Wednesday 9 October 2019

Asma’ Binti Debu Bakar As-Shiddiq, Pemilik Dua Selendang Dalam Nirwana

Oleh: Nada Thursina*

(Image: ewersfuneralhome.com)

“Death with gaji was better than a life of peace with dishonor”
Asma’ binti Abu Bakar. 

*** 
Asma’ dilahirkan sempurna dua puluh tujuh tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad Saw. ke Madinah. Ibunya berjulukan Qutailah binti Abdul Uzza. Ayahnya, Abu Bakar yang merupakan teman terdekat Nabi, menikahi ibunya sebelum datangnya pedoman Islam. Pada awalnya, untuk waktu yang usang ibunya Asma’, Qutailah, tidak mau mendapatkan pedoman Islam. Namun, sehabis terjadinya Fathu Makkah (Pembebasan kota Makkah), Qutailah pun kesudahannya turut mengikrarkan keislamannya di hadapan Rasulullah Saw. Asma’ lahir ke dunia ketika Abu Bakar masih berusia 21 tahun. 

Asma’ termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam). Ia merupakan saudara seayah dengan Ummul Mukminin, Aisyah RA yang merupakan istri Nabi, dan terpaut usia sepuluh tahun di bawahnya. Dengan kata lain sanggup dikatakan bahwa hubungan Asma’ dengan Rasulullah Saw. merupakan tersambung melalui ikatan ipar. Asma' diketahui pernah meriwayatkan 58 hadis dari Rasulullah Saw. 

Asma’ sangat masyhur dengan julukan Dzatun Nithaaqain (wanita pemilik dua selendang). Ada kisah menarik di balik julukan ini. Saat itu, sebelum Nabi dan ayahnya Abu Bakar ingin melarikan diri dari Makkah lantaran diincar oleh kafir Quraisy untuk dibunuh, Asma’ dengan sigap menyiapkan bekal untuk keduanya semoga sanggup dimakan untuk beberapa hari perjalanan. Namun, sehabis bekal-bekal tersebut siap, Asma’ tak menemukan tali untuk mengikat tempat-tempat masakan tersebut semoga tertutup dan gampang ketika dibawa. Tanpa pikir panjang, ia pun eksklusif merobek selendangnya menjadi dua bagian; satu disematkan kembali di pinggangnya, dan satu penggalan lagi dipakai untuk mengikat tempat-tempat masakan tadi semoga tidak tumpah. Melihat kejadian tersebut, Rasulullah Saw. eksklusif mendoakannya dan berkata bantu-membantu di dalam nirwana kelak ia akan memperoleh dua selendang yang tentunya beribu-ribu kali lebih elok dari selendangnya di dunia. Masyaallah. 

Salehah, bijak, cerdas, berani, dan berintegritas merupakan kata-kata yang paling cocok disematkan kepada sosok Asma’. Bagaimana tidak, ketika Nabi Muhammad dan ayahnya Abu bakar, bersembunyi di gua Tsur demi menghindar dari kejaran sekelompok cowok dari kafir Quraisy yang ingin membunuh Nabi. Asma’ lah orang yang secara belakang layar selalu rutin mengirimkan masakan untuk mereka berdua.

Belum cukup hingga di situ, Asma’ juga sempat ditampar Abu Jahl, lantaran ia tak ingin memberitahu di mana kawasan persembunyian keduanya. Dan tetap bersikukuh untuk tidak memberitahukannya, sekalipun diancam akan dianiaya. Merasa usahanya dalam mengancam Asma’ berakhir dengan sia-sia, Abu Jahl pun kemudian memblokade semua jalan keluar dari kota Mekkah, semoga tak satu orang pun sanggup keluar dari kota tersebut. Begitulah kira-kira citra awal dari keberanian sosok Asma’ yang tak gentar dalam membela agama dan Rasul Allah. 

Menyadari kepergian Abu Bakar bersama Rasul, Abu Quhafah yang merupakan kakek dari Asma’ yang buta, tiba bertandang ke rumahnya Asma’ dan menanyakan apakah ayahnya ada meninggalkan beberapa dinar uang untuk kehidupan makan mereka sehari-hari. Dengan hati yang tulus dan mimik bunyi yang senang ia menyampaikan bahwa ayahnya telah meninggalkan harta yang cukup untuknya dan saudara-saudaranya. Mendengar hal tersebut, Abu Quhafah lantas tak eksklusif percaya. Tidak kehabisan akal, Asma’ pun mengambil sejumlah batu-batuan di luar rumah, kemudian membungkus dan mengikatnya di dalam sebuah kain yang agak tebal. Kemudian ia rabakan permukaan bawah bungkusan watu tersebut di tangan kakeknya Abu Quhafah yang buta tersebut, sambil berkata: 

“Lihatlah Kek, tak usahlah kamu risau dan bersedih hati. Ayahku, Abu Bakar, telah meninggalkan kepada kami harta yang lebih dari cukup.” 

Mendengar hal tersebut Abu Quhafah pun merasa lega dan berkata, 

“Alhamdulillah kalau begitu harta, ini sudah lebih dari cukup untuk Kalian,” ucapnya sehabis meraba bungkusan kain, yang padahal berisi watu tersebut. 

Begitulah bentuk kemurahan serta kelapangan hati seorang Asma’ yang walaupun pada kenyataannya, ia tak mempunyai sedikit pun uang, bahkan untuk makan esok hari. Karena uang sebesar lima ribu dinar yang mereka miliki, telah ia ikhlaskan untuk ayahnya, Abu Bakar, untuk ongkos selama di perjalanan bersama Rasul. Demikianlah kira-kira alasannya yaitu musabbab mengapa Asma’ dinobatkan salah satu dari dua orang shahabiyyat paling senang memberi sehabis Aisyah Ra. Perbedaan antara keduanya adalah, Aisyah mengumpulkan terlebih dahulu hartanya, kemudian ditukarkan ke barang yang berharga kemudian gres di sedekahkan. Jika Asma’ eksklusif saja mensedekahkan seluruh hartanya, tanpa peduli esok hari akan makan apa.

*** 
Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam yang merupakan putra dari bibinya Nabi Muhammad Saw, Shafiyyah binti Abdul Muthallib. Zubair merupakan salah seorang teman yang sudah dijamin masuk surga. Ia merupakan pendamping Rasulullah Saw dan juga termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun. Zubair merupakan sobat sepermainan Asma’ sejak kecil, bersama dengan Ruqaiyyah binti Muhammad dan Thalhah bin Ubaidillah. Sama-sama tumbuh dengan keistimewaannya masing-masing, menciptakan mereka kesudahannya saling mempunyai ketertarikan satu sama lain, dan kesudahannya memutuskan untuk menikah sehabis kepulangan Zubair dari Habasiyah. 

Kehidupan ijab kabul mereka yang berlangsung selama 28 tahun tersebut berlangsung sangat harmonis. Asma’ merupakan seorang istri yang taat kepada suaminya bahkan ia paham betul akan sifat suaminya yang pencemburu. Pernah suatu ketika, ketika sedang berjalan kaki dan membawa berkilo-kilo kurma di atas kepala dari kebun kurma milik suaminya. Tiba-tiba saja rombongan unta Nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya melewati Asma’ yang sedang berjalan. Dengan sigap Rasulullah Saw. menyuruh untanya untuk duduk, semoga sanggup mempersilakan Asma’ untuk naik. Namun, lantaran teringat akan suaminya yang pencemburu dan demi menjaga perasaan suaminya juga, ia menahan diri untuk tidak ikut pulang bersama rombongan Rasulullah, padahal berkilo-kilo kurma ada di atas kepalanya. 

Sepulang dari perjalanan tersebut, Asma’ menceritakan kejadian tersebut kepada Zubair, kemudian Zubair pun berkata, “Demi Allah wahai istriku, padahal saya lebih senang kalau Engkau mendapatkan usulan Rasulullah tersebut daripada harus bersusah payah memikul kurma-kurma tersebut di atas kepalamu sepanjang jalan pulang.” 

Dari pernikahannya ini mereka berdua dikaruniai delapan orang anak: Abdullah, Urwah, Muhajir, Khadijah, Aisha, Assem, Munzir dan Ummul Hasan. Anak pertamanya Abdullah bin Zubair yang merupakan calon orang besar tersebut, berada di dalam kandungan semasa hijrahnya dari kota Mekkah ke Madinah. Dan kelahiran bayi pria tersebut merupakan gosip bangga yang amat sangat dinanti-nantikan kaum muslimin pada ketika itu. 

Bagaimana tidak? Pasalnya sehabis kaum muslimin (Muhajirin) hijrah dari Mekkah ke Madinah, kaum Yahudi yang berada di Madinah pada ketika itu tidak suka dengan kedatangan kaum Muhajirin, dan mengembangkan rumor bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum Muhajirin dengan kemandulan. Namun kabar ini, menjadi isu hoaks semata dan seketika sanggup ditepis sehabis lahirnya anak pria pertama sehabis hijrahnya kaum muslimin ke Madinah dari rahim Asma’. Betapa senang dan hebohnya kaum muslimin baik Muhajirin dan Anshar pada ketika itu. Dengan gegap-gempita Mereka eksklusif memboyong bayi yang masih merah tersebut berkeliling kampung-kampung para Yahudi. Untuk pertanda bahwa dukun-dukun sihir mereka telah berbohong, dan sama sekali tak ada gunanya. 

Sebelum disusui untuk pertama kali, Abdullah dibawa kepada Rasulullah Saw. untuk di-tahniq (dikunyahkan secuil kurma hingga halus kemudian memasukkannya ke dalam ekspresi bayi) dan kemudian didoakan. Ketika Rasul melihatnya untuk pertama kali, dia eksklusif bersabda, “Bahwa dia (Abdullah) laksana domba, yang dikelilingi oleh harimau yang berbulu domba.” Perkataan Rasul tersebut menjadi sebuah isyarat jejak kehidupannya di masa depan. 

Begitulah setelahnya, Asma’ yang merupakan sosok mujahidah tangguh tersebut mendidik Abdullah dengan selalu menanankan rasa keberanian dan ketaatan kepada Allah Swt. Asma’ selalu mendukung setiap langkah yang diputuskan anaknya Abdullah, termasuk ikut hijrah dan menemani putranya tersebut untuk kembali ke Makkah. Asma’ selalu berpesan kepada putranya, untuk selalu berpegang teguh atas apa yang diyakininya merupakan sebuah kebenaran. Dan begitu pun ia harus mengakui dan meninggalkan apa yang diyakininya salah. 

Abdullah pun kesudahannya tumbuh menjadi lelaki yang pemberani, shalih dan taat beragama. Setelah kejadian Karbala dan Hurrah di Madinah, yang kemudain disusul dengan ajal Yazid Bin Mu’awiyah. Masyarakat Hijaz pada ketika itu membaiat Abdullah sebagai khalifah di kota Mekkah. Seusai dilantiknya Abdullah, kota Hijaz menjadi semakin kuat. Ia berhasil mengamankan wilayah Irak dan Iran yang sempat dicemari aliran Syiah yang menyesatkan. Ia juga menempatkan adik kandungnya Mush’ab Bin Zubair sebagai gubernur di wilayah tersebut. 

Sementara di Syams, Bani Umayyah barus saja mengangkat Abdul Malik Bin Marwan sebagai khalifah yang mana merupakan putra Khalifah sebelumnya, yakni Marwan bin Hakam. Melihat wilayah Hijaz yang dipimpin oleh Abdullah meresat kuat, Abdul Malik tidak ingin hanya tinggal diam. Ia pun kemudian mempersiapkan aneka macam cara untuk menundukkan kekuasaan Abdullah bin Zubair. Untuk mengawali rencananya, Abdul Malik tak eksklusif menyerang Hijaz. Ia terlebih dahulu menaklukkan wilayah Irak, Iran, Khurasan, dan Bukhara yang merupakan sumber penghasilan untuk wilayah Abdullah bin Zubair. 

Setelah berhasil menundukkan kota Irak dan sekitarnya, Abdul Malik membentuk pasukan besar yang berasal dari Syiria. Dengan Berkekuatan 40.000 pasukan dan menunjuk seorang komandan perang yang dikenal sangat bengis, dan kejam: Hajjaj Bin Yusuf. Abdul Muluk memerintahkan seluruh pasukannya untuk mengepung kota Mekkah dari segala penjuru dan ingin membunuh khalifah kota Makkah, Abdullah bin Zubair. 

Pasukan Syams ini kemudian melaksanakan pengepungan selama berbulan-bulan sambil terus menyerang kota Mekkah dengan ketapel besar yang berisi batu-batu yang berapi. Sungguh tak sanggup dibayangkan keadaan kota Makkah yang porak poranda pada ketika itu. Bahkan Masjidil Haram dan Ka’bah pun mempunyai kerusakan yang tidak mengecewakan serius. 

Akibat dari penyerangan dan pengepungan yang berbulan-bulan ini, banyak pasukan yang berasal dari Abdullah Bin Zubair mulai gentar, dan mundur sebelum peperangan dimulai. Ada yang malah tiba-tiba berpihak kepada pasukan Hajjaj, lantaran diiming-imingi kenikmatan duniawi olehnya. 

Melihat kenyataan ini, Abdullah tetap tak gentar. Ia tetap masih kukuh dengan pendirian yang telah ia genggam. Di ambang persimpangan pecahnya peperangan tersebut, Abdullah tiba menjumpai ibu yang sangat ia cintai, Asma’ guna meminta semangat. Sekaligus pamit untuk yang terakhir kali kalau memang dalam medan perang nanti ia akan syahid. 

Abdullah kemudian menghampiri Asma’ ibunya di rumah, yang ketika itu sudah berusia sekitar 99 tahun dan sudah tidak sanggup melihat lagi lantaran faktor usia. Ia luahkan segala keresahan hati yang menimpa jiwanya, pada Ibu yang amat ia sayangi tersebut. Ia ceritakan semua kenyataan pahit, bahwa pasukannya melemah dan kekalahan sudah hampir di ambang pintu. Sementara Hajjaj sangat mengincar kepalanya untuk dijadikan persembahan atas kemenangan negeri Syam kepada khalifah Abdul Malik. Ketika mendengar hal tersebut, Asma’ eksklusif teringat akan ramalan Nabi Muhammad atas putranya dahulu ketika gres dilahirkan. Dan sekarang Asma’ sadar bahwa ia juga ditakdirkan untuk semasa dengan kejadian tragis tersebut. 

Sebagai Ibu yang berpengaruh dan selalu menjunjung tinggi akan kebenaran. Asma’ eksklusif berkata kepada putranya tersebut : 

“Wahai Anakku, demi Allah! Engkau lebih tahu wacana dirimu. Jika Kau berada di jalan kebenaran, dan Engkau sedang menegakkan kebenaran tersebut, maka teruskanlah perjuanganmu. Tidakkah Kau ingat betapa banyak teman yang berguguran dengan bergelimangan darah demi menegakkan kebenaran yang sama dengan yang Kau tempuh ketika ini? Janganlah pernah Kau mau diperbudak oleh pasukan-pasukan Bani Umayyah itu. Namun sebaliknya, kalau yang Kau ingini yaitu dunia, Engkau yaitu seburuk-buruknya orang yang telah mencela dirimu sendiri dan orang-orang yang telah berjihad bersamamu.” 

“Namun Bu… Menurut kabar yang tersebar, Hujjaj telah bersumpah kalau ia berhasil membunuhku, ia akan memutilasi semua penggalan tubuhku,” timpal Abdullah. 

“Wahai anakku… Janganlah gentar! Sesungguhnya kambing itu sama sekali tidak mencicipi sakit ketika dikuliti sehabis ia disembelih. Teruslah melangkah! dan teruslah minta petunjuk dan kontribusi Allah. Demi Allah! saya telah tulus atas qadarullah apa pun yang dikehendaki untuk dirimu. Aku akan menerimanya dengan sabar jikalau Engkau ditakdirkan untuk syahid, dan juga sangat senang kalau Engkau ditakdirkan untuk memenangkan pertarungan ini. Mati dalam keadaan terhormat jauh lebih baik Nak, dibanding hidup dengan tenang namun tak mempunyai kerhormatan!” 

Seketika tubuh Abdullah memeluk Ibunya tersebut sambil menyucurkan air mata bahagia. 

“Demi Allah! Sesungguhnya inilah yang benar-benar ingin kudengar dari mulutmu wahai Ibu. Sesungguhnya kedatanganku kemari bukan sama sekali untuk memperlihatkan kelemahan dan keresahanku, apalagi untuk mundur dalam medan perang. Tidak! Tidak sama sekali Ibu. Aku hanya khawatir akan dirimu. Aku ingin menenangkan hatiku dengan melihat eksklusif responmu sebagai seorang ibu, jikalau mendengar anak yang amat ia sayangi, sebentar lagi akan pergi untuk meninggalkannya selama-lamanya. Baiklah Bu… Tekadku sudah semakin kuat. Aku akan segera menuntaskan pertarungan ini!” ucap Abdullah, Sambil mendekap Ibunya erat. 

Asma’ yang ketika itu sudah tak sanggup melihat, tapi masih sanggup merasa, mendapati tubuh Abdullah yang berada dalam pelukannya sudah siap dengan baju perang yang terbuat dari baja. 

“Apa ini wahai anakku?” Sambil meraba-raba pakaian perang milik Abdullah. “Tanggalkan ia segera! Seorang syahid tak butuh ini, untuk mencapai kesyahidannya…” ucap Asma’ dengan tegas dan tegar. 

Begitulah tak usang setelahnya, Asma’ mendengar kesyahidan Abdullah beserta para pasukannya pada Jumadil Awwal 73 H, sehabis 9 tahun masa kepemerintahannya. Dan persis ibarat apa yang telah diperkirakan sebelumnya. Setelah dibunuh, tubuh Abdullah benar-benar disayat-sayat dan kemudian digantung di tiang salib selama tiga hari. Di hari ketiga tersebut, Asma’ tiba untuk menjumpai jasad putranya tersebut. Matanya memang tak sanggup melihat, tapi hatinya sanggup mencicipi segala kepedihan yang terjadi di kawasan tersebut. 

Oleh Abdul Malik bin Marwan, Hajjaj diperintahkan untuk memperlihatkan sedikit hadiah untuk Asma’ sebagai ucapan belaungkawa atas meninggalnya Abdullah. Ketika Hajjaj menyaksikan dari kejauhan bahwa sang ibu sedang melihat anaknya dari jarak yang dekat, Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk membawa Asma’ ke hadapannya. Namun hal ini, tentu ditolak mentah-mentah oleh Asma’. Dengan penuh kebencian ia berkata: “Demi Allah saya tidak akan pernah mau menjumpai seseorang yang telah membunuh anakku”. 

Ketika Hajjaj mendengar hal tersebut melalui perantaranya, ia menjadi sangat marah. Lalu Hajjaj lantas mengancam akan memperlakukan tubuh Abdullah lebih rusak dari yang pernah ia bayangkan kalau Asma’ masih saja bersikukuh untuk tidak menjumpainya. 

Kemudian dengan lantang Asma’ menjawab, “Dia (Hujjaj) mungkin memang telah merusak hidup putraku di dunia. Namun, putraku Abdullah telah merusak hidupnya (Hujjaj) di alam kekekalan kelak! Aku hanya ingin memberikan satu ucapan Rasulullah, bahwa suatu ketika ia pernah bersabda: suatu hari akan muncul dari Bani Tsaqif dua jenis orang, satu seorang pembohong dan seorang lagi merupakan seorang yang kejam nan bengis. Seiring berjalannya waktu, sekarang telah kita ketahui bahwa jenis pertama yaitu Mukhtar Bin Abi Ubaid (yang merupakan Nabi palsu) sedangkan seorang yang bengis nan kejam itu yaitu engkau wahai Hujjaj!” 

Mendegar hal tersebut, Hujjaj hanya sanggup melongo dan eksklusif minggat dari kawasan tersebut. Sedang Asma’ memerintahkan seseorang untuk menurunkan putranya dari tiang tersebut, dan menguburnya dengan layak. Namun, pada beberapa riwayat pernah disebutkan bahwa Hajjaj sempat terlebih dahulu memenggal kepala Abdullah untuk dipersembahkan kepada Khalifah Abdul Malik Bin Marwan di Syam. 

Asma’ binti Abu Bakar wafat beberapa hari sehabis kesyahidan putranya, yaitu pada tanggal 17 Jumadil Awwal, tahun 73 Hijriah. Ia meninggal di usia hampir mencapai 100 tahun, dengan tubuh dan gigi yang masih kuat. Juga dengan memori ingatan yang masih sangat tajam. Wallahu a’lam.[] 

Disarikan dari Buku “Great Woman of Islam, who were given the good news of paradise” yang merupakan versi terjemahan Bahasa Inggris dari kitab Assahabiyyat Al-Jalilat karya Mahmud Ahmad Ghadanfar, cetakan Darussalam.

*Penulis yaitu mahasiswi Al-Azhar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
banner
Previous Post
Next Post