Sunday 17 November 2019

Agama Bukan Warisan!

thesheet.ng


Oleh: Tengku Thaiburrifqi Ananda, Lc



Pertengahan Mei ini, media umum dihebohkan dengan goresan pena seorang gadis muda berseragam putih abu-abu perihal warisan agama. Bahwa setiap insan dilahirkan dengan cap agama, ras dan bangsa yang diwarisi dari orang tuanya. Perlu dicatat, pada dasarnya bahwa semua itu diberikan secara serta merta sebagai pusaka layaknya harta warisan.


Benar, bahwa buah tidak bakalan jatuh jauh dari pohonnya. Seorang anak tidak akan berbeda dari kedua orang tuanya. Tentunya kalau kita menyelidiki dari sisi genetisnya. Namun dari sisi lainnya, terlebih hal yang bersifat abnormal belum tentu. 


Banyak kita dapatkan kepribadian sang anak berbeda 180 derajat dari ayah ibunya. Sejarah menandakan banyak orang baik lahir dari keluarga yang buruk, begitupun sebaliknya. Jika ini berlaku dalam unsur kepribadian, konon lagi agama yang merupakan hak prerogatif Tuhan dalam menunjukkan hidayah.

Agama bukan sebuah warisan yang sanggup dihadiahkan seorang ayah kepada anaknya. Ia yakni hidayah yang diperuntukkan bagi mereka yang direstui oleh Sang Pencipta. Bahkan seorang nabi pun tidak sanggup menjamin anaknya beriman.

Contoh halnya anak Nabi Nuh yang tidak beriman dengan agama ayahnya, bahkan ketika banjir bah melanda. Ia lebih menentukan menaiki gunung yang tinggi untuk menyelamatkan diri daripada berlindung pada Allah dengan mengimani agama Nabi Nuh dan menaiki bahteranya. Begitu juga dengan anaknya Nabi Luth.

Memang dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw. menerangkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang akan menuntunnya untuk menganut agama apa kelak nantinya. 

Namun, bukan berarti maksudnya yakni agama itu warisan kedua orang renta si anak. Hadis tersebut menerangkan bahwa si anak akan beragama dengan apa yang diajarkan ayah ibunya. Dan ini tidak bernilai mutlak, artinya si anak sanggup saja menyimpang dari pedoman yang dianut kedua orang tuanya. 

Hal ini sanggup terjadi, alasannya yakni imbas lingkungan dan pergaulan yang digelutinya di luar rumah. Atau juga alasannya yakni buku-buku dan goresan pena yang dibacanya. Lebih ekstrem lagi kalau penyelewengan (baca: berbeda keyakinan dengan orang tuanya) ini terjadi alasannya yakni pemikiran yang berkecamuk dalam batinnya.

Oleh karenanya mengajarkan agama bukan semudah mewariskan harta pusaka yang hanya cukup dengan surat kuasa aturan dengan dibubuhi tanda tangan mereka yang berwenang. Bersyukurlah bagi mereka yang telah diberikan hidayah berkeyakinan dengan agama yang benar.

Kebenaran Mutlak

Dalam goresan pena berjudul warisan tersebut, gadis tadi juga menyampaikan bahwa setiap penganut agama mengklaim bahwa keyakinan merekalah yang benar, padahal semuanya bermuara pada kebenaran yang sama. 

Ia bahkan menukil syair Jalaluddin Rumi yang berisikan bahwa setiap menusia memungut kepingan-kepingan kebenaran yang berbeda dan berpikir itulah kebenaran yang hakiki, padahal semuanya merupakan pecahan dari elemen yang satu.

Jika kita melihat sekilas dan dari satu sisi, ada benarnya juga pendapat gadis cemerlang tersebut. Namun berbeda halnya kalau kita melihat dengan sudut ilmiah dan dari banyak sekali sisi. Penting halnya kita pahami bahwa kebenaran itu mempunyai dua sifat utama. Kebenaran yang mutlak dan kedua yang bersifat relatif.

Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata dan diikuti oleh kebenaran yang dibawa oleh Rasul-Nya. Keabsahan pedoman rasul terjamin alasannya yakni didapatkan melalui wahyu. Selain daripada itu semuanya bersifat relatif. Namun demikian ada beberapa pendapat relatif yang telah dijamin keshahihannya melalui kebenaran yang mutlak. Ijma’ contohnya, yang dijamin kebenarannya oleh Rasul.

Beragama berarti meyakini setiap pedoman yang terdapat di dalamnya, tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya. Saya beragama Islam dan saya meyakini kebenaran agama ini secara mutlak dengan seluruh kompleksitasnya. Jika saya menyampaikan agama lain juga benar, berarti keimanan saya dipertanyakan. 

Dalam Al-Quran terdapat satu surah yang menjelaskan kaidah ini dengan sangat bijak. Surah Al-Kafirun. Menurut banyak riwayat, surah ini turun menjawab seruan kaum Kafir Qurasy kepada Rasul untuk menyembah berhala mereka selama setahun dan mereka berjanji akan menyembah Allah setahun juga. 

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku,” sebuah jawaban yang tegas tanpa sedikit pun kebencian di dalamnya. Kami yakini kebenaran agama kami dan kalian terserah meyakini kebenaran agama kalian. Tidak ada nada paksaan dalam jawaban tersebut. 

Masing-masing penganut agama bebas berkeyakinan perihal keabsahan keyakinannya, namun jangan hingga menjadikannya alasan untuk menghardik dan mencemooh penganut agama lainnya. Saya yakin semua agama tidak mengajarkan kekerasan, terlebih Islam yang tidak sedikit pun memaksa orang lain untuk menganutnya. 

Kita bukan sedang bicara superioritas di sini, sebagaimana yang juga digambarkan dalam goresan pena gadis tadi. Karena hal itu hanya berlaku pada tatanan dunia yang menganut sistem aturan rimba. Yang kuat, yang menang. Namun kita berbicara kebenaran. Setiap kita bebas meyakini sebuah kebenaran, namun perlu diingat bahwa kepercayaan kita itu relatif.

Tentunya di belakang itu semua ada sebuah kebenaran mutlak yang menjadi standar utama. Kebenaran ini akan terus bertahan hingga berakhirnya dunia. Masing-masing penganut agama bebas berkeyakinan perihal keabsahan keyakinannya, namun kalau ia berbeda dengan kebenaran yang mutlak, maka ia tidak sanggup dibenarkan.

Jika kita paham makna subjektif dan objektif, maka kita siap mencari kebenaran tersebut. Karena kebenaran yang mutlak gres sanggup ditemukan kalau ditelaah secara objektif dengan nalar berpikir yang sehat. Tulisan singkat ini mustahil mengcover pembahasan tersebut alasannya yakni butuh kepada berlembar-lembar halaman yang bahkan lebih banyak dari keseluruhan kerangka ini.

Kita sepakati saja dulu di sini, saya beragama Islam dan saya bersyukur mendapat hidayah beragama yang lembut ini serta saya yakin dengan kebenaran agama saya. Jika ada yang ingin meyakini agama lain silahkan, itu hak setiap insan. Tidak ada paksaan di sini. 

Namun, kalau ingin mencari kebenaran, mari sama-sama kita berdialog dan menelaahnya, tentunya dengan beling mata yang objektif. Namun, saya berkewajiban mengajarkan Islam yang benar dan moderat kepada siapapun, alasannya yakni setiap orang berhak melihat keindahan Islam.

Sentimen Rasisme

Gadis yang berjulukan orisinil Asa Firda Inayah itu menuliskan di penghujung status Facebooknya bahwa kericuhan dan kerusuhan dalam suatu negara seringkali diakibatkan alasannya yakni agama. Benar pemikiranmu wahai adinda, tapi apakah agama dalam hal ini sanggup disalahkan?

Jika pedoman agama itu menuntut penganutnya untuk melaksanakan agresi teror dan sebagainya, maka saya yang akan bangkit di garis depan berteriak menyalahkan agama tersebut. Terkhusus dalam hal ini Islam, alasannya yakni ajarannya tidak pernah mengajarkan radikalisme. Namun kalau tidak, mengkambinghitamkan agama yakni pilihan yang tidak bijak. 

Belum tentu agama itu dipahami dengan baik oleh penganutnya. 

Sentimen sosial yang terjadi baru-baru ini di tanah air murni dikarenakan ketiadaan toleransi dalam beragama. Jiwa empati terasa hilang seiring bertambahnya usia Indonesia. Munculnya demam isu masyarakat yang bergabung bersama membela kitab suci mereka merupakan tanggapan dari toleransi yang salah kaprah tersebut.

Kewajiban mereka yakni membela sesuatu yang berdasarkan mereka benar. Makanya jangan sesekali menjelekkan informasi SARA di depan publik, apalagi hingga menghina kitab suci suatu agama pun. 

Timbul pertanyaan, kalau masing-masing menganggap agamanya benar, apakah toleransi sanggup terjalin? 

Jawabannya sangat mungkin. Analoginya menyerupai mengendarai kendaraan di jalan raya. Ada yang bermerk Lamborghini, Volvo, Bentley, Toyota, Honda, Mitsubishi atau bahkan Esemka (jika memang kendaraan beroda empat ini ada). Setiap supir menganggap kendaraan miliknyalah yang sanggup menghantarkan penumpangnya menuju tujuan (baca:kebahagiaan).

Kendaraan tersebut berjalan di jalan raya yang tentunya mempunyai aturan khusus yang harus dijalani. Ketentuan ini harus ditaati bersama kalau tidak ingin terjadinya problem menyerupai kecelakaan dan lainnya. 

Agama berarti kendaraan yang membawa kita menuju kebahagiaan dunia akhirat. Dan kehidupan sosial yakni jalan raya tersebut beserta aturan-aturannya yang kebanyakannya tidak tertulis. Betapa indah mobilisasinya kalau semuanya berjalan sesuai koridor yang ada, tanpa saling menyalip satu sama lain.

Namun lain halnya, ketika ada satu pihak dari salah satu pengguna brand di atas, kita sebutlah Proton misalnya, menjelek-jelekkan kendaraan yang lain, dalam hal ini kita anggap saja Esemka yang menjadi korban. Tentunya, para pengguna Esemka yang baik akan berusaha mempertahankan kehormatannya. Hal ini pastinya akan mengakibatkan polemik yang sanggup saja tak berkesudahan.

Lagi timbul pertanyaan, siapa yang disalahkan? Pengguna Esemka atau Proton? Atau pihak-pihak lain yang memakai kesempatan ini untuk kepentingan promosi produknya, kepentingan politik praktis, laba dagang dan lain sebagainya? Atau malah agamanya?

Kesalahkaprahan dalam bertoleransi ini menyentil sentimen rasisme yang sedari dulu telah dijaga dengan baik oleh leluhur kita. Bukan mustahil setiap kendaraan berjalan tanpa adanya tragedi apapun. Jika setiap rambu dijaga dengan baik.

Namun bukan berarti syiar agama dilarang disebarkan. Dalam hal ini Islam benar-benar menjaga tata krama dalam mengajarkan ajarannya. Ada cara khusus dalam berdakwah sesuai dengan kondisi yang berlaku. Semoga saja, di Indonesia kita masih sanggup mengajarkan agama Islam dengan semestinya tanpa adanya formalitas pemberkasan surat melalui jalur hukum. 

Bayangkan kalau suatu saat, anda dimintai akta beragama yang dikeluarkan oleh Kemenag dengan stempel dan tanda tangan notaris atau sebagainya sebagai bukti agama tersebut telah diwariskan oleh pihak tertentu. Wah, agama sanggup jadi lebih palsu dari sekedar Islam KTP.

*Penulis yakni alumni Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir jurusan Hadis.
banner
Previous Post
Next Post