Friday, 18 October 2019

Hari Raya Sebagai Refleksi Hati Dan Jiwa Manusia

Sumber foto: Instagram @everydaycairo

Oleh: Muhammad Syukran*

Kehidupan insan di dunia yakni kumpulan episode-episode bersambung yang dipenuhi oleh usaha menghadapi segala rintangan yang menghambat untuk mencapai harapan dan segala impiannya. Maka insan bila telah berhasil melewati sebuah rintangan akan mencicipi kebahagiaan yang besar. Untuk sanggup melaksanakan pencapaian yang baru, insan perlu berhenti dan mengambil nafas, perlu istirahat dari beratnya pekerjaan dan sejenak melupakannya, kemudian sanggup kembali dengan semangat baru. 

Berhenti sejenak di sini, sanggup dikatakan sebagai halte pemberhentian sementara sebelum meneruskan perjalanan. Perayaan-perayaan yang dilakukan insan bagaikan halte-halte ini, dimana mereka bergembira di hari itu atas keberhasilan yang telah mereka capai sambil mencanangkan keberhasilan berikutnya di masa yang akan datang. Hari-hari raya ini serupa halte pemberhentian daerah bergembira dan bersuka-cita, mengungkapkan kebahagiaan atas capaian dan mencanangkan capaian berikutnya di masa depan.

Manusia membuat banyak hari raya dengan bermacam-macam nama untuk aneka macam peringatan. Peringatan ini sanggup berbentuk keagamaan, kebangsaan atau yang lainnya. Sebagai contoh, di sejumlah Negara terdapat hari raya animo semi, hari kesyukuran, hari raya panen, hari kasih sayang dan hari ibu. Ada juga hari raya nasional memperingati kemerdekaan, di samping aneka macam hari raya keagamaan. Tidak ada bangsa yang tidak mempunyai hari perayaan daerah memperlihatkan suka-cita, merekam kenangan, mengokohkan pujian wacana keluhuran dan memperkuat tekad untuk melanjutkan perjalanan demi kemajuan bangsa. Semua ini yakni hal faktual yang memperlihatkan kebutuhan fitrah insan terhadap perayaan sebagai pendukung pengisian energi gres untuk memulai perjalanan dan melanjutkan perjuangan. 

Sumber foto: Instagram @everydaycairo

Mengingat bahwa agama ada untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, maka agama juga mempunyai hari-hari raya yang dirayakan oleh pemeluknya sebagai jawaban atas keperluan fitrah insan tadi. Sebagiannya ditentukan oleh agama itu sendiri dan yang lainnya dibentuk oleh pemeluknya dan dijadikan sebagai hari raya keagamaan. Tidak ada satupun agama yang terlepas dari pola ini. 


Dari sini kita lihat bahwa agama Islam menjawab keinginan dan merespon fitrah ini secara positif. Karena itu, kita melihat Nabi Saw. ketika tiba ke Madinah dan mendapati kaum Anshar mempunyai dua hari bagi mereka bersenang-senang pada hari itu, Rasulullah Saw. kemudian bertanya: 

 مَا هَذَانِ اليَوْمَانِ؟ قَالُوا يَوْمَانِ كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ  

“’Hari apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab: ‘Dua hari dimana kami bermain-main padanya di masa jahiliyah.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Swt. Telah menggantinya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik; yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri’.” (HR. Abu Daud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Shalah). 

Sebuah hal lumrah bila setiap umat merayakan hari raya mereka dan menunjukkannya dengan menggunakan perhiasan, melaksanakan aneka macam permainan, menyanyikan lagu, hiburan yang masuk akal serta riang bangga dan saling mengunjungi sesama kerabat juga handai-taulan. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ra. pernah mengunjungi putrinya yaitu Ummul Mukminin Aisyah Ra. pada hari raya. Saat itu Aisyah Ra. bersama dua orang budak wanita yang menyanyikan lirik yang diciptakan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu’ats —"Hari Bu’ats" merupakan pertempuran terakhir antara Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj di Yatsrib (Madinah) lima tahun sebelum Hijrah— Abu Bakar kemudian berkata: 

 أَمَزَامِرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُوْلِ الله؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَ أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا  

“Apa pantas— ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Rasulullah Saw. kemudian berkata: “Wahai Abu Bakar, gotong royong setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini yakni hari raya kita.” (HR. Bukhari). 

Juga sabda Rasulullah Saw.: 

( لِتَعْلَمَ يَهُوْدُ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةً وَإِنِّي بُعِثْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ ) 

“Agar orang Yahudi tahu bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran dan bahwa saya diutus membawa agama yang lurus dan toleran.” (HR. Ahmad). 

Kemudian riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. mengizinkan Sayidah Aisyah Ra. menyaksikan orang-orang Habsyi (Ethiopia) ketika mereka bermain pedang pada hari raya. 

Maka jelaslah bahwa Islam yakni agama yang selaras dengan fitrah insan dan tidak menolak sesuatu yang sanggup membawa kebahagiaan bagi seseorang dalam hidupnya. Serta sanggup dipahami juga dua hari raya yang diberikan Allah Swt. untuk kaum Muslimin (yaitu Idul Fitri dan Idul Adha) merupakan bonus bagi mereka yang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. 


Idul Fitri tiba sesudah melaksanakan kewajiban puasa, dan merupakan hak bagi seorang Muslim untuk bergembira dikarenakan telah melaksanakan kewajibannya serta menang atas nafsu syahwatnya selama bulan puasa. Oleh alasannya itu, Rasulullah Saw. bersabda: 

( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ, وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ ) 

“Seorang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan; senang ketika berbuka, dan senang ketika bertemu dengan Tuhannya.” (HR. Bukhari).

Ini memperlihatkan adanya kebahagiaan sesudah melaksanakan kewajiban dalam perjalanan spiritual —berbentuk puasa— di satu sisi, dan di sisi lain terdapat kebahagiaan atas jawaban yang dibutuhkan dari Allah Swt. 

Adapun hari raya kedua yang diberikan agama Islam bagi kaum Muslimin yakni Idul Adha, yang juga tiba sesudah menuntaskan sebuah perjalanan bersifat spiritual dan fisik sekaligus, yaitu perjalanan haji ke Baitullah. Di sini seorang muslim juga berhak untuk merayakan pelaksanaan kewajiban ini dan bergembira dikarenakan telah menyelesaikannya. Secara spiritual, seluruh Muslim di dunia turut serta dalam perjalanan ini. Hati dan jiwa mereka rindu ingin melaksanakan perjalanan penuh berkah ini. 

Beberapa di antara kasus penting yang dilarang luput dari pikiran kita adalah: Bahwa Islam memulai kedua perayaan ini dengan penyatuan hati dan jiwa umat dalam shalat ‘Ied; dengan penyatuan ini terbentuklah ikatan persaudaraan antar sesama, saling mengucapkan selamat, kemudian berbahagia bersama-sama dengan kaum fakir-miskin dalam suasana hari raya, baik dalam bentuk santunan sedekah sunnah sebagai pendekatan diri kepada Allah. Di sisi lain, kaum muslimin mengawali perayaan hari raya dengan shalar ‘Ied untuk memperkuat relasi dengan Allah Swt. 

Sunber foto: Instagram @everydaycairo

Jika Islam membolehkan kaum muslimin bersuka-cita merayakan hari raya dan menunjukkannya melalui perhiasan, kebahagiaan dan hiburan pada batas yang wajar, maka di ketika bersamaan tidak diperbolehkan menyimpang kepada hal-hal negatif yang merusak kebahagiaan itu; baik berupa makan secara berlebihan yang menimbulkan problem pencernaan dan membahayakan kesehatan, atau berupa susila dan kebiasaan yang menimbulkan kesedihan, atau tindakan yang bertentangan dengan pedoman dan nilai-nilai Islam yang lurus dan toleran; yang semuanya bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan insan di dunia dan akhirat. 


[1] Manusia dan Norma dalam Prespektif Islam, h. 196.
[2] Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Shalah.
[3] Shahih Bukhariy, Kitab Al-'Idain.
[4] Musnad Imam Ahmad.


*Penulis yakni Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir.
banner

Related Posts: