*Darul Quthni
yandex.com |
Jika saudara berkunjung ke Aceh, lihatlah, akhir-akhir ini perangai nelayan di dermaga pelabuhan semakin eksotis dan dinamis. Di atas kapal, ayah jingkrak-jingkrak, Bantimoh mencebur ke dalam air maritim dengan besutan badan ke langit, Lehman sudah membeli satu kapal lagi. Dan ada yang mencemaskan, kudengar Muhammadon mengajak Kepala Mukim melaut. Sebelumnya insiden itu belum pernah kudengar. Sejak kapan Kepala Mukim mau ikut ke tengah lautan kecuali memang ditakut-takuti Muhammadon jikalau Kepala Mukim tak mau ikut, hak dan distribusi ikan segar melalui pelapak—Diwa—ke Mukim Lambaro Skep akan diterminasi. Oleh alasannya yaitu itu, jadilah Kepala Mukim memikul jabatan sebagai kepala tertinggi di kapal gres milik Lehman.
Kali ini kutitipkan kedai kepada Cut Nada, saya ingin ke Lambaro Skep. Nada kembali tersenyum untuk ke sekian kali. Kusampaikan kepadanya, saya ingin pergi ke pelabuhan di awal pagi, saya ingin melihat eksklusif gerak laris serasi antara ayahnya dan ayahku. Cut Nada tersipu malu. Sebentar, saudara, sebentar, tampaknya ada yang mendesak pikiranku, bunyinya menyerupai ini: "Bang Bagia, teladani keharmonisan ayah abang, perempuan banyak mengharapkan pria pengemban keharmonisan."
Sesampai di sana, tujuh puluh meter lagi kapal ayahku akan merapat ke dermaga. Aku tengah menyimak gemeletuk kapal yang mencabik-cabik permukaan air itu. Ayah melambaikan tangan sembari membuka topi kedap airnya. Ia sanggup menandai ciri-ciri jikalau saya duduk bertinggung sambil menunggu. Semakin dekat kapalnya, semakin terang kulihat di tengkuknya garis dan lipatan kian legam. Wajarlah, berhari-hari ia bergelung di tengah laut. Entah badai, matahari, angin, pelbagai kesukaran dilewatinya.
"Gam, sendiri saja kamu di situ. Loncatlah kemari, bantu ayah memilah ikan," ujar ayah. Bantimoh menyiapkan keranjang rotan.
Di sela-sela keramaian dermaga, sudah tampak kepadaku seseorang dengan topi pandan, berjalan menjinjing dua keranjang rotan sedang. Ialah Diwa, ayahnya Cut Nada. Lalu kuberitahu ayah. Dari kejauhan sana, senyuman tak henti-henti terpancarkan. Mungkin dari situlah awalnya keharmonisan dalam persaudaraan antara kaum nelayan dan kaum pelapak terjalin akrab. Perlahan kutelaah setiap inci-inci senyuman di wajah Diwa, kudapatkan lekak-lekuk di bibirnya persis menyerupai yang kulihat di bibir Cut Nada. Saudara, memang, saudara, siapa saja yang dilempari dengan senyuman itu, pasti tak ada yang akan membelot ke arah manapun, senyuman itu layak ditahan dengan wajah-wajah kita bila ketika itu dirundungi kepayahan.
Satu jam sehabis itu, pintaku ke ayah makbul, saya akan ikut Diwa ke pasar mukim Lambaro Skep. Di sana, saya bertanya kepada orang-orang, ada apa gerangan Kepala Mukim tertarik untuk melaut? Diwa terhenyak mengetahui hal itu. Orang tiba dengan majemuk jawab, ada yang bilang: Pak Kepala Mukim mencoba membentuk jati diri, ada juga: Pak Kepala Mukim sudah gantung kemudi kepemimpinan, ada juga: Pak Kepala Mukim sedang kena jebakan politik kejang-kejang Muhammadon.
Hari itu, kunikmati pengamatan berjam-jam dengan orang-orang Lambaro Skep. Kuamati lebih dalam lagi ketika orang-orang tiba ke lapak ikan milik Diwa, membeli dua hingga tiga tumpuk ikan dencis sekaligus. Di pengakhiran interaksi jual beli selalu Diwa sisipkan kata: Terima kasih banyak, Pak, Bu. Dan jikalau ia tak lupa, maka ditambahkannya: besok mampir lagi, Pak, Bu. Kemudian senyum antara penjual itu dan pembeli tersimpul-simpul.
***
Semuanya telah kembali, sehabis hampir tiga pekan Diwa tak menggelar lapak. Dan ayah telah berada di jalur klisenya. Bagi ayah dan Bantimoh, melaut yaitu kebahagian stereotip yang diombang-ambing tornado nasib. Berpusar di tengah-tengah kehidupan.
Untuk kebaikan kemarin, saya berterima kasih kepada Cut Nada, yang seharian sudah menjaga kedaiku. Pasti ia merasa gamang dihadapi dengan pelanggan dari Aceh Barat yang suka minta turun harga tanpa sebab. Meminta dan menuntut dispensasi harga sudah menjadi gaya hidup orang Aceh Barat. Aku juga berterima kasih banyak, dan sebesar-besarnya kepada orang Aceh Barat, dari mereka saya tahu cara melatih kesabaran.
Sampai-sampai Pak Gubernur mengatakan: orang Lhokseudu yaitu hamba-hamba Allah yang teramat sabar. Bunyi kebanggaan itu laksana magnet, menarik banyak wartawan mencakup kebanggaan berbobot itu menjadi rumor. Tahu-tahu, esoknya, isu itu terbit di surat kabar: Prohaba. Dan sejagad Naggroe Aceh membaca Headline tersebut. Burung camar yang hinggap di kapal Ayahku kembali jemawa!
Begitu pula aku, menyayangi Cut Nada, maka hari-hari yang menegangkan kunanti-nanti. Saudara, di Aceh, tak sembarang pria sanggup memanjat kelapa. Namun, bahu-membahu semua mereka bisa, tetapi, mereka katarak akan cara. Dan sempit dada untuk sebuah tempo kesabaran. Maka, kerap terjadi kecurangan di keluharan Lhokseudu, pohon kelapa berstatus—hak milik penuh—keluharan disantroni maling-maling keji dengan cara ditebang, dibalak, untuk dijual air yang berion itu. Kepala desa naik palak.
Akhirnya, batang pohon kelapa yang ditebang maling-maling itu menjadi daerah duduk santai Rakyat Lhokseudu di tepi pantai. Syukurlah, saya punya keberanian, dan literasi senja selalu memesona. Pernah ada dalam hidupku sebuah senja dengan angin keberanian yang mendesak-desak. Maka, kuulur permintaanku kepada Cut Nada duduk bersama menikmati senja di ufuk barat. Di bulan Oktober, kemarau sedang berada di penghujung. Langit senja berlapis-lapis, laksana keberanianku. Namun, selalu ada satu warna yang takkan pernah hadir dalam jiwaku: hitam. Karena saya tak pernah merasa gelap dengan cinta.
Jingga di badan senja, yaitu keberanian memanggil malam tanpa suara. Dia terang-terangan menampakkan diri menjelang sirna. Dan, saya berjalan di waktu senja, menginjakkan kaki di pasir pantai, memberanikan diri menyatakan: "Cut Nada, engkaulah yang kucintai." kemudian senyap tanpa suara.[]
*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 1 Jurusan Ushuluddin