Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Ulama rahimahumullah telah menjelaskan bahwa seseorang yang memahami ucapan dalam shalat akan mendapat mutiara faidah ihwal nama dan sifat Allah di dalam shalatnya. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,
وها هنا عجيبة من عجائب الاسماء والصفات تحصل لمن تفقه قلبه في معاني القرآن وخالط بشاشة الإيمان بها قلبه بحيث يرى لكل اسم وصفة موضعا من صلاته ومحلا منها
“Di sinilah suatu keajaiban di antara keajaiban-keajaiban nama dan sifat Allah didapatkan, bagi orang yang hatinya memahami makna-makna Al-Qur’an dan cemerlangnya iktikad menyentuh hatinya, sehingga ia menemukan bahwa bagi setiap nama dan sifat Allah terdapat kawasan penghayatan tersendiri di dalam shalatnya” (Hukmush Shalah wa hukmu Tarikiha, hal. 171).
Memang benar apa yang dikatakan Ibnul Qoyyim rahimahullah, mari kita ambil pola beberapa bacaan Istiftah untuk kita renungi bersama makna yang terkandung di dalamnya,
Pertama
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Maha Suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan Engkau dengan memuji-Mu, Nama-Mu penuh berkah, Maha Tinggi Keagungan-Mu. Dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Mu” (HR.Abu Daud dan Al-Hakim dan dia mensahihkannya serta disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Kedudukan Ubudiyyah lafadz Istiftah ini
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
عبودية الاستفتاح
فإذا قال سبحانك اللهم و بحمدك و أثنى على الله تعالى بما هو أهله ، فقد خرج بذلك عن الغفلة و أهلها ، فإن الغفلة حجاب بينه و بين الله. و أتى بالتحية و الثناء الذي يُخاطب به الملك عند الدخول عليه تعظيما له و تمهيدا ، و كان ذلك تمجيدا و مقدمة بين يدي حاجته. فكان في الثناء من آداب العبودية ، و تعظيم المعبود ما يستجلب به إقباله عليه ، و رضاه عنه ، و إسعافه بفضله حوائجه
Ibadah yang terdapat dalam Istiftah
“Jika seseorang yang mengerjakan shalat mengucapkan, Subhanakallahumma wa bihamdika(Maha suci Engkau, ya Allah. Kusucikan Engkau dengan memuji-Mu) dan ia memuji Allah Ta’ala dengan kebanggaan yang layak bagi-Nya, maka dengan itu, ia akan keluar dari kelalaian dan pelakunya, lantaran kelalaian ialah penghalang antara dia dengan Allah. Dan ia mempersembahkan suatu penghormatan dan kebanggaan yang ditujukan kepada Raja ketika masuk menemuinya sebagai bentuk pemuliaan dan pendahuluan, maka hal itu benar-benar menjadi bentuk pengagungan-Nya dan sekaligus sebagai pengantar dalam memberikan hajatnya. Dengan demikian, sebetulnya di dalam kebanggaan terdapat suatu moral peribadatan dan pengagungan terhadap Sesembahan yang hak (Allah), yang mengundang sambutan-Nya dan ridha-Nya terhadapnya serta pemenuhan hajatnya dengan karunia-Nya” (Asrarush Shalah, hal. 10).
Dalam Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bentuk penghayatan yang selayaknya ada dalam hati seorang hamba ketika mengucapkan lafadz Istiftiftah,
فإنه إذا انتصب قائما بين يدي الرب تبارك وتعالى شاهد بقلبه قيوميته وإذا قال الله اكبر شاهد كبرياءه وإذا قال سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك شاهد بقلبه ربا منزها عن كل عيب سالما من كل نقص محمودا بكل حمد فحمده يتضمن وصفه بكل كمال.
“Jika seorang hamba berdiri tegak di hadapan Allah Ta’ala, ia menyaksikan dengan hatinya (menghayati) Kemahamandirian-Nya. Jika ia mengucapkan Allahu Akbar, maka ia menghayati Kesombongan (Kemahabesaran)-Nya. Jika ia mengucapkan subhanakallahumma wa bihamdika Tabaarakasmuka wa Ta’ala Jadduka, wa la ilaha ghairuka, maka ia pun menyasksikan dengan hatinya (menghayati) Tuhan yang disucikan dari seluruh aib, senantiasa selamat dari seluruh kekurangsempurnaan, terpuji dengan segala pujian. Pujian terhadap-Nya tersebut mengandung pensifatan bagi-Nya dengan setiap sifat-sifat sempurna” (Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim, hal. 171-172).
Kesimpulan:
Lafadz Istiftah ini merupakan bentuk mengagungkan Allah dan sekaligus sebagai pengantar dalam memberikan hajat seorang hamba yang sedang menunaikan shalat.
Dalam lafadz Istiftah ini terdapat bentuk mensucikan Allah, memuji-Nya dan mensifati-Nya dengan seluruh sifat-sifat yang tepat bagi-Nya.
Adapun ihwal klarifikasi kandungan lafadz Istiftah ini, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya dengan indah kalimat per kalimat,
«سبحانك اللهم وبحمدك» وهذه جملة تتضمَّن التنزيه والإِثبات. تتضمَّن التنزيه في قوله: «سبحانك اللَّهُمَّ»، والإِثبات في قوله: «وبحمدِك» لأنَّ الحمدَ هو وَصْفُ المحمودِ بالكمالِ مع محبَّتِه وتعظيمِه، فتكون هاتان الجملتان جامعتين للتنزيه والإِثبات.
“Subhanakallahumma wa bihamdika, kalimat ini mengandung pensucian dan penetapan; mengandung pensucian dalam ucapannya subhanakallahumma (Maha suci Engkau, ya Allah)”, dan mengandung penetapan dalam ucapannya wa bihamdika (dengan memuji-Mu), karena alhamdu (pujian)” itu ialah mensifati Dzat yang dipuji lantaran kesempurnaan yang dimiliki-Nya, diiringi dengan kecintaan terhadap-Nya dan pengagungan-Nya, sehingga kedua kalimat ini merupakan kalimat yang menggabungkan antara pensucian dan penetapan.
Kesimpulannya:
Subhanakallahumma wa bihamdik kalimat ini mengandung pensucian dan penetapan:
- Mensucikan Allah dari segala malu dan kekurangan.
- Menetapkan seluruh kesempurnaan yang layak bagi Allah ‘azza wa jalla.
Selanjutnya, dia menjelaskan makna subhanakallahumma (Maha suci Engkau, ya Allah)
ومعناه: تنزيهاً لك يا ربِّ عن كُلِّ نَقْصٍ، والنَّقصُ إما أن يكون في الصِّفاتِ، أو في مماثلة المخلوقات، فصفاتُه التي يتَّصف بها منزَّه فيها عن كُلِّ نقص
“Maknanya Ku sucikan Engkau dari setiap kekurangan, ya Rabbi. Sedangkan kekurangan itu, meliputi kekurangan dalam sifat ataupun kekurangan dalam bentuk kesamaan dengan makhluk.”
Dari klarifikasi di atas, sanggup kita simpulkan bahwa Allah disucikan dari seluruh bentuk kekurangan.
- Allah disucikan dari kekurangan yang terkait dengan sifat. Dengan demikian seluruh sifat Allah sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun, ilmu Allah sempurna, hidup Allah sempurna, indera pendengaran Allah sempurna, tidak ada cacatnya sedikitpun dan demikian pula untuk sifat-sifat lainya. Termasuk dalam hal ini ialah Allah disucikan dari sifat-sifat malu murni, ibarat bodoh, lupa, zalim dan yang lainnya.
- Allah juga disucikan dari kekurangan yang terkait dengan kesamaan dengan makhluk, dengan demikian ilmu Allah tidak sama dengan ilmu makhluk, hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk dan begitu pula untuk sifat-sifat Allah yang lain, semua sifat-sifat Allah sesuai dengan keagungan-Nya.
Demikianlah klarifikasi lafadz subhanakallahumma (Maha suci Engkau, ya Allah), intinya Allah disucikan dari seluruh bentuk malu dan kekurangan, baik pensucian itu terkait dengan zat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, semuanya suci dari malu dan kekurangan.
Selanjutnya, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna kalimat sesudahnya,
أما «الحمد» فهو: وصفُ المحمود بالكمال، الكمال الذَّاتي والفعلي، فالله سبحانه وتعالى كاملٌ في ذاته، ومِن لازمِ كمالِه في ذاتِه أن يكون كاملاً في صفاته. كذلك في فِعْلِه، فَفِعْلُه دائرٌ بين العدل والإِحسان؛ لا يمكن أن يظلم، بل إما أن يعامل عبادَه بالعدلِ، وإما أن يعاملَهم بالإِحسان
“Adapun alhamdu yaitu mensifati Dzat yang dipuji lantaran kesempurnaan yang dimiliki-Nya, baik kesempurnaan dzat maupun sifat-Nya. Makara Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Sempurna pada dzat-Nya. Di antara konsekuensi kesempurnaan Allah pada dzat-Nya ialah Allah Maha Sempurna (pula) pada sifat-Nya. Demikian pula pada perbuatan-Nya. Oleh alasannya ialah itu, perbuatan-Nya berkisar antar keadilan dan kebaikan. Mustahil Allah berbuat zalim, bahkan yang ada ialah Dia memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan adil atau memperlakukan mereka dengan ihsan (kebaikan dari-Nya).”
Kesimpulannya:
- Allah Ta’ala dipuji lantaran kesempurnaan-Nya.
- Kesempurnaan Allah meliputi kesempurnaan dzat, sifat maupun perbuatan-Nya.
- Seluruh perbuatan Allah atas hamba-Nya ada dua kemungkinan, sebagai bentuk keadilan-Nya atau sebagai bentuk kebaikan Allah bagi hamba-Nya.
Adapun ucapan “Wa Tabarakasmuka (Nama-Mu penuh berkah)” dijelaskan oleh beliau rahimahullah
«اسم» هنا مفرد، لكنه مضاف فيشمل كُلَّ اسمٍ مِن أسماءِ الله
“Ism (nama)” disini ialah kata tunggal yang disandarkan, maka maknanya meliputi setiap nama Allah.”
Dengan demikian, Tabarakasmuka (Nama-Mu penuh berkah) mengandung makna bahwa seluruh nama itu penuh berkah. Di antara bentuk keberkahan nama Allah -sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah- adalah ketika disebutkan nama Allah ketika menyembelih, maka menjadi halal sembelihan tersebut, namun bila tidak disebutkan, maka sembelihan itu menjadi haram!
Jika disebutkan nama Allah pada ketika makan, maka setan tidak ikut serta, namun bila tidak disebutkan, maka setan akan ikut serta, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk keberkahan nama Allah.
Selanjutnya dia mengatakan,
قوله: «وتعالى جدُّك» «تعالى» أي: ارتفعَ ارتفاعاً معنوياً، والجَدُّ: بمعنى العظمة، يعني: أنَّ عظمتَك عظمة عظيمة عالية؛ لا يساميها أي عظمة مِن عظمة البشر، بل مِن عظمة المخلوقين كلهم.
“Ucapannya Wa Ta’ala Jadduka, Ta’ala yaitu tinggi dengan ketinggian maknawi.Al-Jaddu bermakna keagungan, maksudnya keagungan-Mu sangat besar, keagungan yang tinggi, tidak ada satupun dari kebesaran insan yang sanggup menandinginya, bahkan bila dibandingkan dengan seluruh kebesaran makhluk sekalipun (tidak ada satupun yang sanggup menandinginya).”
Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin ketika menjelaskan kalimat terakhir dalam lafadz Istiftah ini, yaitu Wa La ilaha ghairuka menjelaskan bahwa ini ialah kalimat Tauhid, inti dakwah para Rasul shallallahu ‘alaihim wa sallam. Lalu dia berkata,
فمقتضى هذه الكلمةِ العظيمةِ الاستسلامُ لله تعالى ظاهراً وباطناً، فأنت إذا قلتها تخبر خبراً تنطِقُه بلسانك، وتعتقدُه بجَنَانك بأنَّ اللَّهَ هو المعبودُ حقًّا، وما سواه فهو باطل
“Konsekuensi kalimat yang agung ini ialah pasrah kepada Allah Ta’ala secara lahir maupun batin, maka bila engkau mengucapkan (kalimat ini), (maka hakekatnya) engkau mengucapkan dengan lisanmu dan meyakini dengan hatimu bahwa Allah lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah, adapun selain-Nya ialah sesembahan yang batil.”
Adapun belakang layar disebutkannya kalimat Tauhid Wa La ilaha ghairuka setelah kalimat pujian subhanakallahumma wa bihamdika wa Tabaarakasmuka wa Ta’ala Jadduka adalah sebagaimana dijelaskan oleh dia bahwa semoga pengesaan Allah dalam peribadatan terbangun atas kesempurnaan-Nya, maksudnya lantaran kesempurnaan sifat Allah lah, maka tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.
-bersambung
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id