Tuesday, 31 December 2019

Mengapa Mencari Rezeki Yang Haram Padahal Rezeki Telah Dijamin?

Mengapa Mencari Rezeki Yang Haram Padahal Rezeki Telah Dijamin Mengapa Mencari Rezeki Yang Haram Padahal Rezeki Telah Dijamin?


Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Tak pernah merasa kekurangan sedikitpun lantaran Allah Maha Banyak Memberi rezeki

Sebagaimana sudah diketahui dari artikel sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala adalah اَلرَّزَّاقُ (Ar-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) lantaran اَلرَّزَّاقُ merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata اَلرَّازِقُ (Pemberi rezeki), maka ini memperlihatkan kepada makna banyak. Yaitu memperlihatkan banyaknya rezeki yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga memperlihatkan banyaknya hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.
Sehingga اَلرَّزَّاقُ  (Ar-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak untuk seluruh makhluk-Nya.
Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini niscaya diberi rezeki, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (Huud: 6).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
أي: جميع ما دب على وجه الأرض، من آدمي، أو حيوان بري أو بحري، فالله تعالى قد تكفل بأرزاقهم وأقواتهم، فرزقهم على الله
“Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan insan (keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam), maupun binatang, baik hewan darat maupun laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan masakan mereka. Jadi, rezeki mereka dijamin oleh Allah” (Tafsir As-Sa’di, hal. 422).
Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh Allah Ta’ala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Rezeki yang telah ditulis untuk kita niscaya akan hingga ke kita. Tidaklah mungkin satu suap masakan yang sudah menjadi jatah kita akan masuk ke verbal orang lain. Seseorang tidaklah akan mati kalau masih ada satu butir nasi saja yang menjadi jatahnya belum ia makan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai insan bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, lantaran tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut hingga kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram” (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya).
Seandainya kini seluruh insan bersepakat untuk menghalangi rezeki yang yang telah Allah memutuskan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal. Sebaliknya, kini seandainya seluruh insan bersepakat untuk memberi Anda sesuatu yang tidak Allah memutuskan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan bisa melakukannya.
اللهم لا مانع لما أعطيت و لا معطي لما منعت
“Ya Allah, tidak ada satupun yang bisa mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak pula ada satupun yang bisa memberi sesuatu yang Engkau cegah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).
Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk  yang bisa mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka mustahil jatah Anda bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?
Jika Anda mengatakan “Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan usang kayanya! Saya ingin cepat kaya! Rezeki haram lebih cepat dan gampang didapat, apa boleh buat!” Maka kami katakan kepada Anda “Mengapa harus menerjang yang haram padahal rezeki telah dijatah?
Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya selama ini dan merasa kurang, kemudian mencarinya dengan cara yang haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:
  1. Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-sungguh dalam bekerja.
  2. Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih merasa kurang.
  3. Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.
Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa kekurangan, lantaran ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:
  1. Ia sudah tahu perilaku dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam problem rezeki, lalu nekad melanggarnya.
  2. Kurang atau tidak tahu sama sekali perihal perilaku dan prinsip itu, sehingga ia terjatuh kedalam pelanggaran.
Wabillaahi nasta’iin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.

Sikap yang benar terhadap rezeki

1. Rezeki atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla
Sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim terhadap rezeki yaitu Allah-lah satu-satunya Sang Pemilik dan Pemberi rezeki hamba-hamba-Nya. Maka di dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah memberi sebagian makhluk dan mencegah pemberian untuk sebagian yang lain sesuai dengan ilmu, nasihat (kebijaksanaan), dan keadilan-Nya. Demikian juga problem banyaknya rezeki yang diberikan kepada para hamba-Nya, Allah menawarkan kepada sebagian mereka rezeki yang banyak, sedangkan kepada sebagian yang lain sedikit saja. Semua terserah Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, Allah tidak akan pernah zalim kepada mereka. Karena semuanya sesuai dengan  ilmu,hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya. Oleh lantaran itu Allah berfirman,
وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (Al-Baqarah: 212).
Syaikh Abdur Rahmân bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,
ولما كانت الأرزاق الدنيوية والأخروية, لا تحصل إلا بتقدير الله, ولن تنال إلا بمشيئة الله، قال تعالى: { وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Tatkala rezeki duniawi maupun rizki alam abadi tidak akan sanggup diperoleh kecuali dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah, maka Allah pun berfirman {وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}” (Tafsir As-Sa’di, hal. 95).
Allah Maha Mengetahui perihal orang yang kalau dikayakan, maka kekayaannya membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang yang kalau dijadikan miskin, ia bisa bersabar dan beribadah kepada-Nya.
Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya, bahkan qona’ah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa hal ini yaitu pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki halal yang diperolehnya sedikit, namun itu yaitu yang terbaik bagi dirinya.
2. Tujuan penciptaan (tujuan hidup) dan tujuan pemberian rezeki
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
إنما خَلَقَ الله الخَلْقَ، ليَعبُدوه، وإنما خَلَقَ الرزقَ لهم ليَسْتَعِيُنوا به على عبادته
Sesungguhnya Allah membuat makhluk hanya untuk beribadah kepada-Nya dan Allah membuat rezeki untuk mereka semata-mata supaya mereka gunakan rezeki tersebut untuk beribadah kepada-Nya” (Majmu’ul  Fatawa Imam Ibnu Taimiyyah, kitabul Iman, dari http://madrasato-mohammed.com/book232.htm).
Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, lantaran rezeki haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan mengakibatkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa perilaku seorang mukmin yang benar  berbeda dengan perilaku hidup orang-orang kafir:
بخلاف المؤمن فإنه وان نال من الدنيا وشهواتها فإنه لا يستمتع بنصيبه كله ولا يذهب طيباته في حياته الدنيا بل ينال منها ما ينال منها ليتقوى به على التزود لمعاده
“Lain halnya dengan seorang mukmin, meskipun mendapatkan perolehan dunia (yang halal) dan kesenangannya, namun tidak akan ia pergunakan untuk bersenang-senang semata, dan tidak akan ia pergunakan untuk menghilangkan kebaikan-kebaikannya selama hidup di dunia. Tetapi akan ia pergunakan perolehan dunia (yang halal) itu untuk memperkuat diri dalam mencari bekal di akhiratnya kelak” (Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim, hal. 197).
Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram, memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk beribadah kepada Allah.
3. Memahami hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki
Orang yang tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya, padahal ia sudah berusaha mencarinya dengan maksimal, kemudian ia mengikuti hawa nafsunya dengan mencari rezeki dengan cara yang haram, maka hakikatnya ia tidak memahami hakikat perbuatan Allah memberi dan mencegah rezeki. Ketahuilah, bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia” (Asy-Syuuraa:11).
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan perihal hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki,
Demikianlah Ar-Rabb (Allah) Subhanahu, tidaklah mencegah hamba-Nya yang beriman mendapatkan sesuatu dari dunia, melainkan memberinya rezeki yang lebih utama dan lebih bermanfaat, dan hal itu tidaklah didapatkan oleh selain Mukmin. Karena sesungguhnya, Allah mencegah seorang mukmin dari mendapatkan suatu jatah rezeki yang rendah dan sepele dan tidak meridhoi itu untuknya dengan tujuan untuk memberinya serpihan rezeki yang lebih tinggi dan mahal. Sedangkan seorang hamba, disebabkan ketidaktahuannya terhadap masalah yang bermanfaat bagi dirinya dan terhadap kedermawanan, akal dan kelembutan Rabb nya, maka ia tidak mengetahui perbedaan antara sesuatu yang ia tercegah dari mendapatkannya, dengan sesuatu yang disimpan untuknya, bahkan ia sangat tergiur dengan kenikmatan (duniawi) yang disegerakan walaupun rendah nilainya, dan (sebaliknya) begitu rendahnya kecintaannya kepada kenikmatan (abadi/pahala) yang ditunda walaupun tinggi nilainya. Kalau seandainya, seorang hamba itu bersikap adil dalam memandang Rabb nya -namun, kapankah ia bisa bersikap demikian?- tentu ia akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pencegahan-Nya (kepadanya) dari (mendapatkan) dunia dan kelezatannya serta kenikmatannya hakikatnya lebih agung daripada karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pemberian-Nya berupa dunia tersebut. Jadi, tidaklah Allah mencegah hamba tersebut (dari mendapatkan sebagian dari dunia) kecuali untuk memberinya (rezeki yang lebih tinggi), tidaklah menimpakan kepadanya cobaan kecuali untuk menjaganya (dari keburukan), tidaklah mengujinya kecuali untuk mensucikannya (dari dosa), tidaklah mematikannya (di dunia) kecuali untuk menghidupkannya (di Surga)” (Fawaidul Fawaid , libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, hal. 83).
4. Jenis rezeki yang terpenting
Dalam artikel Macam-macam rezeki dan Faidah dari mengimani Nama الرَزَّاقُ (Ar-Razzaaq), telah disebutkan perbedaan antara rezeki umum dengan yang khusus, sebagai berikut kesimpulannya:
  1. Rezeki Allah terbagi dua umum dan khusus.
  2. Rezeki umum terbagi dua, halal dan haram. Berarti orang kafir atau muslim yang fasik, yang mencari atau memakan rezeki yang haram, ia dikatakan telah terpenuhi jatah rezekinya, namun ia tetap dikatakan berdosa lantaran mencari atau memakan rezeki yang haram.
  3. Rezeki khusus terbagi dua, rezeki hati (ilmu dan amal) dan tubuh (rezeki dunia yang halal).
  4. Rezeki hati yaitu tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki tubuh yaitu sarana menuju kepada tujuan terbesar tersebut, maka jangan terlena dengan sarana dan lupa tujuan.
  5. Barangsiapa diberi dua macam rezeki khusus sekaligus, berarti kebutuhannya telah tercukupi dengan sempurna, baik kebutuhan beragama Islam maupun kebutuhan jasmaninya. Dia menjadi hamba Allah yang berbahagia di dunia dan Akhirat.
Dari klarifikasi di atas, sanggup kita pahami bahwa rezeki hati, berupa ilmu dan amal yaitu tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan, berupa rezeki dunia yang halal yaitu sarana tercapainya tujuan terbesar itu, maka harusnya,
  1. Yang menjadi perhatian utama seorang hamba yaitu mendapatkan rizki hati berupa ilmu, petunjuk,iman dan amal.
  2. Mencari rezeki tubuh (duniawi) bagi seorang mukmin, tidak lepas dari konteks mencari rezeki yang terpenting, yaitu rezeki hati (ilmu dan amal), lantaran rezeki tubuh sarana bagi rezeki hati, ditambah lagi bahwa tujuan pemberian rezeki yaitu untuk dipakai beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
  3. Tidak mencari rezeki yang haram, lantaran terdapat bahaya yang keras bagi pelakunya.
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal tanggapan pekerjaan yang haram, silahkan Anda membaca goresan pena Al-Ustadz Muhammad Tausikal hafizhahullah di http://rumaysho.com/muamalah/mencari-pekerjaan-yang-halal-9616
***
Referensi:
  1. Al-Haqqul Waadhihul Mubiin, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, PDF
  2. Fawaidul Fawaid ,libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi.
  3. Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim
  4. Tafsir Abdur Rahman As-Sa’di.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id
banner
Previous Post
Next Post