Thursday 12 March 2020

Hadits - Melakukan Syariat Dengan Benar

عَنْ أَبيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَرَأَيتَ إِذا صَلَّيْتُ المَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضانَ، وَأَحلَلتُ الحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلى ذَلِكَ شَيئاً أَدخُلُ الجَنَّة؟ قَالَ: نَعَمْ – رواه مسلم

Terjemahan:

Dari Abu ‘Abdullah, Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada seorang pria bertanya kepada Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Bagaimana pendapatmu jikalau saya melaksanakan shalat fardhu, puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh keyakinan), mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan saya tidak menambahkan selain itu sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : ” Ya”
[Muslim no. 15]

Penjelasan:

Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini berjulukan Nu’man bin Qauqal Abu ‘Amr bin Shalah menyampaikan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” meliputi dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar-benar halal saja.

Pengarang kitab Al Mufhim menyampaikan secara umum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menyampaikan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu’ (sunnah). Hal ini memperlihatkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh laba yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot agamanya dan berkurang pula nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah sebab perilaku meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan fasik yang patut dicela.

Para ulama kita beropini : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi hingga mereka sadar. Hal ini sebab pada masa sobat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melaksanakan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam mahir fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi aturan antara yang sunnah dan yang wajib jikalau hal itu ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib yaitu untuk memudahkan dan melapangkan, sebab kaum muslim masih gres dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan menciptakan mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan biar orang tidak beranggapan bahwa amalan pelengkap dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jikalau meninggalkan konsekuensinya sama.

Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada seorang sobat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam perihal shalat, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu. Lalu orang itu bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?” Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melaksanakan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”.

Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa aturan lain, kemudian dia jawab semuanya. Kemudian, di simpulan pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, saya tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian bersabda :
“Dia akan beruntung jikalau benar”.
“Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, pasti ia masuk surga”.

Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan sempurna pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapat keselamatan dan keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila kita sanggup berbuat menyerupai itu. Barang siapa sanggup mengerjakan yang wajib kemudian diiringi dengan yang sunnah, pasti dia akan mendapat keberuntungan yang lebih besar.

Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan yang wajib. Sahabat yang bertanya tersebut dan sobat lain sebelumnya, dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan menyerupai itu untuk memperlihatkan akomodasi kepada kedua orang itu hingga hatinya mantap dan terbuka memahaminya dengan baik serta mempunyai semangat berpengaruh untuk melaksanakan hal-hal yang sunnah, sehingga dirinya menjadi ringan melaksanakannya.
banner
Previous Post
Next Post