9. Bentuk Istikharah
Haruskah Istikharah dengan sholat Istikharah dan doa Istikharah sekaligus, atau boleh dengan doa Istikharah saja? Pertanyaan wacana hal ini berasal dari adanya kalimat dalam hadits:
فَليَركعْ رَكعتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفرِيضَةِ
“…maka lakukanlah shalat (sunnah) dua roka’at selain sholat wajib” (HR. Al-Bukhari)
Apabila seorang muslim, lantaran suatu sebab, ia tidak bisa melaksanakan sholat Istikharah, maka tak mengapa ia berdoa kepada Allah Ta’ala supaya dimudahkan untuknya mendapat pilihan yang terbaik, meskipun ia tidak melaksanakan sholat Istikharah.
Terdapat beberapa riwayat dari Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum, dan disebutkan didalam beberapa riwayat tersebut berupa doa saja tanpa disertai dengan keterangan sholat dua raka’at, dan riwayat-riwayat ini dengan banyak sekali jalannya hingga kepada derajat hasan.
Disebutkan dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah Al-Kuaitiyyah:
“Istikharah terbagi menjadi tiga keadaan (bentuk):
Pertama:
Keadaan (bentuk) inilah yang paling disepakati oleh para ulama, dan empat madzhab (juga) menyepakatinya, yaitu shalat Istikharah dilakukan dua raka’at, -selain sholat wajib-, dengan niat shalat Istikharah, lalu membaca doa sesudah sholat Istikharah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Kedua:
Tiga madzhab beropini wacana keadaan (bentuk) ini, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah, bahwa Istikharah dibolehkan dengan berdoa saja tanpa sholat, apabila Istikharah tidak bisa dilakukan dengan sholat dan doa sekaligus.
Ketiga:
(Bentuk ini) tidak ada yang terang-terangan beropini dengannya kecuali Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Mereka menyatakan : Istikharah boleh dengan doa sesudah sholat apapun disertai dengan niat sholat Istikharah -dan ini yang lebih utama-, atau tanpa niat sholat Istikharah sebagaimana sholat Tahiyyatul Masjid.
Berkata An-Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Adzkar (120) :
ولو تعذرت عليه الصلاة استخار بالدعاء
“Seandainya seseorang berhalangan melaksanakan sholat Istikharah, maka ia bisa beristikharah dengan berdoa (saja) ”, dan sekelompok para ulama madzhab menukilkan ucapan An-Nawawi ini, mereka menyetujuinya dan menyertakannya sebagai penguat pendapat mereka.
Syaikh Binbaz rahimahullah ditanya:
“Apakah diperbolehkan beistikharah tanpa shalat dua raka’at, atau tanpa wudhu? Dan apakah Istikharah boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid ataupun nifas?”
Beliau menjawab:
“Ya, Istikharah tetap dianjurkan walaupun tanpa shalat, seseorang berdoa dan beristikharah kepada Robb-nya, sama saja apakah dia perempuan atau pria, haid maupun tidak haid, semua ini tidak masalah, Adapun jikalau hal itu dilakukan sesudah shalat maka ini lebih utama, dan istikharah dengan melaksanakan shalat yaitu amalan sunnah, (yaitu) dengan cara shalat dua raka’at, lalu berdoa dan beristikharah kepada Robb-nya, sama saja apakah dia laki-laki atau wanita.
Akan tetapi jikalau ia dalam keadaan haid atau dalam persoalan yang perlu disegerakan, lalu ia beristikharah tanpa shalat, maka yang menyerupai ini tidak mengapa, ia berdoa kepada Robb-nya -alhamdulillah-, Allah berfirman:
{ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}
Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Kuperkenankan bagi kalian. (Ghofir:60). Dan (hakekat) Istikharah yaitu doa yang ditujukan hanya kepada Allah.
Fadhilatus Syaikh Doktor Sholih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya wacana Istikharah yang dilakukan oleh seseorang dengan berdoa saja tanpa sholat, maka dia menjawab :
لا بأس بذلك؛ لأن الصلاةَ سنَّة إذا تركها فلا حرجَ عليه، ولو اقتصر على الدعاء فلا بأس؛ لكنه يكون أقل. أما إذا جمع بين الصلاة والدعاء فهذا أكمل وأَعملُ بالسنّة
“Tidak mengapa yang menyerupai itu, lantaran sholat sunnah jikalau dia meninggalkannya maka tidak masalah, seandainya dia mencukupkan Istikharah dengan doa saja, maka tidak mengapa, akan tetapi kurang sempurna. Adapun jikalau dia menggabungkan antara sholat dan doa, maka menjadi lebih sempurna, dan lebih mengamalkan Sunnah”.
Kesimpulan:
Istikharah bisa terwujud dengan sholat Istikharah dan doa Istikharah, dan ini yang paling sempurna, sedangkan jikalau mencukupkan istikharah dengan doa Istikharah saja, lantaran ada halangan (haidh atau selainnya), maka tidak mengapa.
(Bersambung, in sya Allah)
***
Penulis : Ust. Sa’id Abu Ukkasyah
Sumber : Muslim.or.id