakku! Seandainya jalan menuju Allah yakni dengan menyapu sampah di jalanan, sungguh akan saya jadikan engkau sebagai keranjangnya. Akan tetapi saya melihat bahwa jalan menuju Allah yakni melalui Ilmu. Karena itulah saya menempatkanmu di jalan ini.

Mulla sama sekali tidak menganggap bahwa ilmu hanya sekedar untuk dihafal. Namun baginya ilmu haruslah bisa menimbulkan rasa cinta, aib dan takut kepada Allah. Mulla tidak terlalu peduli akan prestasi yang diperoleh Syekh Bhouthi anaknya.  Karena gotong royong ilmu itu hanya mediator menuju Allah, bukan tujuan.

Pernikahan Syekh Said Ramadhan Al-bhouthi
Ketika Syekh Bhouthi berumur 18 tahun Mulla Ramadhan memaksanya untuk menikah. Mulla kokoh berpegang dengan hadis riwayat Abu said al-khudri bahwa  Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang memperoleh seorang anak maka hendaknya ia memberinya nama yang baik dan mengajarinya adab. Jika ia sudah baligh maka nikahkanlah ia, namun jikalau si anak sudah baligh dan tidak dinikahkan kemudian ia berbuat maksiat maka dosanya ditimpakan kepada ayahnya”.(HR. Baihaqi)

Dalam kitab ini Syekh Bhouthi berkata, “Ketika saya ditawari untuk menikah, saya sangat terkejut. Karena saya sama sekali tidak memikirkannya dan saya juga belum bersiap-siap. Aku pun memohon maaf kepada ia dan saya meyakinkan ia bahwa saya belum siap menikah. Akan tetapi Ayahku justru memaksaku dan membacakan beberapa halaman dari kitab Ihya Ulumuddin ihwal pentingnya ijab kabul serta kelebihannya. Lalu saya berfikir bahwa jikalau saya terus menolak sedangkan Ayahku terus memaksa, saya akan terkurung dalam rasa tidak tahu terima kasih, maka saya pun mendapatkan permintaannya tersebut. 

Lalu Mulla melamar salah seorang saudara kandung istrinya yang lebih bau tanah dariku beberapa tahun. Saat itu Ayahku sedang dalam kondisi susah, jumlah uang untuk melakukan ijab kabul belum cukup. Beliau kemudian menjual beberapa buku kesayangan di perputakaannya untuk memenuhi kebutuhan pernikahanku. Akhirnya akupun menikah.


Pernikahannya betul-betul mendatangkan banyak kebaikan dan keberkahan, serta menjadi pengawal kokoh bagi imannya.


Ada satu hal yang menciptakan Syeikh Ramadhan Buthi begitu gembira, sekaligus yang membuatnya berterima kasih kepada ayahnya. Yaitu ketika suatu subuh, sesudah pulang dari mesjid ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan, “ Kamu masih tidur! Seharusnya kedatangan “mereka” harus engkau bayar dengan sujud bersyukur sepanjang malam.”

Lalu saya pun berdiri kemudian bertanya siapa mereka yang dimaksud olehnya?
Beliau menjawab: “Aku melihat dalam mimpi Rasulullah Saw tiba bersama beberapa orang lelaki, Aku tahu mereka yakni sahabat Beliau Saw.”
Lalu Rasulullah berkata: “Aku tiba untuk mengucapkan selamat kepada Said atas pernikahannya”. Ini yakni info besar hati pertama yang membahagiakanku.

Bersambung…

Baca juga bagian I dan bagian II
banner
Previous Post
Next Post