
8. Sebuah kesalahan ketika membatasi istikharah hanya dalam problem yang jarang terjadi atau problem besar saja
Al-‘Aini berkata dalam kitab Umdatul Qari (7/223) :
“Dalam sabda beliau:
( في الأمور كلها )
“untuk tetapkan segala sesuatu”, ini menyampaikan umum, dan menyampaikan pula bahwa seseorang janganlah menyepelekan suatu kasus sebab kecilnya kasus tersebut dan sebab tidak diperhatikannya suatu kasus tersebut, yang berakibat ia tinggalkan beristikharah tentangnya.
Berapa banyak kasus yang disepelekan, padahal ketika dilakukan, atau ditinggalkannya terdapat ancaman yang besar, oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ليسأل أحدكم ربه حتى في شسع نعله
“Hendaklah salah satu dari kalian meminta kepada Rabb-nya sampaipun dalam permasalahan tali sandalnya.”
Dari sini nampak terang kesalahan ketika membatasi istikharah hanya dalam beberapa keadaan yang jarang atau sedikit terjadi saja.
Bahkan ciri khas seorang muslim yaitu bersandar hatinya kepada Allah, dan memohon petunjuk kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam setiap urusannya yang ia gundah memutuskannya.
Perhatikanlah, bagaimana Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha melaksanakan sholat Istikharah ketika ditawari menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dan dalam Syarah Muslim, An-Nawawi menjelaskan cerita ini dengan mengatakan:
فيه استحباب صلاة الاستخارة لمن هَمَّ بأمر ، سواء كان ذلك الأمر ظاهر الخير أم لا ، وهو موافق لحديث جابر في صحيح البخارى قال : ( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمنا الاستخارة في الأمور كلها ) ، ولعلها استخارت لخوفها من تقصير في حقه صلى الله عليه وسلم
“Didalamnya terdapat petunjuk disunnahkannya sholat Istikharah bagi orang yang menghendaki melaksanakan suatu perkara, sama saja kasus tersebut nampaknya (secara zhahir) baik atau tidak. Dan hal ini sesuai dengan hadits Jabir dalam Shahihul Bukhari, (Jabir) berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami istikharah untuk tetapkan segala sesuatu”, barangkali Zainab beristikharah sebab ia khawatir tidak bisa memenuhi hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (saat menjadi istinya kelak).
Sebuah pertanyaan diajukan ke Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Liqoaatul Babil Maftuh:
“Fadhilatusy Syaikh! Apakah sholat Istikharah dua raka’at disyari’atkan hanya dalam kasus yang tidak terang maslahatnya, atau sholat Istikharah (itu dilakukan) di setiap kasus yang ia hendak melakukannya, meski nampaknya (secara zhahir) baik, menyerupai menjadi imam masjid, atau meminang perempuan yang sholehah, atau yang semisal itu? Saya mohon penjelasannya.”
Ringkasan tanggapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin yaitu bahwa Istikharah itu berarti memohon kepada Allah pilihan terbaik dari dua pilihan berupa: melakukan, atau meninggalkannya, tatkala seseorang gundah memutuskannya, tidak tahu bagaimana nanti akibatnya, dengan cara sholat sunnah dua raka’at, kemudian berdoa Istikharah.
Bukanlah seseorang beristikharah dalam segala urusan, akan tetapi ia beristikharah hanya dalam urusan yang tidak tahu bagaimana nanti akibatnya, contohnya :
Bertugas menjadi imam masjid, ditinjau dari sisi asal amalannya maka bertugas menjadi imam masjid yaitu amalan yang mulia, namun ditinjau dari sisi risikonya bagi diri seseorang, seseorang tidak tahu di masa akan datang, apakah ia bisa melaksanakan kiprah tersebut dengan baik atau tidak? Apakah cocok dengan sifat jama’ahnya atau tidak?
Berapa banyak orang yang diangkat jadi imam masjid, ternyata ia tidak bisa menunaikan kewajibannya dengan baik, dan bermasalah dengan jama’ah masjid sehingga ia berangan-angan seandainya ia dulunya tidak menjadi imam masjid!
Demikian pula menikah dengan perempuan sholehah, terang seorang perempuan sholehah yaitu sosok perempuan yang baik yang didorong untuk dinikahi, namun kita tidak mengetahui akhir menikahinya di belakang hari. Bisa jadi sesudah menikah perempuan tersebut tidak cocok dengan ibunya atau dengan keluarga besarnya yang cemburu buta kepadanya, sehingga mereka menginginkan kerusakan rumah tangganya.
(Bersambung, in sya Allah)
***
Penulis : Ust. Sa’id Abu Ukkasyah
Sumber : Muslim.or.id