Petikan Hadits
وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ
“Dan saya memohon kekuatan kepada-Mu (untuk tetapkan urusanku dan mengatasinya) dengan Kemahakuasaan-Mu”
Penjelasan
Kalimat ini mengandung dua makna:
- Bahwa seorang hamba memohon kepada Allah semoga menganugerahkan kepadanya kekuatan dan kemampuan (qudrah) untuk tetapkan dan mengatasi urusannya.
- Bahwa seorang hamba memohon kepada Allah semoga menganugerahkan kepadanya taqdir yang baik terkait dengan duduk kasus yang sedang dihadapi, dengan alasannya Kemahakuasaan-Mu.
Kedua makna ini tercakup dalam kandungan petikan hadits di atas, dan saling berkonsekuensi, lantaran setiap orang yang Allah jadikan bisa untuk tetapkan dan mengatasi urusannya, maka itu hakekatnya taqdir Allah untuk diri orang tersebut, sedangkan kalau Allah mentaqdirkan seseorang berhasil tetapkan dan mengatasi urusannya, maka berarti Allah telah menganugerahkan kemampuan tersebut kepadanya.
Doa ini juga mengandung tarbiyyah imaniyyah terhadap diri seorang hamba, yaitu: mengagungkan Allah Ta’ala, dan dikala seorang hamba menghadirkan penghayatan makna ini didalam hatinya, maka -dengan izin Allah- ia akan terpenuhi kebutuhannya dan teratasi urusannya.
Petikan Hadits
وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ
“Aku memohon kepada-Mu kebaikan dari karunia-Mu yang agung”
Penjelasan
Maknanya ada dua, yaitu :
Pertama:
“Aku memohon kepada-Mu kebaikan dari anugerah-Mu yang agung”,
maksudnya yaitu saya memohon kebaikan yang semata-mata berasal dari anugerah-Mu yang agung, dan hakekatnya bukan lantaran saya berhak mendapatkannya, dan hakekatnya anugerah tersebut bukanlah jawaban yang setara dengan amalku yang kecil dan sederhana ini. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa seluruh nikmat ataupun kebaikan itu hakekatnya yaitu karunia dan kemurahan dari Allah, dan bukan hak seorang hamba yang ia wajibkannya kepada Allah untuk memenuhinya. Meskipun disana terdapat kasus yang memang Allah wajibkan atas diri-Nya sendiri untuk memenuhinya, namun semua itu tetaplah sebagai bentuk karunia-Nya, dan bukanlah hamba yang mewajibkannya atas Allah.
Kedua :
“Aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang agung/luas”, ini juga mengatakan bahwa karunia Allah begitu agung dan luasnya, tak ada batas akhirnya.
Dan penyandaran karunia kepada Allah ini mengatakan bahwa semua karunia kebaikan itu milik Allah yang Dia anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Petikan Hadits
فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang saya tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui, sedang saya tidak mengetahui dan hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib.”
Penjelasan
Sesungguhnya inti kandungan kalimat di atas sama dengan kalimat :
لا حول ولا قوة إلا بالله
“Tidak ada perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lainnya, dan tidak ada kekuatan (kuasa) untuk melaksanakan hal itu kecuali dengan tunjangan Allah”,
maksudnya: kalimat ini dan kalimat dalam petikan hadits di atas mengandung pengukuhan akan lemahnya seorang hamba dalam mengurus semua urusannya, baik menghindari bahaya, keburukan, dan maksiat, maupun memperoleh manfaat, kebaikan, dan ketaatan, semua itu tidak akan bisa ia lakukan kecuali kalau Allah menolongnya dan menghendakinya. Segala sesuatu yang Allah kehendaki niscaya terjadi, dan segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki niscaya tidak akan terjadi.
Dengan demikian, kalimat ini yaitu kalimat pengukuhan lemahnya hamba, serta kalimat ketundukan dan kepasrahannya kepada Allah ‘Azza wa Jaalla.
Oleh lantaran itu, kalimat ini amat diharapkan oleh seorang yang sedang beristikharah kepada Allah, lantaran ia amat membutuhkan tunjangan Allah untuk bisa sempurna dalam tetapkan keputusan yang terbaik dan terhindar dari segala keburukan.
Pada petikan hadits di atas, terdapat kode bahwa ilmu dan kekuasaan yang ada pada diri kita itu milik Allah semata, dan Allah-lah semata yang menganugerahkan keduanya kepada diri kita.
Sedangkan pada kalimat “Hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib” menunjukkan bahwa seorang hamba mengakui ketidaktahuan wacana kasus ghoib secara totalitas, dan meyakini bahwa hanya Allah-lah yang mengetahui kasus yang ghoib, termasuk apa yang akan dialami oleh orang yang beristikharah di masa akan datang. Sehingga kalimat ini amat diharapkan oleh seorang yang sedang beristikharah kepada Allah, lantaran ia tidak mengetahui efek dari setiap keputusannya di masa yang akan datang.
(Bersambung, in sya Allah)
***
Penulis : Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id