Lembaga Pendidikan Ma'had Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI MESRA) Samalanga, di bawah pimpinan Tgk. H. Hasanul Basri (Abu Mudi) sudah banyak melaksanakan perubahan signifikan untuk menyambut tantangan periode globalisasi. Salah satu yang mengejutkan terjadi pada tahun 2001, dengan didirikan STAIA (Sekolah Tinggi Agama Islam Al-'Aziziyah). Kabijakannya ini mengudang kontroversial besar di antara alumni MUDI dan dayah-dayah lain di Aceh. Karena mendobrak tradisi pendidikan dayah di Aceh yang cuma berkurikulum kitab kuning semata dan tidak menganggap penting gelar kesarjanaan umum. Di samping itu, hal negetif lain akan terjadi dari pendirian STAIA ini melemahnya perhatian santri pada pelajaran dayah.
Sebenarnya untuk pertanda perkiraan tersebut harus dilakukan pengkajian lebih lanjut. Nyatanya sekarang, apa yang ditakutkan itu tidak realitis, malahan dengan dibukanya STAIA jumlah santri meningkat drastis dan dayah pun tidak di pandang sebelah mata lagi. Apalagi dengan munculnya sarjana-sarjana yang berbasis ilmu agama mendalam akan menjadikan dampak konkret untuk masyarakat Aceh sendiri yang menerapkan syariat kaffah Islam.
Pengalaman masa kemudian telah berbicara berkali-kali, kegagalan terjadi dalam penerapan syariat Islam walaupun bermacam-macam cara dilakukan termasuk dibentuknya wilayatul hisbah atau polisi syariat namun tidak memberikan perubahan berarti disebabkan kurangnya pengetahuan ihwal syariat dari pembuat undang-undang itu sendiri. Tetapi dengan munculnya santri-santri Aceh menjadi sarjana, santri tidak lagi bertarung di kandangnya. Mereka akan menghadapi bermacam-macam persoalan-persoalan gres ketika terjun berdakwah di segala tingkatan masyarakat kosmopolit. Ini sesuai dengan karakteristik didirikan STAIA di dayah MUDI MESRA yaitu sebagai:
Pengalaman masa kemudian telah berbicara berkali-kali, kegagalan terjadi dalam penerapan syariat Islam walaupun bermacam-macam cara dilakukan termasuk dibentuknya wilayatul hisbah atau polisi syariat namun tidak memberikan perubahan berarti disebabkan kurangnya pengetahuan ihwal syariat dari pembuat undang-undang itu sendiri. Tetapi dengan munculnya santri-santri Aceh menjadi sarjana, santri tidak lagi bertarung di kandangnya. Mereka akan menghadapi bermacam-macam persoalan-persoalan gres ketika terjun berdakwah di segala tingkatan masyarakat kosmopolit. Ini sesuai dengan karakteristik didirikan STAIA di dayah MUDI MESRA yaitu sebagai:
1. Mitra masyarakat
Menjadi kawan masyarakat bukan hal mudah, lantaran mereka hanya membutuhkan hal-hal yang terealisir. Di sinilah kiprah santri sebagai sarjana yang menyatukan teori dan prakter. Ilmu tidak lagi dibicarakan di balai-balai pengajian tetapi pribadi dipraktekan ketika santri terjun ke instansi pemerintah atau umum.
Dengan menjadi kawan masyarakat santri tidak lagi menjadi alternatif tetapi sebagai tumpuan penyelesaian masalah. Masyarakat sudah jenuh atas penyimpangan sosial oleh produk-produk pendidikan berbasis sekuler, yang cuma bisa menjual omongan dan pandai membentuk lembaga-lembaga pembelaan masyarakat tetapi tidak memberi perubahan apa-apa. Namun, jangan hingga santri yang sudah sarjana membuat kegagalan selanjutnya. Bila ini terjadi tentunya akan menjadikan masalah baru, yaitu tidak saling percaya mempercayai lagi, dan hilangnya panutan. Lebih-lebih jikalau pelaku penyimpangan itu dari kalangan andal agama sendiri. Lalu akan menjadi apa bangsa ini ke depan?
2. Memasok pandangan gres dan pencetus dalam konstruksi sosial
Sebuah pandangan gres akan menjadi lokomatif menuju kadamaian hakiki jikalau itu keluar dari logika dan hati yang mempunyai keseimbangan di antara pengetahuan umum dan agama. Santri keluaran STAIA bisa mengkontruksi ide-idenya dalam kehidupan sosial hingga tidak muncul di pikiran masyarakat kiprah santri hanya bisa Samadiah di rumah orang meninggal atau imam meunasah. Bila perbaikan sosial dilakukan menurut ketulusan yang dimiliki santri yang sarjana maka kejahatan sosial akan sanggup diredam sedikit demi sedikit.
Memang di periode globalisasi ini bermacam-macam ide-ide sesat gampang berkembang lewat jejaringan sosial semisal facebook dan twitter. Mereka dengan bebas mempengaruhi orang lain. Dengan adanya santri yang berwawasan iptaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) maka semua itu bisa dibendung. Untuk ke depan, intelektual pesantren seharusnya memikirkan bagaimana membuat produk sendiri yang lebih menarik dari jejaringan sosial yang telah ada, biar santri gampang memberikan ide-idenya ke masyarakat.
Memang di periode globalisasi ini bermacam-macam ide-ide sesat gampang berkembang lewat jejaringan sosial semisal facebook dan twitter. Mereka dengan bebas mempengaruhi orang lain. Dengan adanya santri yang berwawasan iptaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) maka semua itu bisa dibendung. Untuk ke depan, intelektual pesantren seharusnya memikirkan bagaimana membuat produk sendiri yang lebih menarik dari jejaringan sosial yang telah ada, biar santri gampang memberikan ide-idenya ke masyarakat.
3. Memberi Pelayanan publik
Hal utama paling menyentuh publik yakni pengobatan rohani yang disampaikan intelektual dayah dengan bijaksana. Mereka tidak mengobarkan permusuhan dalam masyarakat, bisa merangkul semua golongan. Dalam hal melayani publik tentunya kita bisa mencontoh apa yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi'i bahwa ilmu dua bagian: ilmu agama (dien) dan ilmu kesehatan (thib).
Imam Syafi'i dalam salah satu nasehatnya sangat meratapi ketertinggalan umat Islam dalam bidang kesehatan dibandingkan Kristen dan Yahudi. Para intelektual dayah lepasan STAIA harus mempunyai visi untuk menambah pengetahuannya dalam ilmu kesehatan menyerupai ulama-ulama dahulu.
Mereka tidak hanya pandai mengobati rohani tapi juga jasmani sehingga mereka mengarang kitab-kitab kesehatan yang menjadi referensi kedokteran dunia hingga sekarang. Seperti al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicena), Kitab al-Iktisad fi Islah an-Nufus wa al-Ajsad (Curing souls and bodies) karya Abu Marwan Abdal-Malik Ibnu Zuhr (Avenzoar).
Begitu pantingnya kesehatan sehingga Saidina Ali pernah berkata: “Sebagian dari nikmat yakni harta berlimpah tapi ada yang terlebih nikmat dari itu yaitu kesehatan”. Bila dua hal ini; ilmu kesehatan rohani dan jasmani, bisa diaplikasikan intelektual dayah maka akan menguatkannya proteksi untuk dayah dalam menghadapi modernisasi.
Mereka tidak hanya pandai mengobati rohani tapi juga jasmani sehingga mereka mengarang kitab-kitab kesehatan yang menjadi referensi kedokteran dunia hingga sekarang. Seperti al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicena), Kitab al-Iktisad fi Islah an-Nufus wa al-Ajsad (Curing souls and bodies) karya Abu Marwan Abdal-Malik Ibnu Zuhr (Avenzoar).
Begitu pantingnya kesehatan sehingga Saidina Ali pernah berkata: “Sebagian dari nikmat yakni harta berlimpah tapi ada yang terlebih nikmat dari itu yaitu kesehatan”. Bila dua hal ini; ilmu kesehatan rohani dan jasmani, bisa diaplikasikan intelektual dayah maka akan menguatkannya proteksi untuk dayah dalam menghadapi modernisasi.
4. Mengembangkan kecerdasan, kreatifitas, produktifitas dan gambaran
Dalam hal pengembangan kecerdasan, kreatifitas, produktifitas dan gambaran telah banyak di lakukan oleh intelektual dayah. Di antara yang telah hadir yakni jurnal ilmiah STAIA, majalah bulanan santri, Umdah, dan Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) yang siap mengadakan lomba menulis setiap tahunnya sebagai kawasan berkreatifitas biar tidak ada lagi bunyi miring bahwa tamatan dayah kurang menulis.
Memang menulis sudah menjadi budaya tersendiri bagi ulama-ulama dan intelektual Islam semenjak dahulu. Syekh Yusuf Nabhani salah satu ulama Syafi'iyah pernah menyampaikan: "Bila kita menghitung jumlah kitab yang ditulis ulama Islam kita tidak bisa menghitung, misalnya imam Sayuti saja menulis 500 kitab".
Jadi tidak ada alasan untuk intelektual dayah tidak menulis lantaran menulis salah satu jalan ampuh melahirkan produktifitas. Jangan hingga kita mati kreatifitas lantaran telah banyak orang lain menulis. Setiap orang mempunyai abjad dan cara memberikan yang berbeda dan apalagi karya kita itu bermanfaat tentu akan menjadikan gambaran baik santri dalam masyarakat di samping amalan yang terus mengalirkan pahala.
Memang menulis sudah menjadi budaya tersendiri bagi ulama-ulama dan intelektual Islam semenjak dahulu. Syekh Yusuf Nabhani salah satu ulama Syafi'iyah pernah menyampaikan: "Bila kita menghitung jumlah kitab yang ditulis ulama Islam kita tidak bisa menghitung, misalnya imam Sayuti saja menulis 500 kitab".
Jadi tidak ada alasan untuk intelektual dayah tidak menulis lantaran menulis salah satu jalan ampuh melahirkan produktifitas. Jangan hingga kita mati kreatifitas lantaran telah banyak orang lain menulis. Setiap orang mempunyai abjad dan cara memberikan yang berbeda dan apalagi karya kita itu bermanfaat tentu akan menjadikan gambaran baik santri dalam masyarakat di samping amalan yang terus mengalirkan pahala.
5. Memproduksi kesempatan dan impian
Kesempatan dan impian yakni dua hal saling berafiliasi. Dayah Mudi Mesra mempunyai dua hal ini. Dengan dibukanya STAIA akan memberi kesempatan pada santri untuk menyalurkan minatnya. Karena tidak semua santri yang mentuntut ilmu agama akan menjadi ulama. Sehingga dengan adanya STAIA mereka yang tidak menjadi ulama mempunyai impian sehabis keluar dayah dengan berbekal ijazah sarjana.
Mereka lebih leluasan berbagi bakatnya di segala bidang apalagi kita hidup di zaman yang mengutamakan gelar kesarjanaan. Dalam hal ini ijazah STAIA menjadi wasilah (perantara) mencapai maksud di periode penuh kompetisi ini, tentunya dengan tidak memberikan “tong kosong nyaring bunyinya”.
Mereka lebih leluasan berbagi bakatnya di segala bidang apalagi kita hidup di zaman yang mengutamakan gelar kesarjanaan. Dalam hal ini ijazah STAIA menjadi wasilah (perantara) mencapai maksud di periode penuh kompetisi ini, tentunya dengan tidak memberikan “tong kosong nyaring bunyinya”.
6. Pengembangan jaringan
Sudah tentu jaringan yakni penguat persatuan dan tekad intelektual dayah. Lewat jaringan organisasi yang terus berkembang santri membawa dakwah ke seluruh penjuru dunia. MUDI MESRA sebagai dayah tertua di Aceh sudah mempunyai beratus cabang di Aceh dan luar Aceh.
Tentunya ini salah satu kesempatan besar bagi tamatannya mengabdi di masyarakat ketika keluar dayah lewat cabang-cabang MUDI MESRA yang telah ada. Di samping itu, santri Aceh juga bisa mencurahkan pemikirannya lewat organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang juga termasuk jaringan besar kawasan penyampaian pandangan gres intelektual kaum dayah.
Tentunya ini salah satu kesempatan besar bagi tamatannya mengabdi di masyarakat ketika keluar dayah lewat cabang-cabang MUDI MESRA yang telah ada. Di samping itu, santri Aceh juga bisa mencurahkan pemikirannya lewat organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang juga termasuk jaringan besar kawasan penyampaian pandangan gres intelektual kaum dayah.
Di samping STAIA, MUDI MESRA juga telah mendirikan TASTAFI yang bermotto: “beut Tauhid peujioh syiriek, buet Tasawwuf peugleh hate, beut fiqh peusah ibadah”, sebagai wadah pengajian untuk menantang arus globalisasi yang digerus bermacam-macam pemikiran sesat. Dengan melihat apa yang diberikan MUDI MESRA untuk bangsa ini sudah selayaknya MUDI MESRA dijadikan lokomatif pembaharuan dayah Aceh.
Oleh: Fahkrur Razi (Abi Medan)
Penulis: Alumni Dayah Mudi Mesra Samalanga Aceh dan Alumni STAI AL-Aziziyah Samalanga
