Tuesday, 22 October 2019

Selin


Oleh: Darul Quthni*



Sesuai dugaanku, minuman yang dipesan Borzah ialah kopi pahit dan susu. 

Keduanya menggurat perumpamaan, kopi ialah dia yang keras hati dan susu ialah Selin yang lembut hati. 

Bila banyak orang menikmati kopi dengan hisapan rokok, maka Borzah punya cara berbeda untuk merayakan secangkir rezeki; berulang-ulang ia membaca isi matan Al-Ajurumiyah, kitab kesukaannya. Tentunya, seisi warung meraut air muka berbeda-beda melihat Borzah yang berjubah amat tekun berkutat dan merapal isi kitab, dengan suaranya yang tidak mengecewakan keras dan nyaring berpadu riuh dengan semrawut kendaraan yang saling berang-berangan mengklakson. Wajarlah, jikalau setiap siapa saja yang lewat di depannya justru membatin usil "Dasar! si hitam ceriwis". 

Jika di akrab kawasan tinggalnya ada warung kopi untuk bersantai, maka tak akan jauh-jauh ia pergi ke warung Abdul Jalal akrab kawasan tinggalku. Bukan hanya demikian sebab-musabab mengapa ia kerap tiba ke warung Abdul Jalal, tentunya sudah usang ia bercerita kepadaku, bahwa 80 meter ke kanan dari warung Abdul Jalal tumbuh berkecambahlah perempuan bunga di hatinya. Selin. 

Makanya, ia lebih suka duduk di teras warung sewaktu menikmati kopi sembari memandang langit sempurna di atas apartemen Selin. Dan lebih senang duduk agak mendekati pagar jalan demi lebih khusyuk menikmati secangkir susu. Sebuah prinsip besar yang dicamkannya erat-melekat, ialah tak akan mencampuri kopinya dengan susu. Atau sebaliknya. Tidak akan. Titik. 

Dalam naskah Ahmad Borzah bin Makalele, yang terbit dari kepala batinnya sempurna sehabis ia jatuh cinta kepada Selin, berbunyi demikian; cairan kopi pahit layaknya matahari. Dan susu ialah waktu syuruq. Ketika keduanya bertemu lantas lahirlah pagi yang bertamu dalam kopi susu. 

Nah, Borzah pernah duduk membisu mematung, memikirkan kapan angan-angannya akan bertemu Selin? Sehingga sah lah kiranya ia menyebut risetnya bahwa kopi dan susu ialah senyawa. Tepatnya menjadi secangkir 'kopi-susu'. 

Namun ia bakir sewaktu beribadah. Setiap kali sujud, ia berdoa lirih "Ya Allah, baliklah sedikit hati Selin yang lembut itu. Sedikit saja, sedikit saja, sekelumit bulir imanku". 

Borzah sadar, jikalau hati Selin berbalik 360 derajat, sudah niscaya ia tak bisa mencegah degupan hatinya. Pasti kewalahan. Pasti urat-urat di sekujur kepalanya mendidih panas 90 derajat. Makanya ia sangat berhati-hati ketika mengasihi wanita. 

Dalam penantian hasil usulan yang diusulkan Borzah kepada Sang Pemilik Hati, ia tidak terburu-buru, hingga menuntut semoga cepat-cepat terkabul. Tidak begitu. Borzah tidak demikian. Saluthormatlah saya melihatnya, setiap pulang dari warung niscaya ia lebih usang duduk di lantai masjid mendesis-desiskan doa, zikir, wirid, dan mantra ampuh lainya. Untuk meniliknya, saya mengintip dari celah kerawang ornamen dinding masjid Al-Azhar. Menunggu hingga waktu salat isya tiba. 


Hari-hari selanjutnya tiba. Terjatuh suatu pagi yang sejuk ke dalam wajah Borzah. Berembun di mata sedari subuh. Segar. Bugar. 

Waktu melesat cepat, bergeserlah sedikit ke pukul 07:30. 

Jika ditanya hari apa yang paling disukai Borzah, lekaslah ia menjawab sabtu. Lantaran hari libur di Mesir. Makanya, hari ini dia mengajakku untuk memenuhi ajakan tongkrongannya di warung Abdul Jalal. Sukarela saya tiba ke warung dengan mengenakan jubah yang sama warna, sama motif, dan sama hari pembelian. Putih. 

Awal mula, warna yang paling disukai Borzah ialah semua warna yang mencolok. Bukan saja putih, tapi semua jenis yang mencolok. Karena menurutnya, menggunakan pakaian warna yang mencolok bisa beroleh perhatian dan pemahaman orang-orang sekitar bahwa orang Nigeria juga berselera tinggi. Walaupun warna hitam kulitnya sering kali digunjing oleh mulut-mulut pongah. 

"Kemsee, apakah warna kulit gelap ibarat bangsa kami paling hina di muka bumi?" pertanyaan ketiga Borzah kepadaku sehabis sebelumnya ia bertanya soal kamus bahasa arab dan Selin. 

"Tidak juga." sahutku singkat. 

Ia mengeryitkan dahi belum puas dengan jawabanku. 

"Meskipun katamu begitu, saya menganggap warna kulitmu ialah warna kulit sayyidina Bilal bin Rabah, yang tenar suaranya nan merdu." sambungku. 

"Bukannya Allah Swt. tidak melihat rupa, pakaian, dan harta seseorang, melainkan melihat hatinya. Ketika orang hitam ibarat bangsamu jadi materi selorohan, bersabarlah! Hati yang sabar tinggi nilainya di hadapan Allah." jelasku. 

Ia mengangguk. Menyungging senyuman bahagia. 

"Apakah kau tahu bahwa sebangsa Selin juga sejak usang menjadi materi olokan?" 

"Olokan ibarat apa?" tanya Borzah penasaran. 

"NIHAAWW" 

"Ooo" seru Borzah. 

"Menurutku, mereka hanya membalasnya tersenyum atau tertawa dalam hati, menganggapnya sebagai hiburan saja. Sehingga sebuah olokan mentah-mentah berubah menjadi materi tawaan komedi panggung." ujarku. 

Borzah tersenyum. Lekas menghirup kopinya. 

"Bor, kenapa hari ini tidak memesan susu?" tanyaku. 

"Minuman sejenis susu hanya saya pesan ketika saya duduk sendiri" sahutnya tersenyum. Gigi-giginya yang berwarna putih gading menyorot mataku. 

Di balik awan matahari kurang jelas berarak lebih tinggi. Sepertinya seduhan kopi sudah mesti diminum habis. Kami akan berkunjung ke sebuah restoran. 

Peraduan perut kosong selanjutnya ialah rumah makan Nigeria di Hayyu Asyir. Di sini ia akan mengadukan nasibnya yang sudah satu bulan lampau belum mencicip Matoke ala Uganda. 

Oke. Jika dalam perjalanan menuju Hayyu Asyir yang bertolak dari Darrasah ia melihat goresan pena Abbas El-Akkad yang terpajang besar-besar di advertising board jalan, mengawang-awanglah pikirannya di atas langit yang kemudian menghunjam ke bumi kembali, mengenai halte amat lusuh itu. Dua bulan lalu, berbinarlah sekujur air muka Borzah ketika gres saja ia membeli kamus Chinese-Arab cetakan Peking University, yang dibelinya di International Book Fair, kemudian ia berikan kepada Selin. Di halte tersebut lah ia menjulurkan tangannya panjang-panjang mengharap Selin menerimanya. Malamnya, Borzah menginap dirumahku, terbaring mematung di sudut ranjang. Bagai ditembak halilintar sudah hatinya. Senang. Menyala-nyala romannya. Pemberiannya diterima. 

Semenjak tragedi itu, dikurunglah perasaannya rapat-rapat dalam penjara iman. Diawasi ketat oleh taqwa. Tak akan dilepas sebelum Alhamdulillah diizinkan terucap. 

Lima bulan setelahnya. Hari itu jatuh sempurna hari jumat, ketika orang-orang ramai tiba ke Masjid Al-Azhar menunaikan salat jumat. Biasanya, pengajian kitab Ihya'' Ulumuddin diadakan sehabis salat jumat. Mahasiswa-mahasiswa selain Borzah juga berjibun menghadiri pengajian. Tanpa diketahui Borzah, hadirlah dalam kerumunan orang itu Selin, mengenakan jilbab abu-abu. Duduk bersila menyimak klarifikasi seorang Syaikh tanpa sekalipun melirik kanan-kiri. Tetapi, seakar niat sudah tertancap dalam hati untuk sehabis ini ia akan menjumpai Borzah. 

Setahu Selin, titik teduh kesukaan Borzah ialah di samping galon penyediaan air minum yang ada di sebelah utara dalam masjid. Selin menerawang terlebih dahulu. Jika iya, maka akan menyapa ke sana. Dan mustahil tidak ada borzah di masjid Al-Azhar, tegas batinnya. 

Langkah demi langkah kecil ia cicil. Semakin banyak langkah semakin akrab Selin kepada Borzah. 

"Makalele," 

"Yes sir!" sahut Borzah spontan. Biasanya, yang menyebut namanya Makalele ialah mahasiswa-mahasiswa dari Barat, ibarat Inggris, Jerman, dan Prancis. Namun, ketika itu, tertegunlah Borzah, menelan ludah dua kali, sehabis tahu bahwa yang memanggil namanya bukan mereka, ialah Selin. Si perempuan bunga. 

Jika lima bulan yang kemudian ia menyebutnya 'wanita bunga yang tumbuh berkecambah di hati', maka hari ini layak lah kiranya saya dan Borzah menyebutnya perempuan flora dilam, yang harumnya melebihi sepucuk mawar ataupun melati. 

Sekonyong-konyong, dua sepasang suami istri tiba dari arah belakang Selin, diikuti tiga perempuan dan dua laki-laki. Lima menit saya teliti mengerling ke sana, tanpa berani saya mendekat, apalagi bergabung. 

Di sana beberapa hal dibicarakan, beberapa harapan tampak diluapkan. 

Borzah berdiri, beranjak ke arahku. Dia tahu kawasan kesukaanku untuk berteduh sehabis salat jumat, ialah di tiang-tiang pintu masuk masjid. Borzah mendekat, ibarat terkaanku, dia akan berujar sesuatu. 

"Kemsee, saya pilih kau menjadi saksi penikahanku" 

Termangulah aku. Menelan ludah lebih banyak daripada Borzah. Empat kali. 

Tanpa mengucap sepatah kata pun, saya mengiring langkah Borzah menuju Selin dan orang-orang di sekitarnya. Rupanya, mereka ialah orangtua dan saudara-saudari kandung Selin, yang tiba dari Ninxia, Cina, demi menikahkan Selin dengan Borzah. Kesenanganku melihat Borzah tertunduk sebelum kesepakatan ialah selapis kesenangan. Lapisan kedua ialah melihat orangtua Selin meraut senyuman ikhlas-bahagia yang ada di dalam hati mencuat ke permukaan wajah Borzah dan wajahku. Lapisan ketiga ialah ketika kata SAH melentur ke dalam telingaku. 

Syekh Tamim Marzuki sebagai penghulu di pernikahan mereka. Seminggu yang kemudian Selin sudah memberitahu dia bahwa ia ingin menikah dengan Borzah, mahasiswa fakultas Ushuluddin. Syaikh Tamim Marzuki bertanya soal mahar, lekas dengan dada lega Selin menyahut "Kamus Chinese-Arab dan sehelai jilbab abu-abu". "Baiklah" ujar Syekh Tamim Marzuki. 

Semua isi jagat buana seakan karam ke dalam saku-saku jubahku, tak berharga. Yang paling bermakna ialah melihat seorang Borzah menikah dengan perempuan flora dilam. Jikalau Borzah menginzinkanku memperdengarkan isi hatiku tentangnya, berjuta kebanggaan untuknya pasti. Mulai dari bibirnya yang banyak tahmidnya, tasbihnya, dan doanya hingga ke sifatnya yang mengasihi pengemis-pengemis di sepanjang jalan menuju gerbang kuliah. 

Detik-detik kesepakatan nikah menumbuhkan degupan hati yang tak biasa. Riak wajah Selin menggeletar, sesuai hatinya. Bilamana hatinya bisa saya selami, maka rasa syukur yang berbiak pesat saya temukan di pedalaman lautan hatinya. Begitu juga Borzah. 

Dalam benakku, jikalau perihal tampang dan rupa menjadi alasan takut untuk mencinta, anda sudah benar, dan tak perlu menghiraukan yang demikian, sudah! Tak patut dipikirkan beribu kali. Yang perlu dihiraukan ialah adat sopan santun anda kepada Tuhan yang telah menetapkan hukum dan menyediakan sarana. Jangan asal-asalan terobos pembatas demi suka-suka memegang tangan si gadis. Apalagi menggandengnya tangan sebelum nikah. Keterlaluan! Seperti itu nasehat Borzah kepadaku. 

Dalam tongkrongan kami yang ke sembilan kali, Borzah memberitahuku bahwa sarana dari Tuhan untuk mencapai cinta-Nya dan cinta orang yang kita cenderung suka ialah doa. Aturan mainnya, banyak-banyak berdoa, sedikitkan menatap wajahnya apalagi mengajaknya berkencan. Wiih. Cara menyikapi doa-doa yang telah terpinta jangan dengan perasaan buru-buru. Sabarlah sedikit, hingga benar-benar layak kita di mata Tuhan untuk meminang orang yang selama ini sudah menjadi 'wanita flora dilam'. 


*Penulis ialah mahasiswa Al-Azhar asal Aceh.
banner

Related Posts: