Tuesday, 5 November 2019

Ulama Mujtahid Vs Pengamat Politik

low light photography of armchairs in front of desk Ulama Mujtahid vs Pengamat Politik    

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، وأصلي وأسلم على من بعثه ربه رحمة للعالمين، وعلى آله وأصحابه، ومن اهتدى بهديه واستن بسنته إلى يوم الدين. أما بعد


Dalam goresan pena bertajuk “Anda seorang Politikus? Bercerminlah!” telah dijelaskan siapakah yang berhak memberi evaluasi & solusi dalam masalah Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i (penentu taktik politik yang syar’i).

Nah, dalam goresan pena ini, Anda diajak memahami apakah perbedaan ulama mujtahid / ulama jago ijtihad dengan pengamat politik yang awam (baca: bukan ulama mujtahid) dikala berbicara persoalan politik? Agar kita semakin sadar hanya ulama jago ijtihad lah yang berhak memberi evaluasi dan solusi dalam masalah Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i.

Perbedaan tersebut yaitu :
  1. Seorang ulama mujtahid yaitu orang yang jago berijtihad dan jago berfatwa. Karena telah terpenuhi syarat berijtihad yang ma’ruf disebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Adapun selain mereka yang bukan ulama, jauh dari terpenuhi syarat bisa berijtihad dan berfatwa.
  2. Seorang mujtahid membangun fatwanya atas dasar ilmu syar’i yang kokoh. Adapun orang awam mendasarkan komentar politiknya atas dasar kebodohan atau ilmu politik barat, yang banyak bertentangan dengan Islam.
  3. Seorang mujtahid kalau salah dalam berijtihad dan salah berfatwa, maka tidak berdosa bahkan mendapat pahala. Sebagaimana dalam hadits Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
    (إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإن اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر)
    Jika seorang Hakim berijtihad kemudian benar,maka dia mendapat dua pahala,dan kalau seorang Hakim berijtihad kemudian salah,maka dia mendapat satu pahala” . Muttafaqun ‘Alaihi.
    Mengapa kalau salah tidak berdosa bahkan tetap sanggup pahala? Karena mereka memang jago berijtihad (memiliki kemampuan untuk berfatwa) serta telah mengerahkan seluruh kemampuannya dalam berfatwa,berarti dia telah bertakwa semaksimal kemampuannya. Adapun selain Ulama Ahli Ijtihad, maka kalau salah berkomentar, dia berdosa dan tidak ada udzur baginya. Karena bukan ahlinya sehingga berbicara tanpa ilmu.
Bagaimana kalau seandainya pendapat orang yang bukan Ulama tersebut kebetulan benar ?
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa seandainya kebetulan benar sekalipun, maka tetap tercela. Mengapa? Karena pada asalnya dia bukan ahlinya dan berbicara tanpa ilmu Syar’i. Ibnu Taimiyyah ـ رحمه الله ـ berkata :
ومن تكلم في الدين بغير الاجتهاد المسوّغ له الكلامَ وأخطأ فإنّه كاذب آثم
Dan barangsiapa berbicara dalam persoalan Agama Islam tanpa dasar Ijtihad yang Syar’i kemudian terjatuh dalam kesalahan maka dia dikatakan orang yang salah dan berdosa
Kemudian dia membawakan dalil dari Hadits yang shahih,bahwa Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
القضاة ثلاثة قاضيان في النار وقاضٍ في الجنة، رجل قضى على جهل فهو في النار، ورجل عرف الحق وقضى بخلافه فهو في النار، ورجل علم الحق فقضى به فهو في الجنة
Para Hakim itu terbagi menjadi 3 tipe ,2 masuk Neraka dan satu Hakim yang masuk Surga. Yang pertama : Seseorang yang memutuskan Hukum Syar’i atas dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi kebenaran-pent) terancam masuk Neraka,kedua : Seseorang yang mengetahui Kebenaran dan memutuskan Hukum Syar’i  dengan menyelisihi Kebenaran maka dia terancam masuk Neraka,ketiga : Seseorang yang mengetahui Kebenaran dan memutuskan Hukum Syar’i  sesuai dengan Kebenaran,maka dia masuk Surga”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadits ini shahih)
Perhatikan tipe yang pertama dalam hadits ini: seseorang yang memutuskan aturan Syar’i atas dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi kebenaran-pent) terancam masuk neraka, alasannya berbicara tanpa ilmu.
Akhirul kalam, marilah kita menahan diri berkomentar tanpa bimbingan ulama. Tentang solusi kejadian-kejadian gres ihwal perpolitikan nasional apalagi insiden politik antar Negara atau politik internasional yang menyangkut nasib masyarakat luas. Apalagi terkait dengan darah kaum Muslimin, jihad dan yang lainnya. Mari kita memohon derma kepada Allah kemudian kita serahkan kepada ahlinya; para Ulama Mujtahidun.
Serta marilah kita mendidik diri dan keluarga dengan shighorul’ilmi qobla kibarihi, dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu yang tinggi. Jangan sibukkan diri kita dengan ilmu-ilmu yang tinggi sebelum hingga kepada tingkatannya.
Imam Imam Malik  ـ رحمه الله ـ dikala ditanya ihwal menuntut ilmu Syar’I menjawab :
كله خير ولكن انظرإلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه
Semua disiplin Ilmu Syar’i baik,akan tetapi perhatikan ilmu-ilmu yang anda butuhkan dalam keseharianmu, maka dahulukan mencari Ilmu tersebut
و الله أعلم بالصواب
[Diolah dari Madarikun Nadhor fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani, dengan penambahan]
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Dipublikasi ulang dari Muslim.Or.Id

banner
Previous Post
Next Post