Saturday, 11 January 2020

Hidayah Untuk Rosita (Bagian Dua)

Based on true story
Oleh: Ibnu Hafif al-Irsyadi
Google Image

Benar dugaannya, sehabis bertemu Qosim keberaniannya semakin bertambah. Ia ibarat tertantang untuk pertanda bahwa kitabnya itu benar. Dari klarifikasi singkat Qosim tadi, ia merasa Qosim hanya ingin menyatakan bahwa kitab merekalah yang benar. Atau ia memang berkata sejujurnya, wacana alasan pelarangan ini. Apa yang bahu-membahu terjadi?

Rosita kembali melaksanakan acara yang sudah menjadi kebiasaannya dalam seminggu ini. Duduk di depan meja berguru sambil memandangi Al-Kitab. Kali ini bedanya tanpa adanya hujan yang menemaninya. Juga tanpa adanya rasa takut. Ia pribadi meraih kitab suci tersebut dan membuka halaman tengahnya, bukan halaman pertama ibarat yang sudah-sudah. Entah terinspirasi dari mana, ia hanya mengikuti kata hatinya. Setelah menarik nafas panjang matanya pribadi menuju halaman kanan kitab tersebut. Ia pribadi menangkap sebuah kalimat. Pada mulanya yaitu Firman:

"Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu yaitu Allah.
Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia."

Berkali-kali ia membaca kalimat tersebut. Dahinya merengut. Apa maksud kalimat ini? bagaimana dapat kalimat-kalimat ini bertentangan satu sama lain. Pasti ada maksud tertentu dari bait ini, pikirnya. Mungkin ini alasan kenapa Pendeta melarangnya, sebab belum tentu diksi bait tersebut akan dipahami gadis Sekolah Menengah Pertama sepertinya. 
 
Atau dapat jadi ini memang sebuah kesalahan, sehingga dihentikan untuk dibaca, biar kesalahan tersebut tidak terungkap. Seingat ia Pendeta Roland tidak pernah membaca bait ini saat ia dan mamanya pergi ke gereja. Karena belum begitu yakin, ia membuka halaman yang lain. Ia berharap mendapat pencerahan. Ia membuka kitab Kejadian ayat 30-38:
 
"Lot mabuk dan menghamili dua orang putri kandungnya sendiri, dan mempunyai anak hasil incest."

Ia terkejut, jikalau tidak salah ia pernah mendengar Pendeta Roland berkata dalam khotbahnya bahwa “Lot yaitu orang yang benar dan tidak mengenal hawa nafsu setan”. Rosita semakin bingung. Kenapa ada pertentangan ibarat ini. Ia mencoba kembali berpikir, namun nihil. Setelah sekian usang berkonsentrasi tanpa adanya kemajuan, karenanya ia menyimpulkan akan bertanya kepada yang lebih mengetahui. Hanya ada satu nama dibenaknya, orang yang akan ditanyainya perihal problem ini. Pendeta Roland.

***

“Baiklah, hingga disini dulu untuk hari ini. semoga dalam seminggu ini kita semua dilindungi oleh Tuhan Bapa. Dan jangan lupa iuran mingguannya,” Pendeta Roland menutup sembahyang mingguan di gereja katolik St.Thomas. Para jamaah keluar dengan hening sambil melapor pada suster bendahara gereja guna menuntaskan administrasi. Termasuk Rosita dan keluarganya.

“Ma, duluan pulang aja ya. Rosita ada perlu sebentar.” Mama dan Papa Rosita saling berpandangan dan dengan serentak menganggukkan kepala mengizinkan anaknya untuk menuntaskan keperluannya. Toh mereka sedang di dalam gereja, mana mungkin putri mereka melaksanakan yang tidak-tidak.

“Terima kasih Ma, Pa.” Rosita tersenyum dan berbalik sambil berlari kecil. Ia tidak mau kehilangan targetnya hari ini, Pendeta Roland. Banyak hal yang ingin ditanyakannya wacana Al-Kitab, juga wacana larangan membaca kitab tersebut.

“Pendeta Roland. Pendeta Roland,” Rosita memanggil sang Pendeta sambil ngos-ngosan. Betapa tidak, ia mesti naik ke lantai tiga melewati puluhan anak tangga demi mengejarnya.
“Iya saya.” Ujar Pendeta Roland sambil menoleh ke belakang. “Eh Rosita anak Bapak Martin, kau sudah terlihat besar sekarang. Sudah gadis.” Tentu saja Pendeta mengenali semua jamaahnya, toh jumlah mereka sangat sedikit. 
 
Rata-rata gereja katolik maupun protestan yang ada di Indonesia mempunyai daftar anggota yang terikat dengan aneka macam administrasi. Dan sudah menjadi peraturan umum bahwa mereka yang bukan anggota tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang mingguan.
Oleh sebab itu, setiap Pendeta lebih kurangnya kenal dengan setiap jamaahnya, terlebih hal tersebut juga menyangkut nama baik Pendeta. Karena Pendeta yang tidak mengenal jamaahnya ibarat penggembala yang tidak mengenal kambingnya, dapat jadi kambingnya hilang diambil penggembala lainnya.

“Ada apa anakku?” Pendeta Roland tersenyum sambil mengajak Rosita duduk di dingklik panjang yang tersedia di depan setiap ruangan.
“Aku ingin bertanya beberapa hal,” ucap Rosita sambil terus ngos-ngosan.
“Baiklah, tapi tenangkanlah dirimu dulu. Sebentar bapak ambilkan minum.” 
Tanpa meminta persetujuan Rosita, Pendeta itu bangun dan masuk ke ruangan terdekat dari kawasan mereka duduk dan lalu keluar dengan membawa secangkir air putih dingin. “Minumlah! Agar kau sedikit tenang.”
“Terima kasih,” Rosita menenggak air itu hingga habis dan lalu menarik nafas panjang.
“Sekarang, sudah agak hening kan?” Rosita mengangguk, “Ayo apa pertanyaannmu anakku?” Pendeta Roland kembali tersenyum.

“Ini wacana Al-Kitab Pendeta Roland. Ada beberapa hal yang bergelayutan di pikiranku. Beberapa hari ini saya sudah membaca…” belum sempat Rosita menghabiskan perkataannya,
“Apa? Kau membaca kitab itu sendiri! Tanpa ada yang membimbing. Maafkan saya Tuhan Yesus, lindungilah anak ini dari setan iblis terkutuk. Kau tahu setiap kalimat yang kau baca setan juga ikut membaca. Kau sudah dirasuki anakku.” Sang Pendeta sudah bangun dari kawasan duduknya. Ia meraung-raung, murka sambil menunjuk-nunjukkan telunjuknya ke arah Rosita.

“Sudah kukatakan jangan pernah sekali-kali membacanya dalam kesendirian. Kau akan tersesat.” Mata Pendeta Roland memerah, ia lebih terlihat kerasukan setan dibanding Rosita sebagaimana anggapannya.
“Tapi kenapa? Kenapa saya tidak boleh membacanya? Bukankah Al-Kitab yaitu ajaran kita, seharusnya kitab itu dibaca setiap hari biar dapat memandu kita ibarat kitab-kitab suci lainnya.” Rosita bahu-membahu takut, apalagi melihat murka sang Pendeta. Namun ia sudah terbiasa mencicipi hawa takut yang sedemikian rupa. Hal tersebut sudah cukup untuk melemparkan pertanyaan pamungkasnya.

“Siapa yang mengajarimu Rosita? Kau benar-benar sudah tersesat.”
“Aku berguru sendiri.” Rosita bangun dan pergi meninggalkan Pendeta tersebut tanpa menghiraukan panggilannya yang terkesan membentak. Ia telah menemukan jawabannya. Walaupun ia sadar Pendeta tersebut niscaya akan menghubungi orang tuanya, dan tentunya ia akan dihukum. Namun ia tidak takut.

Ia ibarat telah keluar dari sebuah ruangan gelap gulita tanpa cahaya dan sedang memasuki ruangan yang penuh cahaya, walaupun terasa agak sakit, sebab ia sudah terbiasa dengan gelap. Namun ia terus melangkah. Ia merasa telah menang melawan rasa takutnya selama ini. Ia siap menanggung setiap konsekuensinya.

Benarlah setibanya di rumah papanya pribadi menghardiknya dan menyita Al-Kitab kesayangan miliknya. Mamanya hanya dapat menangis melihat kelakuan papa dan juga penyimpangan yang dilakukan anak sulungnya. Untung Gea adik satu-satunya Rosita sedang pergi bermain sehingga tidak melihat insiden menakutkan ini.

Rosita dieksekusi selama dua hari tidak keluar rumah. Tetunya tanpa Al-Kitab di tangannya. Mamanya mengirimkan surat mohon izin sakit kepada wali kelasnya. Hal tersebut cukup untuk menutupi alibi Rosita yang sedang dihukum. Selama masa hukumannya Rosita lebih sering menangis, bukan sebab ia telah menyimpang dengan membaca kitab tersebut. Namun sebab mamanya sendiri tidak membelanya.

Mungkin juga sebab ia menyadari ada kesalahan dalam larangan membaca tersebut, serta marahnya Pendeta dan keluarganya. Selama dua hari ini yang paling dinantikannya yaitu pertemuannya dengan Qosim, ia ingin bertanya banyak hal. Tentang kitab suci, wacana agama-agama, dan juga wacana kebenaran. (Bersambung)
banner

Related Posts: