Thursday, 27 February 2020

Tentang Ikhtilaf Dan Mazhab

MASALAH KE-1: IKHTILAF DAN MADZHAB.

Makna Khilaf dan Ikhtilaf.

 Untuk mengetahui makna kata khilaf dan ikhtilaf TENTANG IKHTILAF DAN MAZHAB
Untuk mengetahui makna kata khilaf dan ikhtilaf, mari kita lihat penggunannya dalam bahasa Arab:
خلاف ما ذهب إليه الآخر 
خالعته مخالعة وخلافا
"Saya berbeda dengannya dalam suatu perbedaan"

وتخالف القوم واختلعوا إذا ذهب كل واحد إلى خلاف ما ذهب إليه الآخر
"Kaum itu telah ikhtilaf; kalau setiap orang pergi ke daerah yang berbeda dari daerah yang dituju orang lain."

Kaprikornus makna Khilaf dan Ikhtilaf adalah: adanya perbedaan.
Sebagian ulama beropini bahwa Khilaf dan Ikhtilaf mengandung makna yang sama. Namun ada juga ulama yang membedakan antara Khilaf dan Ikhtilaf,
الاختلاف لا الخلاف والعرق أن للأول دليلا لا الثاني 
Ikhtilaf: perbedaan dengan dalil. Khilaf: perbedaan tanpa dalil. Maka selalu kita mendengar orang mengatakan, “Ulama ikhtilaf dalam duduk kasus ini”,  atau ungkapan, “Ini yaitu duduk kasus Khilafiyyah”. Maksudnya, bahwa para ulama tidak satu pendapat dalam duduk kasus tersebut. 

Contoh Ikhtilaf Ulama Dalam Memahani Nash:

Allah Swt berfirman:
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu”. (QS. Al-Ma’idah: 5).

Hadits Riwayat Imam Muslim:
قال ابْن الْمُغِيرَةِ أنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ توَضَّأَ فَمَسَحَ بناصِيَتِهِ وَعَلىَ الْعِمَامَةِ وَعَلىَ الْخُعَّيْنِ
Ibnu al-Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu’, ia mengusap ubunubunnya, mengusap bab atas sorban dan bab atas kedua sepatu khufnya”. (HR. Muslim).

Hadits Riwayat Imam Abu Daud:
عن أنس بن مالك قال رأيت رسولالله صل الله عليه وسلم يتوضأ وعليه عمامة قطرية فأدخل يده من تحت العمامة فمسح مقدم رأسه ولم ينقض العمامة
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar. Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbannya, ia mengusap bab depan kepalanya, ia tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).

Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
ثم مسح رأسه بيديه فأقَبل بهما وأدبر بدأ بمقدم رأسه حتى ذهب بهما إلى قعاه ثم ردهما إلى الْمكان الذي بدأ منه
Kemudian Rasulullah Saw mengusap kepalanya. Rasulullah Saw (menjalankan kedua telapak) tangannya ke depan dan ke belakang, ia awali dari bab depan kepalanya, hingga kedua (telapak) tangannya ke tengkuknya, kemudian ia kembalikan lagi ke daerah semula. (HR. alBukhari dan Muslim).

Menyikapi ayat dan beberapa hadits ihwal mengusap kepala diatas, muncul beberapa pertanyaan: bagaimanakah cara mengusap kepala dikala berwudhu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang lembap ke bab atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala? Di sinilah muncul Ikhtilaf diantara ulama.

Para ulama berijtihad, maka ada beberapa pendapat ulama ihwal mengusap kepala dikala berwudhu’:

Mazhab Hanafi:

Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, diatas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau lembap bekas sisa air mandi, tapi dilarang diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudhu’ yang lain, contohnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.

Dalil Mazhab Hanafi:

Mesti mengikuti makna mengusap berdasarkan ‘urf (kebiasaan).
Makna aksara Ba’ pada ayat  [برؤوسكم] artinya menempel. Menurut kaedah, kalau aksara Ba’ masuk pada kata yang diusap, maka maknanya mesti menempelkan seluruh alat yang mengusap. Maka mesti menempelkan telapak tangan ke kepala. Jika aksara Ba’ masuk ke alat yang mengusap, maka mesti mengusap seluruh objek yang diusap. Jika seluruh telapak tangan diusapkan ke kepala, maka bab kepala yang terkena usapan yaitu seperempat bab kepala. Itulah bab yang dimaksud ayat mengusap kepala.
Hadits yang menjelaskan ayat ini, riwayat Abu Daud dari Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar, Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbanya, ia engusap bab depan kepalanya, ia tidak melepas sorbannya”. Hadits ini menjelaskan ayat yang bersifat mujmal (global/umum). Ubun-ubun atau bab depan kepala itu seperempat ukuran kepala, lantaran ubun-ubun satu bab dari empat bab kepala.

Mazhab Maliki:

Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah kalau hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah kalau mengusap rambut yang tidak turun dari daerah yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap yaitu kulit kepala, lantaran kulit kepala itulah bab permukaan kepala bagi orang yang tidak mempunyai rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan indera pendengaran beberapa kali usapan. 

 

Dalil Mazhab Maliki: 

Huruf Ba’ mengandung makna  menempel, artinya menempelkan alat kepada yang diusap, dalam masalah ini menempelkan tangan ke seluruh kepala. Seakan-akan Allah Swt berfirman, “Tempelkanlah usapan air ke kepala kamu”.
Hadits riwayat Abdullah bin Zaid, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, ia usapkan kedua tangan itu ke bab depan dan belakang. Ia mulai dari bab depan kepala, kemudian menjalankan kedua tangannya hingga ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke bab depan daerah ia memulai usapan”. Ini memperlihatkan disyariatkan mengusap seluruh kepala.

Mazhab Hanbali:

Seperti Mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan:
Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi pria saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bab depan saja, lantaran Aisyah mengusap bab depan kepalanya.
Wajib mengusap dua daun telinga, bab luar dan bab dalam daun telinga, lantaran kedua daun indera pendengaran itu bab dari kepala. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah, “Kedua indera pendengaran itu bab dari kepala”. 

Mazhab Syafi’i:

Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, lantaran membasuh itu berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, lantaran tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.

Dalil Mazhab Syafi’i:

Hadits riwayat al-Mughirah dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap ubun-ubunnya dan bab atas sorbannya”. Dalam hadits ini disebutkan cukup mengusap sebagian saja. Yang dituntut hanyalah mengusap secara mutlak/umum, tanpa ada batasan tertentu, maka sebagian saja sudah mencukupi.
Jika aksara Ba’ masuk ke dalam kata jama’ (plural), maka memperlihatkan makna sebagian, maka maknanya, “Usapkan sebagian kepala kau saja”. Mengusap sedikit sudah cukup, lantaran sedikit itu sama dengan banyak, sama-sama mengandung makna mengusap.
Komentar Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali as-Sais, dikutip oleh Syekh DR.Wahbah az-Zuhaili:
والحق: أن الآية من قبيل المطلق، وأنها لا تدل على أكثر من إيقاع المسح بالرأس، وذلك يتحقق بمسح الكل، وبمسح أي جزء قل أم كثر، ما دام في دائرة ما يصدق عليه اسم المسح، وأن مسح شعرة أو ثلاث شعرات لا يصدق عليه ذلك
Yang benar, bahwa ayat ( وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) “Usaplah kepala kamu” termasuk ayat yang bersifat umum, tidak memperlihatkan lebih dari sekedar mengusap kepala. Usapan itu sudah terwujud apakah dengan mengusap seluruh kepala, mengusap sebagian kepala, sedikit atau pun banyak, selama sanggup dianggap sebagai makna mengusap. Adapun mengusap satu helai atau tiga helai rambut, tidak sanggup dianggap mengusap.  

Dari uraian diatas sanggup dilihat:

Pertama, mazhab bukan agama. Tapi pemahaman ulama terhadap nash-nash (teks) agama dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka ihwal ayat, dalil hadits,‘urf, hingga aksara Ba’ yang masuk ke dalam kata. Begitu detailnya. Oleh alasannya yaitu itu slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, memang benar, tapi apakah setiap orang mempunyai kemampuan? Apakah semua orang mempunyai alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah ibarat pemahaman para ulama?! Oleh alasannya yaitu itu bermazhab tidak lebih dari sekedar bertanya kepada orang yang lebih mengerti ihwal suatu masalah, mengamalkan firman Allah Swt, 
فَاسْألوا أهلَ الذِ كْرِ إنِ كُنتمْ لَا تعلمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan kalau kau tidak mengetahui”. (Qs. an-Nahl :43).

Kedua, ikhtilaf mereka pada furu’ (permasalahan cabang), bukan pada ushul (dasar/prinsip).
Mereka tidak ikhtilaf ihwal apakah wudhu’ itu wajib atau tidak. Yang mereka perselisihkan yaitu masalah-masalah cabang, apakah mengusap itu seluruh kepala atau sebagiannya saja? Demikian juga dalam shalat, mereka tidak ikhtilaf ihwal apakah shalat itu wajib atau tidak? Semuanya setuju bahwa shalat itu wajib. Mereka hanya ikhtilaf ihwal cabang-cabang dalam shalat, apakah basmalah dibaca sirr atau jahr? Apakah mengangkat tangan hingga pundak atau telinga? Dan sejeninsya.

Ketiga, tidak membid’ahkan hanya lantaran beda cara melakukan. Yang mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, demikian juga sebaliknya. Selama perbuatan itu masih bernaung di bawah dalil yang bersifat umum. Ikhtilaf tidak hanya terjadi pada masa generasi khalaf (belakangan). Kalangan Salaf (generasi tiga era pertama Hijrah); para shahabat Rasulullah Saw, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga Ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu. 

Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.

عن ابن عمر قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لنا لما رجا من الأحزاب لا يصلين أحد العصر إِلا في بني قريظة فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه وسلم فلم يعنف واحدا منهم
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepada kami dikala ia kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kau shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka memasuki shalat ‘Ashar di tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan shalat ‘Ashar hingga kami hingga di Bani Quraizhah’. 
Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan shalat ‘Ashar sebelum hingga di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah Saw, ia tidak menyalahkan satu pun dari mereka”. (HR. al-Bukhari).

Ini menerangkan bahwa para shahabat juga ikhtilaf, sebagian mereka beropini bahwa shalat Ashar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian lain beropini shalat Ashar dilaksanakan dikala waktunya telah tiba, meskipun belum hingga di Bani Quraizhah. Satu kelompok berpegang pada teks, yang lain berpegang pada makna teks. Inilah cikal bakal ikhtilaf dan Rasulullah Saw membenarkan keduanya, lantaran tidak keluar dari tuntunan Sunnah.
 Setelah Rasulullah Saw wafat pun para shahabat mengalami ikhtilaf dalam masalahmasalah tertentu.

Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.

فلما فرغ من جهاز رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الثلاثاء وضا في سريره في بيته وقد كان المسلمون اختلعوا في دفنه فقال قائل : ندفنه في مسجده وقال قائل : بل ندفنه ما أصحابه فقال أبو بكر: إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ما قبض نبي إلا دفن حيث يقبض فرفا فراش رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي توفي عليه فحعر له تحته
Ketika mayat Rasulullah Saw telah siap (untuk dikebumikan) pada hari Selasa. Jenazah Rasulullah Saw diletakkan di daerah tidurnya di dalam rumahnya. Kaum muslimin ikhtilaf dalam hal pemakamannya.

Ada yang berpendapat, “Kita makamkan di dalam masjidnya (Masjid Nabawi)”. 
Ada yang berpendapat, “Kita makamkan bersama para shahabatnya (di pemakaman Baqi’)”. 
Abu Bakar berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak seorang pun dari nabi itu yang meninggal dunia melainkan ia dimakamkan di mana ia meninggal”. Maka kasur daerah Rasulullah Saw meninggal pun diangkat. Lalu makam Rasulullah Saw digali di bawah kasur itu".
Ini menerangkan bahwa para shahabat ikhtilaf, baik dikala Rasulullah Saw masih hidup, maupun sesudah Rasulullah Saw wafat. Namun kedua ikhtilaf itu diselesaikan dengan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw.

Ijtihad Shahabat Rasulullah Saw.

Ijtihad Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.

Ketika mengalami suatu peristiwa, Rasulullah Saw tidak berada bersama para shahabat, maka para shahabat itu berijtihad, ibarat yang disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ أبَِي سَعِيد الْخُدْرِي قَالَ خَرَ رَجُلاَنِ فِي سَعر فحََضَرَت الصَّلاَةُ وَليْسَ مَعهمَا مَاءٌ فَتيَمَّمَا صَعِيدًا طيبِاً فَصليا ثم وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأعَادَ أحََدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلمْ يُعِدْ الآ خَرُ ثمَُّ أتَيَاَ رَسُولَ اللِه صَلى الله عَليْهِ وَسَلم فذََكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلذي لَمْ يُعِد أصَبْتَ السنة وَأجْزَأتكَ صَلاَتك وَقَالَ لِلذي توَضأ وَأعَادَ لَكَ الْأجْرُ مَرتين
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Dua orang shahabat pergi dalam suatu perjalanan. Kemudian tiba waktu shalat, mereka tidak mempunyai air, kemudian mereka berdua bertayammum dengan tanah yang suci. Lalu mereka berdua melaksanakan shalat. Kemudian mereka berdua mendapat air dan waktu shalat masih ada. Salah seorang dari mereka mengulangi shalatnya dengan berwudhu’. Sedangkan yang lain tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka berdua tiba menghadap Rasulullah Saw, mereka menyebutkan insiden yang telah mereka alami. Rasulullah Saw berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Perbuatanmu sesuai dengan Sunnah, shalatmu sah”. Rasulullah Saw berkata kepada yang mengulangi shalatnya dengan berwudhu’, “Engkau mendapat dua pahala”. (HR. Abu Daud).

Ijtihad Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.

المشهور من مذهب عائشة رضي الله تعالى عنها أنها كانت لا ترى الغسل لكل صلاة
Masyhur dari mazhab Aisyah ra, menurutnya (wanita yang mengalami istihadhah) tidak wajib mandi pada setiap shalat.
واختلعوا في وجوب السعي بين الصعا والمروة فذهب مالك والشافعي وأصحابهما وأحمد وإسحاق وأبو ثور إلى ما ذكرنا وهو مذهب عائشة رضي الله عنها و مذهب عروة وغيره. وكان أنس بن مالك وعبد الله بن الزبير ومحمد بن سيرين يقولون هو تطوع وليس ذلك بواجب
Mereka ikhtilaf ihwal aturan wajibnya sa’i antara Shafa dan Marwah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, para ulama kedua mazhab tersebut, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Abu Tsaur, ibarat yang telah kami sebutkan (wajib Sa’i), ini yaitu mazhab Aisyah, mazhab ‘Urwah dan lainnya. Sedangkan Anas bin Malik, Abdullah bin az-Zubair dan Muhammad bin Sirin beropini bahwa Sa’i itu sunnat, tidak wajib. Hasil ijtihad mereka disebut madzhab.
             

Makna Madzhab.        

Makna kata Madzhab berdasarkan bahasa adalah:  مَوْضِاُ الذهََّابِ daerah pergi.
Sedangkan Madzhab berdasarkan istilah adalah:
 مَا اخُْتصَُّ بِهِ الْمُجْتهَِدُ مِنْ الْأحَْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعرَْعِيَّةِ الاِجْتهَِادِيَّةِ الْمُسْتعَاَدَةِ مِنْ الْأ دَِلَّةِ الظَّنِ يةَِّ
Hukum-hukum syar’i yang bersifat far’i dan ijtihadi yang dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat zhanni oleh seorang mujtahid secara khusus. Pengertian madzhab yang lebih tepat dan sistematis dengan kaedah-kaedah yang tersusun gres ada pada masa imam-imam mazhab.

Para Imam Mazhab.

Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri, Imam al-Hasan al-Bashri (w.110H).
An-Nu’man bin Tsabit, Imam Hanafi (w.150H).
Abu ‘Amr bin Abdirrahman bin ‘Amr, Imam al-Auza’i (w.157H).
Sufyan bin Sa’id bin Masruq, Imam Sufyan ats-Tsauri (w.160H).
Imam al-Laits bin Sa’ad (w.175H).
Malik bin Anas al-Ashbuhi, Imam Malik (w.179H).
Imam Sufyan bin ‘Uyainah (w.198H).
Muhammad bin Idris, Imam Syafi’i (w.204H).
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali (w.241H).
Daud bin Ali al-Ashbahani al-Bahdadi, Imam Daud azh-Zhahiri (w.270H).
Imam Ishaq bin Rahawaih (w.238H).
Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Imam Abu Tsaur (w.240H).
Namun tidak semua mazhab ini bertahan. Banyak yang punah lantaran tidak dilanjutkan oleh para ulama yang berbagi mazhab sesudah imam pendirinya wafat. Oleh alasannya yaitu itu yang terkenal di kalangan Ahlussunnah-waljama’ah yaitu empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyusun kitab Fiqhnya dengan judul al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqh berdasarkan empat mazhab).

Imam Mazhab Menyikapi Perbedaan.

Mereka tetap shalat berjamaah, meskipun ada perbedaan diantara mereka pada hal-hal tertentu, contohnya Basmalah pada al-Fatihah, ada yang membaca sirr, ada yang membaca jahr, ada pula yang tidak membaca Basmalah sama sekali. Namun itu tidak menghalangi mereka untuk shalat berjamaah.
كان أبو حنيعة أو  أصحابه والشافعي وغيرهم رضي الله عنهم يصلون خلف أئمة المدينة من  المالكية وغيرهم وإن كانوا لا يقرءون البسملة لا سرا ولا جهرا
Imam Hanafi atau para ulama Mazhab Hanafi, Imam Syafi’i dan para ulama lain shalat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan Mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah itu tidak membaca Basmalah, baik sirr maupun jahar (karena berdasarkan Mazhab Maliki: Basmalah itu bukan bab dari surat al-Fatihah).

Adab Imam Syafi’i Kepada Imam Hanafi.

وصلى الشافعي رحمه الله الصبح قريبا من مقبرة أبي  حنيعة رحمه الله ، فلم يقنت تأدبا معه
Imam Syafi’i melaksanakan shalat Shubuh, lokasinya bersahabat dari makam Imam Hanafi. Imam Syafi’i tidak membaca doa Qunut lantaran beradab kepada Imam Hanafi[10].

Adab Imam Malik.

Imam Malik berkata,

شاورني هارون الرشيد في أن يعلق )الموطأ( في الكعبة، ويحمل الناس على ما فيه فقلت: لا تععل، فإن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم اختلعوا في العروع، وتعرقوا في البلدان، وكل عند نعسه مصيب، فقال: وفقك الله يا أبا عبد الله
Khalifah Harun ar-Rasyid bermusyawarah dengan saya, ia ingin menggantungkan kitab al-
Muwaththa’ (karya Imam Malik) di Ka’bah, ia ingin tetapkan semoga seluruh masyarakat menggunakan isi kitab al-Muwaththa’. Saya katakan, “Jangan lakukan! Sesungguhnya para shahabat Rasulullah Saw telah berbeda pendapat dalam duduk kasus furu’, mereka juga telah menyebar ke seluruh negeri, semuanya benar dalam ijtihadnya”. Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Allah membarikan taufiq-Nya kepadamu wahai Abu Abdillah (Imam Malik)”.

Imam Malik dengan Imam Hanafi.

قال الليث: لقيت مالكاً بالمدينة فقلت له: إني أراك تمسح العرق عن جبينك. قال عزفت ما أبي حنيعة. إنه لعقيه يا مصري.
 .ثم  لقيت أبا حنيعة قلت: ما أحسن قول ذلك الرجل فيك. فقال: والله ما رأيت أسرع منه بجواب صادق وزهد تام
Imam al-Laits bin Sa’ad berkata, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya, ‘Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’. 
Imam Malik menjawab, “Saya merasa tidak punya apa-apa dikala bersama Abu Hanifah, sebetulnya ia benar-benar jago Fiqh wahai orang Mesir (Imam al-Laits)”.
Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya, “Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”.
Imam Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat memperlihatkan tanggapan yang benar dan zuhud yang tepat melebihi Imam Malik”[12].

Komentar Imam Syafi’i Terhadap Imam Malik.

اذا جاءك الحديث عن مالك فشد به يديك
“Apabila ada hadits tiba kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkanlah kedua tanganmu dengan hadits itu”.
اذا جاءك الخبر فمالك النجم
“Jika tiba Khabar kepadamu, maka Imam Malik yaitu bintangnya”.
اذا ذكر العلماء فمالك النجم وما أحد أمن على من مالك بن أنس
“Jika disebutkan ihwal ulama-ulama, maka Imam Malik yaitu bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih kondusif bagiku daripada Imam Malik bin Anas”.
مالك بن أنس معلمى وعنه أخذت العلم
“Imam Malik bin Anas yaitu guruku, darinya saya mengambil ilmu”. 
كان مالك بن أنس اذا شك في الحديث طرحه كله
“Imam Malik bin Anas itu, kalau ia ragu terhadap suatu hadits, maka ia buang semuanya”.

Komentar Imam Hanbali Terhadap Imam Syafi’i.

عبد الله بن أحمد بن حنبل قال قلت لأبي يا أبة أي رجل كان الشافعي فإني سمعتك تكثر من الدعاء له فقال لي يا بني كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس فانظر هل لهذين من خلف أو منهما عوض
Abdullah putra Imam Hanbali berkata, “Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang ibarat apa Syafi’i itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hanbali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafi’i ibarat matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?!”.

قال أبو أيوب حميد بن أحمد البصري كنت عند أحمد بن حنبل نتذاكر في مسألة فقال رجل لأحمد يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث فقال إن لم يصح فيه حديث فعيه قول الشافعي وحجته أثبت شيء فيه  
Abu Ayyub Humaid bin Ahmad al-Bashri berkata, “Saya bersama Imam Hanbali bermuzakarah ihwal suatu masalah. Seorang pria bertanya kepada Imam Hanbali, “Wahai Abu Abdillah, tidak ada hadits shahih ihwal duduk kasus itu’.
Imam Hanbali menjawab, “Jika tidak ada hadits shahih, ada pendapat Imam Syafi’i dalam duduk kasus itu. Hujjah Imam Syafi’i terkuat dalam duduk kasus itu”.

Ikhtilaf Ulama Kontemporer:           

Para ulama zaman kini pun berijtihad dalam masalah-masalah tertentu yang tidak ada nash menjelaskan ihwal itu. Atau ada nash, tapi mereka ikhtilaf dalam memahaminya. Ketika mereka berijtihad, maka tentu saja mereka pun ikhtilaf ibarat orang-orang sebelum mereka. Berikut ini beberapa teladan ikhtilaf diantara ulama kontemporer:

Contoh Kasus Pertama: Cara Turun Ketika Sujud. 

Syekh Ibnu Baz: Lutut Lebih Dahulu. 

فأشكل هذا على كثير من أهل العلم فقال بعضهم يضع يديه قبل ركبتيه وقال آخرون بل يضع ركبتيه قبل يديه ، وهذا هو الذي يخالف بروك البعير ألن بروك البعير يبدأ بيديه فإذا برك المؤمن على ركبتيه فقد خالف البعير وهذا هو الموافق لحديث وائل بن حجر وهذا هو الصواب أن يسجد على ركبتيه أولا ثم يضع يديه على الأرض ثم يضع جبهته أيضا على الأرض هذا هو المشروع فإذا رفع رفع وجهه أولا ثم يديه ثم ينهض هذا هو المشروع الذي جاءت به السنة عن النبي صلى الله عليه وسلم وهو الجمع بين الحديثين ، وأما قوله في حديث أبي هريرة : وليضع يديه قبل ركبتيه فالظاهر والله أعلم أنه انقلاب كما ذكر  ذلك ابن القيم رحمه الله إنما الصواب أن يضع ركبتيه  قبل يديه حتى يوافق آخر الحديث أوله وحتى يتفق مع  حديث وائل بن حجر وما جاء في معناه  
Masalah ini menjadi polemik di kalangan banyak  ulama,  sebagian  mereka mengatakan: meletakkan kedua tangan sebelum  lutut,  sebagian  yang  lain mengatakan: meletakkan dua lutut sebelum kedua tangan, inilah yang berbeda dengan turunnya unta, lantaran dikala unta turun ia memulai dengan kedua tangannya (kaki depannya), kalau seorang mu’min memulai turun dengan kedua lututnya, maka ia telah berbeda dengan unta, ini yang sesuai dengan  hadits  Wa’il  bin  Hujr (mendahulukan lutut daripada tangan), inilah yang benar; sujud dengan cara mendahulukan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian meletakkan kedua tangan di atas lantai, kemudian menempelkan kening, inilah yang disyariatkan. Ketika bangkit dari sujud, mengangkat kepala terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, kemudian bangun, inilah yang disyariatkan berdasarkan Sunnah dari Rasulullah Saw, kombinasi antara dua hadits. Adapun ucapan Abu Hurairah: “Hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum lutut, zahirnya –wallahu a’lam- terjadi pembalikan kalimat, sebagaimana yang disebutkan Ibnu al-Qayyim – rahimahullah-. Yang benar: meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, semoga selesai hadits sesuai dengan awalnya, agar 
sesuai dengan hadits riwayat Wa’il bin Hujr, atau semakna dengannya . 

Syekh al-Albani: Tangan Lebih Dahulu. 


واعلم  أن وجه مخالعة البعير وضا اليدين قبل الركبتين

Ketahuilah bahwa bentuk membedakan diri dari unta yaitu dengan meletakkan tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut (ketika turun sujud).

Dalam hal ini Syekh Ibnu ‘Utsaimin setuju dengan Syekh Ibnu Baz, lebih mendahulukan lutut daripada tangan,

فحينئذ يكون الصواب إذا أردنا أن يتطابق آخر الحديث وأوله "وليضع ركبتيه قبل يديه ، لأنه لو وضع اليدين قبل الركبتين كما قلت لبرك كما يبرك البعير. وحينئذ يكون أول الحديث وآخره متناقضان . وقد ألف بعض الأخوة رسالة سماها (فتح المعبود في وضع الركبتين قبل اليدين في السجود) وأجاد فيه وأفاد . وعلى هذا فإن السنة التي أمر بها الرسول صلى الله عليه وسلم في السجود أن يضع الإنسان ركبتيه قبل 

Ketika itu maka yang benar kalau kita ingin sesuai antara selesai dan awal hadits: “Hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”, lantaran kalau seseorang meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, sebagaimana yang saya nyatakan, pastilah ia turun ibarat turunnya unta, maka berarti ada kontradiktif antara awal dan selesai hadits. Ada salah seorang ikhwah telah menulis satu risalah berjudul Fath al-Ma’bud fi Wadh’i arRukbataini Qabl al-Yadaini fi as-Sujud, ia bahas dengan pembahasan yang baik dan bermanfaat. Dengan demikian maka berdasarkan Sunnah yang diperintahkan Rasulullah Saw dikala sujud adalah: meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan32 . Jika berbeda pendapat itu menciptakan orang saling membid’ahkan, pastilah orang yang sujud dengan mendahulukan lutut akan membid’ahkan Syekh al-Albani dan para pengikutnya lantaran lebih mendahulukan tangan. Begitu juga sebaliknya, mereka yang lebih mendahulukan tangan, niscaya akan membid’ahkan Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin yang lebih mendahulukan lutut daripada tangan. Maka ikhtilaf dalam furu’ itu suatu yang biasa, selama berdasar kepada dalil dan duduk kasus yang diperselisihkan itu bersifat zhanni. Tidak menciptakan orang saling memusuhi dan membid’ahkan.

Contoh Kasus Kedua: Takbir Pada Sujud Tilawah Dalam Shalat 

Syekh Ibnu Baz : Bertakbir. 

يشرع للمصلي إذا كان إماما أو منعردا ومر بآية سجدة أن يكبر ويسجد سجود التلاوة، ثم يكبر عندما ينهض من السجدة؛ لأن التكبير يكون في كل خعض ورفا 
Disyariatkan  bagi  orang  yang  melaksanakan shalat, kalau ia sebagai imam atau shalat sendirian, dikala melewati ayat Sajadah, semoga ia bertakbir dan sujud Tilawah. Kemudian bertakbir dikala bangkit dari sujud. Karena takbir itu pada setiap turun dan bangkit .  

Syekh al-Albani : Tanpa Takbir. 


وقد روى جما من الصحابة سجوده صلى الله عليه وسلم للتلاوة في كثير من الآيات في مناسبات مختلعة فلم يذكر أحد منهم تكبيره عليه السلام للسجود ولذلك نميل  إلى عدم مشروعية هذا التكبير

Sekelompok shahabat telah meriwayatkan ihwal sujud tilawahnya Rasulullah Saw dalam  banyak ayat  dan  di  banyak kesempatan  yang  berbeda-beda,  tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bertakbir dikala akan sujud. Oleh alasannya yaitu itu kami condong kepada pendapat: tidak disyariatkannya takbir dikala sujud tilawah. 

Dalam hal ini Syekh Ibnu ‘Utsaimin sependapat dengan Syekh Ibnu Baz, 

سجود التلاوة ليس له تكبير عند السجود وليس له تكبير عند الرفا من السجود؛ لأن ذلك لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم، مالم يكن الإنسان في صلاة، فإن كان في صلاة وجب أن يكبر إذا سجد وأن يكبر إذا قام. 

Sujud Tilawah tanpa takbir dikala turun sujud dan tanpa takbir dikala bangkit dari sujud, lantaran tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw. Kecuali kalau seseorang dalam shalat, maka ia wajib bertakbir dikala akan sujud dan bertakbir dikala akan bangkit tegak berdiri .

Contoh Kasus Ketiga: Shalat Sunnat Tahyatul-masjid di Tempat Shalat ‘Ied. 

Syekh Ibnu Baz :  Tidak Ada Shalat Sunnat Tahyatulmasjid. 

السنة لمن أتى مصلى العيد لصلاة العيد ، أو الاستسقاء أن يجلس ولا يصلي تحية المسجد ؛ لأن ذلك لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه رضي الله عنهم فيما نعلم إلا إذا كانت الصلاة في المسجد فإنه يصلي تحية المسجد ؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين متفق على صحته. والمشروع لمن جلس ينتظر صلاة العيد أن يكثر من التهليل والتكبير؛ لأن ذلك هو شعار ذلك اليوم ، وهو السنة للجميع في المسجد وخارجه حتى تنتهي الخطبة. ومن اشتغل بقراءة القرآن فلا بأس. والله ولي التوفيق . 

Sunnah bagi orang yang tiba ke daerah shalat ‘Ied atau Istisqa’ semoga duduk, tidak shalat Tahyatul-masjid, lantaran yang demikian itu tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabat berdasarkan pengetahuan kami, kecuali kalau shalat ‘Ied dilaksanakan di masjid, maka melaksanakan shalat Tahyatul-masjid berdasarkan umumnya sabda Rasulullah Saw, “Apabila salah seorang kau masuk masjid, maka janganlah duduk hingga ia shalat dua rakaat”, disepakati keshahihannya. Disyariatkan bagi orang yang duduk menunggu shalat ‘Ied semoga memperbanyak Tahlil dan Takbir, lantaran itu yaitu syi’ar pada hari itu, itu yaitu Sunnah bagi semua di masjid dan di luar masjid hingga berakhir khutbah ‘Ied. Orang yang sibuk dengan membaca al-Qur’an,  boleh.  Wallahu  Waliyyu  at-Taufiq .


(Bersambung.. InsyaAllah...)

banner

Related Posts: