KALAULAH makna ‘diaspora Indonesia’ menyerupai dikatakan Dino Pati Djalal semasa menjabat Dubes RI untuk Amerika Serikat, yaitu semua orang berdarah dan berbudaya Indonesia yang tinggal di luar wilayah Indonesia, maka tentulah semua orang berdarah Aceh di Mesir yang mayoritasnya mahasiswa, bisa dikatakan diaspora Aceh di Mesir. Setelah tentunya termasuk dalam diaspora Indonesia.
Adapun awal mula kedatangan orang Aceh ke Negeri Piramid ini yang tercatat sejarah, dimulai oleh Syekh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi. Beliau ketua perhimpunan mahasiswa Melayu pertama di Mesir. Syekh Ismail ialah murid Syekh Ahmad Al-Fathani, perintis orang Melayu pertama berguru di Masjid Al-Azhar (1292-1299 H).
Ketika kembali ke Mekkah dia mendorong murid-muridnya untuk berguru di Mesir. Salah satu muridnya yang berangkat ke Mesir ialah Syekh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi tersebut. Di antara sumbangsih dia ialah mentashih kitab-kitab ulama Aceh menyerupai Tajul Muluk dan Jam’u Jawami’il Mushannafat atau yang dikenal dengan Kitab Lapan.
Setelah itu, tak diketahui niscaya berapa jumlah orang Aceh yang tiba menuntut ilmu di “Negeri Para Anbiya” ini. Hingga pada tahun 1974 tercatat ada sepuluh orang mahasiswa Aceh di Mesir. Mereka pun berinisiatif mendirikan paguyuban Aceh berjulukan Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir.
Pemilihan kata keluarga menyiratkan bahwa perkumpulan ini lebih dari sekadar organisasi, tapi juga sebagai keluarga yang saling mengayomi dan menyayangi. Ketua pertamanya ialah Tgk Ilyas Daud, menjabat dari tahun 1974 sampai 1984. Kemudian KMA dipimpin Tgk Azman Ismail (sekarang Imam Besar Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh). Beliau memimpin KMA sampai tahun 1992.
Dengan berjalannya waktu, serta pesona Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya, jumlah orang Aceh di sini pun terus bertambah. Ketika satu generasi selesai, tiba pula generasi baru. Hingga kini umur KMA Mesir telah masuk tahun ke-40 dan jumlah mahasiswa Aceh di Mesir ketika ini mencapai 226 orang.
Di KMA ini pula lahir media cetak pelajar absurd tertua di Mesir, berjulukan Buletin El-Asyi. Merasa perlu wadah kreasi dan komunikasi antaranggota KMA ketika itu, maka Tgk Fakhrul Ghazi (cucu Tgk Daud Beureueh) dan kawan-kawan menerbitkan edisi pertama buletin ini pada 1 Januari 1991. Pimpinan redaksinya dia sendiri. Seiring waktu, pimpinannya terus berganti setiap periode tertentu. Dengan semangat dan kerja keras kru di setiap generasinya, alhamdulillah buletin ini bisa bertahan sampai kini dan akan menuju edisi ke-119.
Masyarakat Aceh di Mesir meski menerima pendidikan dari orang Arab, tapi tidak serta merta lupa pada budaya aslinya. Rapa-i geleng dan saman terus dilestarikan. Bahkan sanggar seni Aneuk Nanggroe KMA sering diminta mewakili Indonesia dalam even internasional di Mesir.
Apabila masuk bulan maulid Nabi Muhammad saw, mahasiswa Aceh di Mesir juga mengadakan kenduri molod. Tidak kalah dengan yang di Aceh, masyarakat di sini juga mendaulat penceramah serta menampilkan grup selawat dan dikee (zikir) memuji baginda Nabi saw.
Tak hanya itu, solidaritas masyarakat Aceh di sini pun sangat kuat. Jika ada keluarga anggota KMA yang meninggal di Tanah Air, akan diadakan shalat mistik bersama dan tidak lupa dilaksanakan tahlilan (samadiah) dan bacaan Yasin sebagaimana di Aceh.
Pembinaan terhadap anggota gres juga selalu dilakukan. Ketika calon mahasiswa gres tiba di Mesir, mereka pribadi dibimbing memahami diktat kuliah tahun pertama. Kemudian diadakan try out ujian menyerupai di kampus, guna menghadapi ujian yang sesungguhnya nanti.
Hidup berdampingan dengan orang Mesir, memberi warna tersendiri bagi diaspora Aceh di negeri ini. Kedermawanan masyarakat pribumi, keikhlasan guru-guru, ketawadukan para masyayikh dan banyak sekali kebaikan yang telah diberikan kepada para penuntut ilmu, menjadi pola yang layak untuk dibawa pulang ke Tanah Air.
Namun, setiap daerah tentu mempunyai kekurangan, tak terkecuali Mesir. Terkadang terdapat perbenturan budaya yang kurang nyaman. Meski begitu, negeri Nabi Musa As ini tak pernah kehabisan pesona untuk menarik pendatang. Apalagi cagar budayanya luar biasa unik dan tua. Al-Azhar dengan manhaj wasathiah-nya pun tak henti-henti mengundang para pelajar Islam untuk menginjakkan kaki di negeri ini.
Tahun ini, misalnya, 13 mahasiswa gres asal Aceh tiba di Mesir untuk kuliah. Mereka ini menambah lagi kuantitas diaspora Aceh di Mesir.
Al-Azhar telah memuaskan dahaga penuntut ilmu agama selama ratusan tahun. Ia anugerah Allah bagi Mesir dan umat Islam. Insya Allah tradisi keilmuannya akan terus berlanjut. Semoga diaspora Aceh yang lahir dan berkembang dari rahim Azhar sanggup mengokohkan dan mewarnai sendi keislaman di Tanah Air ketika mereka kembali kelak.
*MUHAMMAD FAKHRUL ARRAZI, mahasiswa Fakultas Syariah Islamiah Universitas Al-Azhar, Pimred Buletin El-Asyi KMA Mesir, melaporkan dari Kairo
Tulisan ini telah dimuat pada website :