Saturday 7 March 2020

In Memoriam: Saya Dan Duktur Abdurrahman (1)

Catatan untuk warga New elmarg

Kenangan Ketika Walimahtul Ursy, Putra duktur di Medan Tahrir  

“Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein kolam rinyeun”. (Fb : IjubKhan Tripa)

Foto sehabis khutbah
Ied tahun lalu 
Menit pertama sehabis diberitahukan bahwa duktur (panggilan kami terhadap ayahanda Dr. Abdurrahman Uwais) telah berpulang ke rahmatullah, yang kurasakan yaitu laju bumi ini sedikit melambat. Dan rongga dada menyerupai disesaki raungan dan auman kesedihan.

Bola mata menyerupai akan basah, namun tetap harus kutahan. Teman-teman disampingku tau kalau gosip ini sangat membuatku terpukul. Mereka tidak banyak bertanya, hanya mendengarkan kalimat perkalimat saja. Setelah itu kami kembali terdiam.

Sesaat saya tersenyum, beristhigfar dalam hati ,mencoba biar rasa sesak bertahap hilang. “beliau pantas mendapatkannya, ia pantas menerima pahala syahid, menuju pangkuan tuhan rabbi”.

Ayah rohani

Beliau itu, ayah rohani kami. Ayah yang selalu mengisi hati dengan mutiara suci, mengasah pengecap kami dengan zikir dan menutup ekspresi kami dikala dunia dan seisinya saling menghujat serta mengkafirkan. Jikalau ada yang bertanya kepadaku kenapa penghuni rumah kami sangat berhati-hati menulis tetang konflik mesir, sepi hujatan-hujatan keji dan pengkafiran yaitu alasannya ia selalu menasehati kami untuk menjaga pengecap dari keburukan dunia akhirat.

Beliau itu hebat ibadah, hafiz dan alhi tafsir. Bacaan disetiap shalat fardhu satu rubu dan setiap tarawih atau witir satu juz dengan bacaan ia pun sangat lambat demi menjaga tajwid dan harakah biar tidak salah. Sangat sedikit jamaah di mesjid kami, hanya beberapa orang saja yang menjadi jamaah wajib.
Almarhum sangat zuhud, sederhana dan bersahaja. Aku tidak pernah meilihat ia berpergian dengan kendaraan beroda empat pribadi. Sepertinya ia tidak punya mobil. Yang terparkir didepan rumah hanya kendaraan beroda empat tetangga yang menyewa flat beliau. Berpergian untuk mengajar di Universitas Al-Azhar saja ia tempuh dengan Metro (kereta api listrik). Tidak ada bedanya dengan kami yang mahasiswa.

Aku hidup bersamanya dalam tiga huru-hara, mulai dari masa Mubarak, Dr. Mursi dan As-Sisi. Namun yang kurasa yaitu perilaku dan kepribadian “mengajak kepada kebaikan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” ia tetap tidak selangkahpun goyah. Beliau itu sudah berkali-kali keluar masuk penjara, namun Allah Swt. Selalu menyelamatkannya sampai maut menjemput menemui rabb-Nya kemarin di medan rab’ah.

Beliau tidak pernah memberiku izin untuk mencium tangannya ketika kami bersalaman disetiap selesai shalat lima waktu, sampai subuh kedua hari raya kemarin, Ia memberikanku hadiah Istimewa yaitu mencium tangannya sambil dengan wajah tersenyum melihatku. Sebelumnya subuh 29 Ramadhan ia mengajak kami (via kawan) untuk Shalat Ied di Medan Rab’ah. Namun mitra kami (fitra) menolaknya dengan halus alasannya kondisi memang betul-betul tidak memungkinkan.

Terus membekas

Duktur, kenangan ini tidak sanggup kuhapus, air mata tidak sanggup kubendung. Sungguh saya juga tidak sanggup menjadi langsung sepertimu. Namun saya akan terus menjaga pesan, kesan dan pelajaran berhargamu sebagai bekalan kehidupan dunia dan akhirat. Aku bukan seorang hafiz sepertinmu, penyabar yang ketika ditangkap dan diborgol hanya tersenyum bagus sambil mengucabkan ‘hasbunallah wa ni’mal wakil’. Tapi diketika berkhutbah suaramu membesar meneriaki kezaliman, layaknya singa yang siap menerkam mangsanya.

Sungguh air mataku berderai ketika membaca komentar “Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein kolam rinyeun”. Tak kuasa saya menahan tangis. Aku yakin, Allah melahirkan Abdurrahman-abdurrahman yang lain untuk menyambung risalahmu.

Aku tidak bersedih atas kepulanganmu kehadhirat tuhan rabbi alasannya itu janji-Nya, namun akan sangat menyakitkan bagiku kalau tidak sanggup mencium keningmu untuk terakhir kali.

**Hanya kepada Allah saja impian ini kusandarkan.

  •  Qatamea, 15 Agustus 2013.
Oleh: Muhibbussabri Hamid (mahasiswa Aceh yang tinggal di rumah sewaan milik almarhum)

banner
Previous Post
Next Post