Wednesday, 4 December 2019

Metode Al-Qur’An Dalam Memerintah Dan Melarang Hamba Allah Yang Beriman (8)

an Dalam Memerintah dan Melarang Hamba Allah Yang Beriman  Metode Al-Qur’an Dalam Memerintah dan Melarang Hamba Allah Yang Beriman (8)


Syukur itu direalisasikan dengan keyakinan, ucapan dan perbuatan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa menjelaskan bahwa syukur itu direalisasikan dengan keyakinan, ucapan dan perbuatan. Oleh alasannya ialah itu Allah Ta’ala berfirman,
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
(13) Beramallah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS. Saba’: 13).
Ayat di atas menawarkan bahwa diantara wujud syukur ialah bersedekah sholeh, maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Abu Abdur Rahman rahimahullah,
الصلاة شكر، والصيام شكر، وكل خير تعمله لله شكر
“Salat itu syukur, puasa itu syukur, dan seluruh kebaikan (amal saleh) yang dikerjakan dengan nrimo untuk Allah semata itu ialah syukur” (Riwayat Ibnu Jarir).
Jadi, syukur itu ialah memakai nikmat Allah untuk mengenal-Nya dan beribadah kepada-Nya semata.

Metode Qur’ani ini ialah metode dakwah yang sangat menyentuh hati

Metode dalam mengajak kepada kebaikan serta melarang dari maksiat dengan cara menyebutkan kenikmatan ini termasuk metode Qur`ani yang sangat bermanfa’at dan sangat menyentuh hati orang yang didakwahi, maka selayaknya seorang da’i memakai metode ini dalam dakwahnya. Syaikh Abdur Razzaq hafizhahullah menyampaikan sebuah kisah, suatu saat, ada seseorang yang mendatangi seorang ulama dan memberikan bahwa dirinya ingin melaksanakan zina. Lalu sang ulama pun menasehatinya dengan memberikan kepadanya bahwa ia dipersilakan melaksanakan zina, tapi dengan syarat ia dilarang memakai nikmat Allah untuk berzina.
Mungkinkah orang tersebut melaksanakan zina tanpa memakai kenikmatan dari Allah Ta’ala? Bukankah tangannya, kakinya, dan seluruh anggota badannya ialah nikmat dari-Nya?
Nasehat ini ialah sebuah nasehat brilian. Meskipun secara eksplisit sang ulama seolah memerintahkan untuk berzina, namun bahwasanya ulama tersebut melarang cowok tadi dari zina dengan cara mengingatkan kenikmatan yang ada pada diri orang tersebut.
Cara tersebut ialah suatu nasehat yang tepat, alasannya ialah sudah menjadi kewajiban orang yang memperoleh nikmat untuk bersyukur kepada Sang Pemberi nikmat dengan memakai nikmat tersebut untuk ta’at kepada-Nya, bukan justru menggunakannya untuk menciptakan marah Sang Pemberi nikmat!
Sesungguhnya kasus di atas ada sisi kesamaan dengan firman Allah Ta’ala,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا
(56) Katakanlah: “Berdo’alah kepada mereka yang kau anggap sebagai (tuhan-tuhan) selain Allah, maka (pastilah) mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan ancaman darimu dan tidak pula bisa memindahkannya” (QS. Al-Israa`: 56).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada kaum musyrikin biar mereka berdo’a kepada tuhan-tuhan selain Allah dan memikirkan apakah tuhan-tuhan selain Allah tersebut bisa menghilangkan bahaya, penyakit, petaka dan selainnya dari diri mereka atau bisa memindahkannya dari mereka?
Tentulah tuhan-tuhan selain Allah itu tidak bisa sama sekali melaksanakan hal itu. Lalu apa alasan yang mendorong mereka untuk berdo’a kepada sesembahan selain Allah?
Secara eksplisit, ayat ini ialah perintah, namun bahwasanya ialah larangan dan pengingkaran terhadap perbuatan syirik dalam do’a yang mengandung penetapan bahwa satu-satunya sesembahan yang berhak disembah ialah Allah Ta’ala semata.
[Bersambung]
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post