Tuesday 26 November 2019

Menjadi Perempuan Merdeka Atau Perempuan Setengah Lelaki


Oleh: Yasmin Thahera Al-Ghazi

Kmamesir.org. 29/12/2016. Pada 18 Maret 2005 lalu, Amina Wadud untuk pertama kali bangkit sebagai imam memimpin pelaksanaan salat Jumat. Ritual ini pun diawali dengan azan yang juga dikumandangkan oleh seorang wanita, Suheila El-Attar. Bagi para penggerak feminis ini merupakan satu langkah besar mewujudkan keadilan yang mereka impikan.

Dalam sejarah manusia, aneka macam kunci-kunci yang dijadikan sebagai parameter harga diri wanita. Parameter yang paling umum ditetapkan yaitu standar “kesepertilelakian”. Kita kerap lupa bahwa Allah telah memuliakan perempuan dengan memberinya nilai sesuai dengan hubungannya dengan Tuhan, bukan bagaimana hubungannya dengan lelaki.

Namun para feminis barat menghapus kata Tuhan dari standar kemuliaan wanita. Sehingga tinggallah kelelakian sebagai satu-satunya tolak ukur martabat ini. Jadi, perempuan tak akan pernah menjadi insan seutuhnya sampai ia menjadi menyerupai standar tersebut; laki-laki. 

Ketika laki-laki berambut pendek, perempuan pun ikut memangkas pendek rambutnya. Ketika laki-laki melakukan salat di saf depan, perempuan pun harus demikian. Ketika laki-laki menjadi imam dan khatib salat, perempuan tak boleh ketinggalan, dengan anggapan bahwa menjadi imam dan khatib berarti menjadi lebih bersahabat dengan Tuhan. Aduhai, lelah sekali menjadi perempuan kalau demikian.

Wanita Muslimah harusnya tak merendahkan diri mereka sendiri dengan mencemburui laki-laki. Karena perempuan dan laki-laki masing-masing telah Allah muliakan dengan kelebihan masing-masing, bukan dengan kesamaan.

Kembali kita kritisi tindakan Amina Wadud tadi. Sesungguhnya pendobrakan syariat yang dilakukan dengan menjadi imam salat Jumat, serta mencampur saf jamaah laki-laki dan perempuan bukanlah bentuk kebebasan yang dituntun Islam. Namun itu justru bentuk perbudakan diri, dengan mengakibatkan kesamaan dengan laki-laki sebagai satu-satunya standar kemuliaan. Akhirnya hal-hal terkait kepemimpinan kerap dikaitkan sebagai tolak ukur kedekatan hamba dengan Tuhan.

Berdiri di saf depan, atau menjadi imam bukanlah indikasi kedekatan seorang hamba dengan Allah. Jika tidak, maka Rasulullah empat belas kurun silam tentu akan mendahulukan Ummahat Mukminin menyerupai Aisyah Ra., atau Hafsah Ra., untuk mengimami salat dan mengisi saf depan, mengingat mereka yaitu perempuan mulia yang dijamin dengan surga. Namun mereka tak pernah mencontohkannya.

Anehnya lagi, empat belas kurun kemudian wanita-wanita feminis ini cemburu melihat laki-laki bangkit sebagai imam salat dan mulai menghantam ketentuan tersebut. Ini tidak adil, mengapa hanya laki-laki yang berhak menjadi imam? Demikianlah alasan yang kerap dikemukakan. 

Di sisi lain, hanya perempuan saja yang Allah anugerahkan kemampuan untuk menjadi ibu. Hamil, melahirkan dan menyusui tak sanggup digantikan oleh laki-laki. Nash-nash naqli pun banyak menukilkan ketinggian posisi ibu dalam Islam. Allah memperlihatkan keistimewaan bagi para ibu dengan mengakibatkan telapak kakinya sebagai pintu nirwana bagi anaknya.

Dalam sebuah hadis, seorang sobat bertanya kepada Rasulullah perihal siapa yang paling berhak mendapat perlakuan baik. Beliau menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu.” Apapun yang dilakukan seorang lelaki, ia tak akan mendapat keistimewaan macam ini. Karena lelah dan sakitnya mengandung, melahirkan dan menyusui hanya bisa diemban oleh wanita.

Lalu mengapa hal ini tidak dikatakan tak adil? 

Ketika para sobat membuatkan Islam ke suatu wilayah, mereka dengan indahnya berkata, “Kami tiba untuk membebaskan kalian dari perbudakan dan penghambaan semu dengan penghambaan diri kepada Tuhan.”

Inilah sebetulnya bentuk hakiki dari kebebasan. Ketika kita membiarkan sesuatu selain Allah sebagai kunci kesuksesan, kebahagiaan, kesedihan, atau harga diri, sesungguhnya kita sedang mengubur diri sendiri dalam perbudakan. Akhirnya kunci tersebut yang akan mengontrol hidup kita. Kunci tersebut alhasil yang akan menjadi ‘tuan’ kita.

Sebagai wanita, kita tak akan benar-benar merdeka sampai kita berhenti menggandakan laki-laki. Kita berharga tanpa harus persis sama menyerupai mereka. Masing-masing laki-laki dan perempuan mempunyai nilai lebih yang Allah berikan. Makara merdekalah, dengan menghapus laki-laki sebagai standar ketinggian martabat kita. Karena kemerdekaan seutuhnya yaitu dengan penghambaan total kepada Dzat Pencipta kita, Pencipta semesta. 

*penulis merupakan mantan editor website Kmamesir.org








banner
Previous Post
Next Post