Sunday 8 March 2020

Tafsir Al-Qur’An Surat Al-Fatihah Ayat (4)



Al-Fatihah, ayat 4



{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}


Hanya EngkaulahYangKami sembah dan  hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.



Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan menggunakan ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:





فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ





Maka hati-hatilah kau terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.




Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya berdasarkan qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; lantaran keduanya membacanya kasrah, menyerupai yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.



Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadunartinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan gampang dinaiki (tidak liar)". Sedangkan berdasarkan istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang memperlihatkan suatu perilaku sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".



Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk memperlihatkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan diam-diam Al-Qur'an; sedangkan diam-diam surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu.



Lafaz iyyaka na'budu memperlihatkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu memperlihatkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:





فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ




Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)





قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا




Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)





رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا




(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)



Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:


{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}




Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)



Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui aksara kaf yang memperlihatkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seolah-olah orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:





{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}




Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)



Pembahasan yang telah dikemukakan memperlihatkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan informasi dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya semoga mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan ia bisa membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang menyampaikan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:





«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»




Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.



Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang menyampaikan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:





«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»




Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu serpihan untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila ia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila ia mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”Apabila ia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang ia minta." Apabila ia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang ia minta.



Dahak menyampaikan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah "Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pemberian untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami".



Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah memerintahkan kepada kalian semoga nrimo dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pemberian kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain lantaran ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melaksanakan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.



Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang; kalau yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.



Sebagai jawabannya sanggup dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan informasi perihal jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melaksanakan salat yaitu salah seorang dari mereka; terlebih lagi kalau ia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai informasi perihal dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melaksanakan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan ia menjadi mediator bagi mereka untuk kebaikan".



Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim, dengan pengertian bahwa seolah-olah dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kau berada dalam ibadah, maka kau yaitu orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:





{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}


Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)



Tetapi apabila kau berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kau katakan 'kami', jangan pula kau katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kau berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, lantaran semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Swt.



Di antara mereka ada yang menyampaikan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri lantaran ia mengakibatkan dirinya sebagai orang yang andal melaksanakan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang bisa beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang sanggup memuji-Nya dengan kebanggaan yang layak buat-Nya.



Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat lantaran mengingat dirinya sedang berafiliasi dengan Allah Swt. Salah seorang penyair mengatakan:





لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي





Jangan kau panggil saya melainkan dengan julukan 'hai ham-baNya', lantaran sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.




Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam daerah yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:





الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ




Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)





وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ




Dan sebetulnya ketika hamba Allah (Muhammad) bangun menyembahnya (Al-Jin: 19)





سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا




Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (Al-Isra: 1)



Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di ketika Dia menurunkan wahyu kepadanya, di ketika ia bangun dalam doanya, dan di ketika dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memperlihatkan petunjuk kepadanya semoga mengerjakan ibadah di saat-saat ia mengalami kesempitan dada lantaran orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:





وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ




Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kau di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu hingga tiba kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)



Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah tiba dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi menyampaikan pula, "Dikatakan demikian lantaran Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.



Sebagian ulama sufi menyampaikan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka menyampaikan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Swt., pendapat ini pun berdasarkan mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka beralasan bahwa lantaran itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat lantaran Allah." Seandainya salat diniatkan untuk menerima pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.



Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang menyampaikan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan lantaran Allah Swt. bukan berarti pelakunya dihentikan meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:





أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»



"Adapun aku. sesungguhnya saya tidak sanggup melaksanakan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi saya hanya memohon nirwana kepada Allah, dan saya berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."

banner
Previous Post
Next Post