Thursday 3 October 2019

Abu Hasan Asy’Ari, Penggagas Ahlu Sunnah Wal Jama’Ah

Oleh: Ali Akbar Alfata*



Image: islami.co


Nama dia ialah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa bin Qais Al-Asy'ari. Beliau ialah Imam Ahlusunah wal Jamaah, dilahirkan pada tahun 260 H. Pada masa mudanya, Imam Asy'ari berguru mazhab Muktazilah bersama ayah tirinya, Abu Ali Al-Jubbaie yang merupakan salah seorang pembesar Muktazilah.

Tumbuh dengan gaya berpikir Muktazilah yang rasionalis, Imam Asy'ari bahkan sempat digadang sebagai pembaru masa depan Muktazilah. Namun, takdir berkata lain, Allah ingin menaikkan derajat agama-Nya melalui beliau, panji Ahlusunah wal Jamaah kembali dihidupkan olehnya. Padahal dia sendiri telah menganut teologi Muktazilah selama 40 tahun lamanya. Namun, mengapa dia bisa keluar? Ya. Kapabilitas intelektual yang diasah ketika menjadi seorang Muktazilah malah menjadi bumerang baginya sendiri.

Faktor yang menjadikan keluarnya dia dari pendirian Muktazilah yang telah mendarah daging tersebut sebenarnya beragam. Salah satu yang paling besar ialah ketidakpuasannya akan balasan sang guru, Abu Ali Al-Jubbaie, perihal sebuah permasalahan yang hanya dijawab dengan mengandalkan rasional logika saja yang memang menjadi ciri khas Muktazilah sendiri. Contohnya menyerupai obrolan yang terjadi antara dia dan gurunya dalam permasalahan tiga orang yang meninggal. Pertama, seorang yang meninggal dunia semasa hidupnya dan dia taat. Sedangkan yang kedua, meninggal dunia akan tetapi semasa hidup dia bermaksiat, dan seorang lagi ialah anak kecil.

Abu Ali Al-Jubbaie mengatakan, "Yang pertama akan masuk surga, yang kedua akan masuk neraka, yang ketiga tidak kedua-duanya." Namun, sebab kapasitas intelektualnya yang besar, Imam Abu Hasan tidak gampang puas dengan balasan itu, dia kembali menimpali gurunya dengan pertanyaan, "Lantas apabila anak ini bertanya, kenapa saya ini tidak diberi umur panjang saja? Dengan itu saya sanggup berbuat baik kepada-Mu? Apa yang akan Tuhan katakan?" 

Abu Ali Al-Jubbaie kemudian menjawab, "Allah akan berkata, Aku mengetahui sebetulnya apabila kau Aku biarkan besar, maka kau akan menjadi durhaka dan kufur, maka yang baik bagimu ialah meninggal ketika kecil, padahal Tuhan wajib memperlihatkan yang baik bagi hamba-Nya." 

Dasar teologi Muktazilah ialah al-Ushul al-Khamsah. Salah satu dari dasar-dasar itu ialah al-Adlu, yang merupakan dasar pemikiran mewajibkan Tuhan melaksanakan yang baik bagi hamba-Nya. Selain kebaikan bukan dari Tuhan, pemikiran ini lebih dikenal Fi'lu Shalah wal Ashlah. Hal ini sangat ditentang oleh kita Ahlusunah wal Jamaah, terlihat dari salah satu bait matan legendaris Kharidah al-Bahiyyah yang ditulis oleh Sayyidi Abul Barakat Ahmad Ad-Dardir (1127 H),

من يقل فعل الصلاح وجبا على الإله قد أساء الأدبا

Sesiapa yang menyampaikan wajib fi'li shalah, maka dia telah berburuk etika terhadap Tuhannya.

Karena sejatinya, apapun yang terjadi pada hamba ialah dari Tuhan datangnya.

Kemudian Imam Asy'ari kembali menimpali, "Bagaimana bila yang kedua tadi (yang meninggal semasa hidup bermaksiat) menyampaikan pada Tuhan, "Kenapa tidak Kau matikan saya ketika kecil saja supaya saya tidak bermaksiat pada-Mu?" maka terdiamlah Abu Ali Al-Jubbaie. Itulah puncak keraguan seorang Imam Asy'ari terhadap apa yang diyakininya selama ini.

Salah satu faktor lain yang tak kalah penting ialah bertemunya dia dengan Nabi Muhammad Saw. dalam mimpi. Dalam mimpi tersebut, Imam Asy'ari menerima petunjuk untuk meninggalkan keyakinan rasionalisnya selama ini dan kembali kepada Ahlusunah wal Jamaah. Berikut beberapa untaian syair yang diungkapkan oleh Syekh Sayyidi Hamdun bin Hajj dalam urjuzahnya perihal ilmu tauhid,

وواضعه هو الإمام الأشعري # أتى به من كل شبهة بري

أمره به الرسول رؤيا # فكان أحسن الأنام رأيا

Peletaknya (ilmu tauhid) ialah Imam Asy’ari, dia tiba untuk membebaskan segala syubhat.
Dia diperintah oleh Rasul dalam mimpi, demikian ialah sebaik-baik mimpi.

Tentu saja hal ini mungkin dan memang waqi’ terjadi pada ulama-ulama, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin atau mu’ashir sekali pun. Karena perjumpaan dengan Rasulullah ini banyak diceritakan dalam banyak sekali literatur klasik atau kontemporer, dan merupakan impian setiap orang yang telah tertancap kecintaan dalam hatinya terhadap baginda Rasulullah Saw.

Setelah melihat mimpi tersebut, Imam Asy’ari pun berdiam diri di dalam rumahnya selama 15 hari. Kemudian keluar ke masjid Bashrah dan mengumumkan perihal keluarnya dia dari keyakinan Muktazilah. Disaksikan oleh publik, dia mengatakan:

“Wahai orang-orang sekalian! Barangsiapa yang mengetahuiku maka ia telah mengetahui itu, bagi yang belum mengetahuiku, maka saya tahu akan diriku, saya Fulan bin Fulan, saya telah menyampaikan bahwa Al-Quran itu ialah makhluk, saya juga menyampaikan bahwa Tuhan tidak sanggup dilihat dengan mata di akhirat, dan juga saya telah meyakini sebetulnya hambalah yang membuat perbuatan mereka sendiri, maka hari ini saya telah bertaubat dari keyakinan Muktazilahku dan berpindah ke sisi yang menolak Muktazilah dan banyak sekali kerancuannya."

"Wahai orang-orang sekalian! Aku memang telah menghilang beberapa waktu ini untuk merenungi hal ini dan saya telah mempunyai cukup dalil (untuk menolak Muktazilah). Aku telah memohon hidayah dan petunjuk-Nya, kemudian Dia menuntunku kepada iman yang saya yakini kini dan saya menulis kitab tentangnya. Maka saya benar-benar telah melepas keyakinanku akan Muktazilah sebagaimana saya melepas bajuku ini! (seraya melepas baju dan melemparnya, kemudian memperlihatkan kitab kepada orang-orang perihal iman yang dia anut ketika itu).”

Hal ini benar-benar menggentarkan Muktazilah, seorang bibit masa depan Muktazilah tiba-tiba menjadi lawan mereka di meja-meja perdebatan. Bahkan para ulama berkata, “Dulu sebelum Imam Abu Hasan Asy’ari muncul, para hebat bid’ah (pembawa anutan sesat yang merusak muka bumi menyerupai Muktazilah dan lain-lain) mengangkat kepala mereka dengan sombongnya. Namun ketika datang, beliaulah yang menggiring mereka ke lubang semut (menghancurkan argumen dan menjatuhkan mereka). 

Pemikiran yang Imam Asy’ari perkenalkan yaitu memadukan antara rasionalis yang diiringi dengan pagar tekstualis merupakan dua kekuatan besar ketika itu, dan menjadi penengah keduanya. Metode tawasut yang hari ini Al-Azhar serukan ialah apa yang berusaha Imam Asy’ari perkenalkan dulu. Pasca melemahnya teologi Muktazilah, Asy'ariyyah yang dinisbatkan pada dia menjadi formula gres dalam memperbaiki kekacauan banyak sekali golongan ketika itu. 

Memperkenalkan anutan iman yang lebih metodologis dan sistematis menjadi nilai lebih. Karena pada ketika itu belum ada aliran teologi yang terstruktur dan bisa dipegang masyarakat. Pasalnya, Muktazilah yang ketika itu menjadi aliran teologi negara cenderung hanya bisa dipahami kalangan-kalangan terdidik saja, dan sulit dipahami oleh orang awam sebab keterbatasan berpikir.

Imam Asy’ari juga senantiasa meneruskan buah pikirnya itu kepada murid-muridnya, diantaranya ialah Abu Husain Asy-Syairazi yang merupakan ajun Imam Asy’ari, Abu Bakar Al-Qaffal Asy-Syasi, Abu Hasan Al-Bahili, Abu Sahl Ash-Shu’lukiy, Abu Bakar Al-Baqilani, Ibnu Faurak, dan banyak lainnya. Di bawah didikannya, dia telah menelurkan cahaya-cahaya umat dari masa ke masa sampai hari ini.

Karya tulis Imam Asy’ari juga sangat banyak, diantaranya adalah:

• Al-Ibanah ‘an Ushuli Ad-Diyanah yang merupakan kitab termasyhur beliau.

• Al-Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli Zaigh wal Bida’

• Risalatu Ahlu Atsaghr

• Al-Fushul fi Raddi ‘ala Mulhidin

• Imamatu ash-Shiddiq

• Khalqul A’mal

• Ar-Raddu ‘ala Mujassimah

• Maqalatul Mulhidin

• Maqalatul Islamiyyin

• An-Naqdhu ‘ala Al-Jubbaie

• Dan lain-lain.

Asy’ariyyah pun yang ketika itu merupakan role model menjadi representasi dari Ahlusunah wal Jamaah bersama paham Maturidiyyah. Sayyid Musthafa Az-Zabidiy dalam kitabnya Ittihaf Saadatul Muttaqin mengatakan:

إذا أطلق أهل السنة و الجماعة فالمراد بهم الأشاعرة و الماتردية

Apabila disebutkan Ahlusunah wal Jamaah, maka yang dimaksud ialah Asya'irah dan Maturidiyyah.

Akhirnya, pada tahun 324 H, Abu Hasan Asy’ari wafat sesudah jasa besarnya dalam mengubah keadaan umat Islam serta menjadi seorang pembaru di zaman tersebut. Pasca dia wafat, ada ungkapan dari ulama,

وكل أهل السنة باكون عليه, متوجعون لفقده, و كل أهل البدعة مرتاحون منه

Setiap ahlusunah menangis atas wafatnya beliau, menderita atas kehilangannya, dan setiap hebat bid’ah lega akan wafatnya beliau. Rahimahullahu ta’ala wa radhiya ‘anhu.[]

*Penulis ialah mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
banner
Previous Post
Next Post