Monday 23 December 2019

Fikih I’Tikaf (4)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (4)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’  mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
Yaitu menetap di masjid untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Penjelasan :
Maksud perkataan penulis rahimahullah  : لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى (untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’alayaitu :
bahwa tujuan i’tikaf yaitu konsentrasi penuh untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dikrullah, tilawah Quran dan ibadah lain yang semisalnya serta tetapkan diri dari kesibukan duniawi. Inilah maksud i’tikaf yang disyari’atkan. Jadi, bukanlah tujuan i’tikaf itu untuk memisahkan diri dari insan atau menetap di masjid  agar dapat bertemu dengan sahabat sehingga dapat saling mengunjungi dan ngobrol kesana-kemari, bahkan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang sedang beri’tikaf kemudian dikunjungi oleh teman-temannya dan asyik ngobrol kesana-kemari, yang tidak ada faedahnya, maka hakekatnya dia tidak memenuhi ruh i’tikaf, sebab ruh i’tikaf itu yaitu menetap di masjid untuk melaksanakan ketaatan (baca: beribadah) kepada Allah Ta’ala.
Memang benar, seseorang yang sedang beri’tikaf dibolehkan berbicara dengan sebagian keluarganya untuk suatu keperluan, namun hal itu tidaklah pantas dilakukan secara berlebihan.
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah,
و الاعتكاف لابد أن يتوفر فيه نية لطاعة الله ، بأن يكون المقصود منه طاعة الله سبحانه و تعالى. أما الاعتكاف الذي يقصد منه الرياء و السمعة أو يقصد منه الابتعاد عن الناس أو الانعزال عن الناس، وهو لم يقصد بذلك الطاعة و الأجر و الثواب، فهذا لا يسمى اعتكافا
“Ibadah i’tikaf haruslah terpenuhi niat untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah, yaitu: tujuannya yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun i’tikaf yang tujuannya pelakunya ingin dipuji dengan menyampaikan atau memperdengarkan ibadah yang dilakukan kepada insan ataupun tujuannya untuk menjauhi insan (menyendiri), sedangkan dia tidak bertujuan melaksanakan ibadah dan mendapat pahala dalam aktifitas i’tikafnya, maka ini hakekatnya bukanlah ibadah i’tikaf!”
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Apakah saat seseorang yang sedang i’tikaf menyibukkan diri dengan aktifitas menuntut ilmu Syar’i (pengajian) itu berarti menghilangkan ruh i’tikaf?”
Beliau menjawab:
لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.
“Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu Syar’i merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, namun i’tikaf itu untuk ketaatan-ketaatan khusus, menyerupai shalat, dzikir, membaca Quran dan ibadah lain yang semisalnya.
Namun, tidak mengapa seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) menghadiri pengajian dengan satu atau dua pelajaran dalam sehari atau semalam, sebab hal ini tidak mengurangi kesempurnaan i’tikaf.
Akan tetapi kalau majelis-majelis taklim (pengajian) tersebut terus-menerus (dihadiri), sehingga mu’takif itu sibuk membaca pelajaran-pelajarannya dan banyak pula menghadiri majelis-majelis taklim sehingga menyibukkannya dari melaksanakan ketaatan-ketaatan khusus (yang sudah disebutkan di atas), maka ini tidak diragukan lagi bahwa i’tikafnya menjadi berkurang kesempurnaannya, namun saya tidak menyampaikan hal ini menghilangkan ruh i’tikaf (secara totalitas)”.
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post