Perbedaan Ḥaqqun dan Biḥaqqin
Syaikh Muḥammad bin Shaliḥ Al-‘Utsaimin raḥimahullāh menjelaskan bahwa ḥaqqun lebih sesuai dengan Al Quran. Hal ini sebagaimana firman Allah,
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
Żālika bi`annallāha huwalḥaqq
“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, yaitu alasannya yaitu sebetulnya Allah yaitu (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).
Adapun biḥaqqin, maka jār dan majrūr adalah khabar yang berafiliasi dengan kata yang tidak disebutkan, yaitu kā`in ‘ada’. Dari klarifikasi Syaikh Al-‘Uṡaimin di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa penafsiran lā ilāha illallāh dengan lā ma‘būda ḥaqqun illallāh lebih utama, alasannya yaitu lebih sesuai dengan Alquran dan tidak membutuhkan kata yang tidak disebutkan. Wallahu a’lam.
3. Huruf Illā
Huruf illā berfungsi sebagai alat eksepsi (pengecualian). Huruf illā yang disebutkan sehabis huruf lā berfungsi untuk membatasi sesuatu. Bentuk pembatasan yang menyerupai ini termasuk bentuk pembatasan yang terkuat dalam gaya bahasa Arab. Dalam lā ilāha illallāh, abjad illāmemiliki dua fungsi, yaitu alat eksepsi dan alat pembatas. Hal ini menunjukkan bahwa lāilāha illallāh bermakna sesembahan yang benar hanyalah Allah semata, bukan selain-Nya atau tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.
4. Lafadz Allāh
Kata Allāh berkasus nominatif (marfū‘). Kedudukannya sebagai badal (pengganti) dari khabar lā (1), yaitu ḥaqqun, bukan sebagai badal (pengganti) dari ism lā, yaitu ilāh karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
Żālika bi`annallāha huwalḥaqq
“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, yaitu alasannya yaitu sebetulnya Allah yaitu (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).
Kata Allāh pada lā ilāha illallāh tidak berfungsi sebagai khabar lā, karena lā nafiyyah liljinsihanya member imbas pada ism nakirah (nomina indefinit) (2).
Makna Lafadz Allāh
Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu ‘anhu menjelelaskan bahwa makna lafaẓ Allāh adalah yang mempunyai kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) dari seluruh makhluk-Nya (3).
[Bersambung]
Rujukan
- Syarh Ath-Thohawiyyah, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, http://shamela.ws/browse.php/book-934/page-28
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, hal.21.
- Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id