Wednesday 26 February 2020

Kekuasaan Dan Pemerintahan Di Kalangan Bangsa Arab

KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB

 KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB KEKUASAAN DAN PEMERINTAHAN DI KALANGAN BANGSA ARAB
Selagi kita hendak membicarakan persoalan kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus menciptakan miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, biar lebih gampang bagi kita untuk memahami kondisi yang tengah bergejolak dikala kemunculan Islam.
 
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak mempunyai independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang mempunyai kekuasaan dan hak-hak istimewa mirip kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka mempunyai independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang mempunyai mahkota ialah raja-raja Yaman, raja-raja daerah Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak mempunyai mahkota.
Raja-raja di Yaman
Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman ialah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat inovasi fosil Aur, yang hidup dua puluh kurun Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan efek kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.

Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka sanggup diperkirakan sebagai berikut :

Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka sanggup ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat maritim dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah. Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang mempunyai kiprah tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini mencakup daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini sanggup ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, alasannya kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya sanggup ditemukan di sebuah bukit yang memutar akrab Yarim. Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya ialah beberapa factor ; pertama, dikuasainya daerah utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan maritim sehabis sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria dan belahan utara daerah Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masingmasing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menimbulkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya insiden kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang menimbulkan mereka menjadi santapan kekuatan abnormal yang selalu mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas dukungan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu sanggup mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga menimbulkan banjir besar mirip yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah insiden besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Katolik dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia menciptakan parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, kemudian mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini aben dendam di hati orang-orang Katolik dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada maritim buat mereka sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath sehabis meminta restu raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih diktatorial dan sadis dari orangtuanya.
Setelah insiden "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta dukungan kepada orangorang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya sanggup mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang berjulukan Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga final buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun insiden tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari perihal rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".

Raja-raja di Hirah

Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang sanggup mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang sanggup menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang bisa mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah rajaraja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayahwilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman gres tersebut dan menentukan bermukim di wilayah teluk dari sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah semenjak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan alasannya mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa tidak mungkin sanggup menguasai Bangsa Arab secara eksklusif dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang mempunyai kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta dukungan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia sanggup menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, mirip apa yang dibuat oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia ialah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu alMundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk menentukan faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak seruan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons seruan kepada Mazdakisme tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia menentukan bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyisembunyi, an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang eksklusif menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud biar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. Tak berapa usang tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di akrab tempat yang berjulukan "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang menyampaikan bahwa hal itu terjadi tak berapa usang menjelang kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam alasannya dia lahir delapan bulan sehabis bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang berjulukan Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya ialah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan bulan alasannya kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.

Raja-raja di Syam

Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan aneka macam kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju daerah Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari
Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya ialah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahuntahun. Raja dari kalangan mereka yang paling populer ialah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan kurun 2 M hingga berakhirnya yaitu sehabis kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang sanggup mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas Bangsa Arab di Syam dengan sentra pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.

Emirat di Hijaz

Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra dia yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang menyampaikan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian gres Nabit. Sepeninggal keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru alJurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka karena jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak mempunyai fungsi apapun dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, kiprah politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya ialah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam insiden tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi sehabis tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah, kemudian dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak pria berjulukan Nizar.
Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk sehabis itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menimbulkan mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh manajemen Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga menciptakan mereka mempertimbangkan kembali perilaku terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azhZhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas dukungan keturunan Bani 'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi orang-orang Jurhum, karenanya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan kurun II M.
Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad kemudian mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana.

Untuk mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :

Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh kurun sebelum Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu kurun sedangkan masa kekuasaan mereka ialah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani sendiri urusan manajemen Mekkah tanpa menyertakan kiprah Bani Bakr, kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melaksanakan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut ialah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin melaksanakan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, dihentikan seorang pun lewat kecuali sehabis mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan binatang qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan. 
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum Adnan menyebar di daerah Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak mempunyai wewenang apa pun baik dalam pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia dikala dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang pria dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, kemudian ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah kemudian dia meminang putri Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah.

Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan alasannya terjadinya perang tersebut :

Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr alasannya suku Quraisy ialah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh mereka.
Bahwa Hulail, sebagaimana pengukuhan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai biar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, sehabis Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani kegiatan mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di akrab 'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ".
Karena pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil perilaku tidak menyerang sehabis itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan setuju untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur tetapkan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah.
Maka dari semenjak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan kurun V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy mempunyai kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.
Di antara langkah yang diambil oleh Qushai ialah memindahkan kaumnya dari rumahrumah mereka ke Mekkah dan memperlihatkan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta tetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf alasannya dia melihat sudah selayaknya dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya ialah didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapat tempat tersendiri dihati mereka karena sanggup mencetak kata setuju diantara mereka dan menuntaskan sengketa secara baik.

Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya ialah sebagai berikut :

Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk perihal masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan bawah umur wanita mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.
Qiyadah (wewenang memperlihatkan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah dihentikan dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.
Siqayah (wewenang menangani persoalan air bagi jemaah haji) ; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah haji yang tiba ke Mekkah bisa meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan kuliner khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap isu terkini haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli persediaan kuliner buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai bekal yang cukup.
Semua hal tersebut ialah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah mempunyai kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " saya akan menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun bahwasanya mereka telah menghormatimu". Kemudian Qushai berwasiat kepadanya biar dia memperhatikan wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, kemudian dia berikan kepadanya wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan sehabis matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya. Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan bawah umur paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah diserahkan kepada bawah umur 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian menentukan jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang mempunyai kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anakanaknya untuk kemudian sehabis dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.
Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas dikala ini ialah semacam semi negara demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada kini yaitu sistim dewan legislatif dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.

Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.

Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.

Al-Asynaq : peraturan dalam menangani perkara diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.

Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.

Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.

As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur ialah bahwa yang membawa panji ialah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.

Kekuasaan di seluruh negeri Arab

Di belahan muka telah kami singgung perihal kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapat kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut mempunyai para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah menyerupai pemerintah mini yang landasan berpijaknya ialah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya mirip posisi para raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi hening ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memperlihatkan pendapat kolam seorang diktator yang berpengaruh sehingga bila ada sebagian yang murka maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri kadang menciptakan mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan semata-mata biar mendapat kebanggaan dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap penyambung pengecap kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan juga, biar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.
Para pemuka dan pemimpin kabilah mempunyai hak istimewa sehingga mereka bisa mengambil belahan dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat belahan mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :
Bagimu belahan mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami
Yang dimaksud dengan mirba' ialah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi ialah belahan yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah ialah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum hingga tujuan. Sedangkan al-Fudhul ialah belahan sisa dari harta rampasan yang tidak sanggup dibagikan kepada individu-individu para pejuang mirip keledai, kuda dan lain-lain.

Kondisi Politik

Setelah.kami jelaskan perihal para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit citra perihal kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, mempunyai seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat menyerupai posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri karam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan dikala kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang bisa mengadu, bahkan mereka membisu tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilahkabilah yang berdampingan dengan daerah ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilahkabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar awut-awutan dan tercerai berai, masingmasing lebih menentukan untuk berselisih dalam persoalan suku, ras dan agama. Seorang dari mereka berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, kalau ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan kalau hingga ketujuan maka hingga pulalah aku
Mereka tidak lagi mempunyai seorang raja yang sanggup menyokong kemerdekaan mereka,
atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapat penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang bahwasanya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya, mempunyai instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak bisa memikul tanggungjawabnya sebagaimana dikala mereka menyerang orang-orang Habasyah dulu.
banner
Previous Post
Next Post