Saturday 21 December 2019

Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa?

Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa?


Berikut ini penulis nukilkan pedoman Islam Web wacana dilema di atas:
Hukum orang yang menentukan pendapat bahwa suatu kasus tidak membatalkan puasa, kemudian beropini bahwa kasus tersebut termasuk pembatal puasa
Pertanyaan:
Seseorang berpegang dengan sebuah pedoman bahwa suatu kasus tidak termasuk kasus yang membatalkan puasa, dia pun mengamalkan pedoman tersebut. Setelah itu dia beropini bahwa kasus tersebut termasuk pembatal puasa, apakah wajib mengganti hutang puasa?

Jawab :
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi, amma ba’du, barangsiapa yang memenuhi kriteria sebagai ulama jago ijtihad[1], kemudian menentukan pendapat bahwa suatu perbuatan tidak termasuk kasus yang membatalkan puasa, misalnya ia menentukan pendapat bahwa berbekam itu bukanlah kasus yang membatalkan puasa atau memasukkan obat lewat dubur dan kasus yang diperselisihkan ulama lainnya, bukanlah termasuk pembatal puasa setelah itu berubah menentukan pendapat bahwa kasus tersebut termasuk pembatal puasa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan ia pun tidak diwajibkan untuk mengganti hutang puasa.
Demikian pula, bila ia seorang yang awam, kemudian mengikuti pedoman ulama yang terpercaya, yang memandang bahwa perbuatan itu bukanlah termasuk pembatal puasa setelah itu, ia mantap dengan pendapat bahwa perbuatan tersebut yakni pembatal puasa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan ia pun tidak diwajibkan untuk mengganti hutang puasanya tersebut.
Hal itu dikarenakan terdapat penetapan yang disebutkan dalam ilmu Ushul, bahwa “Ijtihad yang lebih final tidaklah bisa menganulir ijtihad yang sebelumnya”. Syaikh Abdul Wahhab Khalaf didalam kitabnya Ushul Fikih berkata, “Kalau seandainya seorang mujtahid berijtihad wacana suatu kasus  dan memutuskan suatu aturan tentangnya dengan aturan yang menjadi hasil ijtihadnya, kemudian nampak padanya suatu pandangan lain terhadap kasus itu, kemudian ijtihad barunya membuahkan hasil aturan lain, maka aturan gres tersebut tidak bisa menganulir aturan yang sebelumnya. Demikian pula mujtahid lain yang menyelisihi ijtihadnya pun tidak bisa menganulir aturan tersebut. Hal itu disebabkan:
  1. Ijtihad yang kedua kedudukannya tidak lebih tinggi dari ijtihad yang pertama.
  2. Dan (pada asalnya) tidak ada satu pun ijtihad seorang mujtahid yang lebih berhak untuk diikuti dari ijtihad mujtahid lainnya.”
Menganulir ijtihad yang telah berlalu dengan ijtihad yang sesudahnya mengantar kepada tidak stabilnya suatu aturan dan mengambangnya status kasus tersebut, dan keadaan menyerupai itu memberatkan dan membawa kesulitan.
Telah ada sebuah riwayat bahwa Umar bin Khaththab memutuskan suatu kasus dengan sebuah hukum, kemudian berubahlah ijtihad beliau, namun dia tidak menganulir keputusan aturan yang usang dengan aturan yang baru. Akan tetapi dalam kasus tersebut (untuk kasus baru, pent.), dia cukup memutuskan aturan lain yang menjadi hasil ijtihad keduanya dan berkata, “Hukum (yang pertama) itu sah sesuai dengan keputusan (hasil ijtihad) saya yang lama/pertama. Adapun aturan yang kini ini diputuskan sesuai dengan keputusan (hasil ijtihad) saya (yang sekarang/kedua)”.
Abu Bakar pun memutuskan keputusan dalam beberapa dilema dan setelah itu, Umar menyelisihinya dalam dilema tersebut, sedangkan dia tidak menganulir keputusan aturan Abu Bakar yang telah berlalu. Selaras dengan kaedah inilah, selayaknya dipahami ucapan Umar bin Khaththab kepada Abu Musa Al-Asy’ari pada masa pemerintahan beliau, tatkala dia mengangkatnya sebagai hakim, (beliau berkata) “Keputusan aturan yang telah Anda putuskan hari ini kemudian Anda mengubah keputusan (setelahnya) sedangkan Anda benar dalam keputusan yang kedua tersebut, tidaklah menghalangi Anda untuk kembali kepada kebenaran, lantaran sebetulnya kembali kepada kebenaran itu yakni sebuah kebaikan, daripada tetap berada di dalam kesalahan.” Wallahu a’lam. [2]
Kesimpulan dari pedoman di atas:
Bahwa kaidah Ushul:
الاجتهاد اللاحق لا ينقض الاجتهاد السابق
Ijtihad yang lebih final tidaklah bisa menganulir ijtihad yang sebelumnya (untuk kasus yang lama, pent.)
ini menunjukkan kepada:
  1. Bahwa aturan usang sebagai hasil ijtihad usang tetaplah sah berlaku untuk kasus yang usang dan tidak bisa dianulir dengan aturan gres yang berdasar pada hasil ijtihad baru. Sehingga dalam kasus di atas, orang yang disebutkan tersebut tidaklah diwajibkan untuk membayar hutang puasanya.
  2. Adapun, kasus yang gres dihukumi dengan hasil ijtihad yang baru, bila terjadi perubahan hasil ijtihad.


Allahu Ta’ala a’lam.
***
Catatan kaki
[1] Ijtihad yakni  seorang jago ijtihad mengerahkan kemampuan ilmiyyahnya secara sunguh-sungguh untuk mendapat sebuah aturan Syar’i yang sifatnya dzonni (dugaan)
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post