Sunday, 10 November 2019

Kumpulan Anutan Ulama : “Sholat Perempuan Di Rumah Atau Di Masjid Yang Lebih Utama?” (3)



5. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah

Pertanyaan:

“ Manakah  yang lebih utama : i'tikaf perempuan di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”

Beliau menjawab:

Duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) lebih utama dan hal ini ialah perkara yang tidak ada keraguan (didalamnya)!

Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

(صلاة المرأة في بيتها أفضل)

 "Sholat seorang perempuan di rumahnya lebih utama" dan seterusnya  hingga tamat hadits yang menerangkan bahwa sholat seorang perempuan di rumahnya .lebih utama daripada sholatnya di masjid
Namun, janganlah perempuan tersebut dihentikan dari pergi ke masjid kalau ia menginginkannya. Dengan demikian berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk beribadah) dan tidak mendatangi masjid itu lebih utama baginya.

Akan tetapi (yang perlu diingat) bahwa i'tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di masjid dan tidak sah .dilakukan di rumah

Jika ia ingin i'tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia dipersilahkan mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika menginginkannya, pent.), namun rumahnya lebih utama baginya”.[1]

6. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

“ Apakah perempuan ibarat pria dalam problem sholat sunah Rawatib, Witir, Dhuha, dan duduk di masjid sesudah Fajar (sholat Shubuh) hingga terbit matahari -maksudnya- di kawasan sholatnya? Tolong jelaskan hal ini dan Jazakumullahu khairan”

Beliau menjawab:

Pada asalnya bahwa pria dan perempuan sama dalam problem aturan Syar'i kecuali sesuatu yang ditunjukkan dalil bahwa sesuatu tersebut khusus untuk laki-laki, barulah hukumnya khusus untuk laki-laki, atau (dalil menunjukkan) sesuatu itu khusus bagi wanita,  maka hukumnyapun khusus pula bagi wanita.

Sholat jama'ah, misalnya, terdapat dalil yang menawarkan bahwa ibadah tersebut khusus bagi laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk sholat berjama'ah, dan menunaikannya di masjid.

Adapun wanita, maka ia tidak diwajibkan untuk sholat berjama'ah,  tidak wajib baginya sholat berjama'ah di masjid bersama dengan jama'ah laki-laki, dan tidak wajib pula baginya berjama'ah di rumahnya.

Bahkan bersama-sama (sholat di) rumahnya lebih utama baginya daripada menghadiri sholat berjama'ah bersama dengan jama'ah pria (di masjid), alasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 «لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن»

“Janganlah kalian larang perempuan hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, kalimat yang terakhir ini:
«وبيوتهن خير لهن»

“namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, walaupun tidak terdapat dalam Ash-Shahihain, namun kalimat ini shahih.

Oleh alasannya itu, perempuan itu ibarat pria dalam seluruh permasalan hukum, maka kalau ia sedang bersafar, disyari'atkan baginya untuk melaksanakan ibadah ibarat ibadah yang dilakukan laki-laki, maksudnya ia tidak melaksanakan sholat: rowatib Zhuhur dan rowatib Maghrib, dan rowatib Isya', adapun selebihnya dari sunnah-sunnah lainnya, maka tetap tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana .  .laki-laki melaksanakan hal itu 

Adapun problem duduknya seorang perempuan di kawasan sholatnya di dalam rumahnya hingga terbit matahari, kemudian sholat dua raka'at untuk mendapat pahala umroh dan haji, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang ulama berselisih wacana keshahihannya itu, maka ia tidak bisa  .mendapatkan keutamaan tersebut 

: Karena haditsnya (dalam problem ini) adalah 
(من صلى الصبح في جماعة ثم جلس)

“Barangsiapa yang sholat Shubuh dengan berjama'ah kemudian duduk.... ”, sedangkan perempuan tersebut bukanlah orang yang sholat Shubuh berjama'ah (di masjid), dan kalau ia sholat (shubuh) di .rumahnya, maka ia tidak sanggup mendapat pahala ini, namun, ia tetap berada di atas kebaikan 

Jadi, kalau ia duduk dzikrullah,  mengucapkan “Subhanallah”, “La ilaha illallah” dan membaca Quran hingga terbit matahari, kemudian matahari meninggi, ia melaksanakan sholat sesuai dengan  yang dikehendaki oleh Allah, maka ia berada  di atas kebaikan”.[2]


(Bersambung, in sya Allah)


Penulis : Ustadz Sa'id Abu Ukasyah


***




[1]              . Syarah Sunan Abi Dawud,  Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad : 46/445.
[2]              . Jilsaat Ramadhaniyyah, lisy-Syaikh Al-Utsaimin, rahimahullah (10/19)

banner

Related Posts: