Friday 15 November 2019

Profil Singkat Syekh Muda Waly Al-Khalidy, Ulama Pembaharu Pesantren Di Aceh (2)

Oleh: Tgk. Rahmat Zul Azmi.
play.google.com 


Pulang ke Aceh.

Setelah dia berjuang menuntut ilmu agama selama bertahun-tahun, mencicipi asam-garam kehidupan. Pada balasannya dia merasa sudah saatnya pulang ke kampung halaman, membuatkan agama Allah Swt. di tanah kelahiran. Sekitar tahun 1939 dia kembali ke Aceh Selatan disambut dengan perasaan besar hati orang renta dia dan masyarakat. Setelah beberapa usang berada di desanya, dia bertekad untuk membangun sebuah pesantren, yang balasannya dikenal dengan nama pesantren Darussalam.

Dalam masa-masa awal meletakkan pondasi membuatkan pesantren itulah orang-orang terhormat dari keturunan aristokrat di Kecamatan Labuhan Haji mengajukan tawaran kepada dia untuk dijadikan sebagai menantu mereka. Tengku Muda Waly tidak keberatan demi kepentingan agama, apalagi istri-istri dia yang lain dan keluarga masih berada di Padang.

Setelah dia menikah lagi dengan seorang perempuan berjulukan Raudhatun Nur. Maka dia mulai mendirikan lagi sebuah pesantren di Ibu Kota Kecamatan.

Di pesantren yang dia bangkit menyerupai yang telah disebutkan di atas, dia mengajar dan menghadapi masyarakat Islam yang ingin menimba ilmu pengetahuan agama darinya. Pada setiap bulan suci bulan pahala mulai sepuluh hari sebelum sebelum bulan pahala hingga hari raya Idul Fitri, Tengku Muda Waly mengadakan Khalwah bagi umat islam yang berminat. Berkhalwah dalam mengamalkan dzikrullah dan shalat berjama’ah selama 40 hari 40 malam. Oleh alasannya dalam berkhalwah itu merupakan perjalanan lahir dan batin, maka khalwah itupun disebut dengan suluk.

Adapun dalam pendidikan aneka macam disiplin ilmu pengetahuan agama ialah sama menyerupai kebanyakan pesantren yang berkembang di Indonesia. Hanya saja tempat Aceh dia telah membawa kemajuan pertama kali untuk dunia pendidikan pesantren Aceh, yaitu dengan membawa disiplin ilmu yang gres di kalangan pesantren di Aceh, menyerupai ilmu balaghah, ma’ani, bayan, badi’, ushul fiqh, musthalah hadis, ulumul qur’an, mantiq, ‘arudh, tasawwuf, dan lain sebagainya. Dan semuanya diajarkan secara sistematis dari kitab yang paling gampang hingga kitab yang paling tinggi tingkat kesukarannya.

Tengku Muda Waly juga melaksanakan reformasi sistem kepesantrenan, dimana dia telah membaginya menjadi kepada dua bagian, yaitu sistem qadim dan sistem madrasah. Sistem qadim ialah sistem tradisional yang memfokuskan pada pengajian kitab tertentu hingga tamat. Sistem madrasah pula sanggup disebut dengan sistem kuliah pada jaman kini ini. pada sistem ini pembelajannya bukan lagi di masjid, surau, dan dayah, tapi sudah mempunyai teladan dan gedung khusus untuk itu. Sistem ini tidak perlu menamatkan kitab, tetapi harus banyak diskusi dari guru yang mengajar.

Kesungguhan dia dalam mengajar memang sungguh luar biasa, dimana hampir keseluruhan waktu dia selain dari ibadah ialah penuh terisi untuk mengajar. Diceritakan, bahwa ketika dia sudah mulai sakit-sakitan, dia bersikeras untuk tetap mengajar. Mengingat akan kondisi kesehatan dia yang demikian, maka murid-muridnya yang senior setuju untuk tidak mendebat atau bertanya terlalu mendalam. Namun, tidak disangka hal ini malah menciptakan dia marah. Rupanya pertanyaan dan debat ialah obat yang paling mujarab bagi beliau.


PUSA dan Jaman Jepang.

PUSA (Perserikatan Ulama Seluruh Aceh) didirikan pada tahun 1939, sebagai hasil dari muktamar ulama-ulama Aceh di Glumpang Dua, Aceh Utara. Para ulama PUSA lebih dikenal dengan sebutan “kaum muda”, sedangkan ulama non-PUSA disebut “kaum tua”. Diantara para ulama yang merupakan pucuk pimpinan PUSA ialah Tengku Daud Beureueh, Tengku Abdurrahman Meunasah Meucap, Tengku Abdul Wahab Seulimum, dan lain-lainnya. Sedangkan Tengku Muda Waly dan Tengku Hasan Krueng Kale merupakan diantara ulama yang termasuk dalam ketegori “kaum tua” atau non-PUSA.

Perbedaan utama antara kaum renta dan kaum muda ialah dari segi politik, dimana kaum renta lebih memfokuskan pada segi pendidikan, bagaimana membentuk para santri menjadi ulama. Sedangkan kaum muda terjun eksklusif dalam dunia perpolitikan. Inilah di antara faktor yang menjadi jurang pemisah diantara ulama PUSA dan non-PUSA, ditambah lagi dengan perbedaan cara pandang antar kedua kubu itu. 

Sungguh pun demikian, dalam menghadapi kaum penjajah baik itu kolonial Belanda ataupun Jepang, semua ulama Aceh pada dikala itu berusaha menanggalkan baju PUSA atau non-PUSA, dan gotong royong menyusun barisan mengobarkan semangat jihad untuk menangkis serangan penjajah.

Maka para ulama Aceh pada waktu itu, termasuk Tengku Hasan Krueng Kale dan Tengku Muda Waly telah mengeluarkan pedoman jihad fi sabilillah, membentuk laskar-laskar hizbullah untuk melawan penjajah.

Peristiwa berdarah di Aceh.

Pada tanggal 21 September 1953 telah meletus di Aceh insiden berdarah, berdasarkan sebutan rakyat Aceh atau pemberontakan Daud Beureueh, berdasarkan sebutan pemerintah Indonesia.

Tengku Muda Waly dan beberapa orang ulama Aceh pada waktu itu termasuk Tengku Hasan Krueng Kale berlainan ijtihad dengan Tengku Daud Beureueh, sehingga mereka tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh Daud Beureueh dan pengikutnya. Tanpa perlu mengubah fakta sejarah, kita harus memahami bahwa perbedaan pendapat dikalangan para ulama ialah kasus biasa, maka hendaklah kita tetap menghormati dan memuliakan mereka, menempatkan mereka di posisi yang sesuai dengan kesucian dan keluhuran niat mereka semua.

Wafat dan Wasiat.

Pada hari Selasa, tanggal 11 Syawal 1381 Hijriah, atau bertepatan dengan 20 Maret 1961, pada jam 15.30 WIB., bumi Aceh kehilangan seorang tokoh besar, sekaligus ulama pembawa nafas pembaharuan sistem pendidikan pesantren. Tengku Muda Waly berpulang ke rahmatullah, dishalatkan oleh para ulama dan murid-murid dia yang sangat mencintainya.

Setelah bertahun-tahun menjadi sumber rujukan umat, dia kembali ke hadirat tuhannya meninggalkan jasa-jasa yang akan terus dikenang oleh masyarakat Aceh, terutama kalangan ulama dan santri. Pondok pesantren Darussalam yang dia dirikan dengan perjuangan keras berhasil menelurkan ulama-ulama kenamaan. Bahkan kini kenyataannya sanggup kita lihat bahwa hampir semua pesantren-pesantren di Aceh tidak terlepas kepemimpinannya dari alumni pondok pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan.

Diantara wasiat-wasiat beliah adalah:

1. Kita harus sungguh-sungguh dalam memperjuangkan agama Islam, berpegang kepada keyakinan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (Asya'irah dan Maturidiyah), mempertahankan mazhab yang empat terutama mazhab Syafi’i.

2. Mempelajari ilmu syariat hendaklah disertai dengan mendalami ilmu tasawwuf.

3. Sewaktu anaknya Tengku Muhibbuddin Waly ke Mesir, dia mengingatkan anaknya itu biar jangan lupa membawa 3 buah kitab; I’anah At-Thalibin, Ihya’ Ulumuddin, dan Al-Hikam.

Demikianlah sejarah ringkas perjalanan kehidupan Tengku Muda Waly sebagaimana yang dinarasikan oleh Tgk. Muhibbuddin Muda Waly, anak dia yang juga seorang ulama besar Aceh yang meraih gelar doktor dari Universitas Al-Azhar dalam bukunya yang berjudul “Ayah Kami".

Tgk. Rahmat Zul Azmi; Mahasiswa S2 Fak. Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar.



Lihat juga:

banner
Previous Post
Next Post