Tuesday 26 November 2019

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (7)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak  Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (7)


2. Panggilan Cinta

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menjenguk kami. Ketika itu saya mempunyai adik pria yang masih kecil, dijuluki Abu Umair. Ia mempunyai burung kecil yang ia suka bermain dengannya. Lalu matilah burung itu. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya, kemudian dia melihatnya sedang bersedih, kemudian dia bertanya,

مَا شَأْنُهُ

“Ada apa dengannya?”

Orang-orang menjawab “Telah mati burung kecil itu!”, maka beliaupun bertanya,

يَا‏ ‏أَبَا عُمَيْرٍ‏ مَا فَعَلَ ‏ ‏النُّغَيْرُ

“Wahai Abu Umair! Apakah gerangan yang dilakukan oleh burung kecil itu?” (HR. Abu Dawud, shahih).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja memanggilnya dengan panggilan khas (tashghiir) dalam rangka untuk membuatnya bahagia dan merasa diperlakukan dengan perilaku yang memang diharapkannya, yaitu memberi perhatian yang lebih disaat dirinya sedang bersedih. Cobalah ayah dan ibu perhatikan dongeng di atas, bukankah bersama-sama dia sudah diberitahu bahwa Abu Umair duka alasannya yaitu burung kecilnya mati?

Namun mengapa dia tetap saja bertanya? Hikmah yang besar tentunya di balik perilaku dia tersebut.

Secara psikologis, belum dewasa yang mengalami kesedihan butuh daerah untuk curhat, mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam hatinya. Dan semakin orang itu mempunyai keutamaan yang tinggi ditambah dengan sifatnya yang gampang dekat dengan anak-anak, hal ini akan mendorong belum dewasa semakin terbuka untuk curhat kepadanya.

Oleh alasannya yaitu itu, sengaja dia bertanya memakai kalimat yang memancing tercurahkannya isi hati sang anak kepadanya. Di samping itu, seorang anak kecil ketika mendapat perhatian dari orang yang terhormat, apalagi dari sosok Utusan Allah yang termulia, akan sangat merasa dihargai, sehingga giliran selanjutnya diperlukan terbentuk kepribadian yang mempunyai kepercayaan diri yang bagus.

3. Sambutan Cinta

Dari Abdullah bin Ja’far berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِصِبْيَانِ أَهْلِ بَيْتِهِ

Dahulu kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar, diarahkanlah belum dewasa dari Ahli Bait dia (untuk menyambut beliau)”.

Abdullah bin Ja’far berkata,

وَإِنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَسُبِقَ بِي إِلَيْهِ فَحَمَلَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ ثُمَّ جِيءَ بِأَحَدِ ابْنَيْ فَاطِمَةَ فَأَرْدَفَهُ خَلْفَهُ قَالَ فَأُدْخِلْنَا الْمَدِينَةَ ثَلَاثَةً عَلَى دَابَّةٍ

Suatu ketika dia tiba dari safar, kemudian akupun didahulukan untuk menyambut beliau, kemudian beliaupun mengangkatku (untuk didudukkan di atas tunggangan beliau) di depan beliau, kemudian didatangkanlah salah satu dari dua putra Fathimah (Hasan atau Husain, pent.), beliaupun memboncengnya di belakangnya, kemudian kamipun bertiga menaiki hewan tunggangan masuk Madinah” (HR. Muslim).

Lihatlah bagaimana sambutan hangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat memungkinkan dia ketika itu masih dalam keadaan capai alasannya yaitu beratnya safar zaman dahulu, namun tetap bertawadhu’ dan menyempatkan diri untuk menyambut kedua anak tersebut dengan penuh kedekatan, sehingga mereka berduapun merasa tersanjung dan merasa dekat dengan insan yang paling mulia di muka bumi. Kenangan menyerupai inilah yang masih diingat oleh bocah sang pelaku sejarah ketika itu, Abdullah bin Ja’far radhiallahu ‘anhu. Hal ini menanamkan pelajaran-pelajaran abjad yang mulia, menyerupai rendah hati, kemampuan membangun komunikasi dengan baik, dan tenggang rasa yang anggun kepada orang lain.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]
banner
Previous Post
Next Post