Saturday 7 March 2020

Hukum Melafadzkan Niat Dalam Shalat

Melafalkan Niyat


Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Sebagian orang menyampaikan bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, alasannya ialah kawasan niat di dalam hati. Apakah kalau seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya sia-sia?

Makna niat ialah sengaja melaksanakan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.

Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, alasannya ialah melafalkan niat itu pengecap membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah kalau memenuhi syarat, diantaranya ialah khusyu’ dan ikhlas.

Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).

Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.

Kesimpulannya bahwa kawasan niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan berdasarkan Mazhab Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.

Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat, dia meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam problem ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, dia mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin terpengaruhi dengan pendapat Imam Syafi’i perihal shalat, bahwa shalat itu tidak sama ibarat puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud ialah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu ialah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.

Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain mempunyai pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak sanggup diterima, apalagi hingga mengatakannya sebagai bid’ahdhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, ibarat dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
banner
Previous Post
Next Post